LATAR BELAKANG PERLUNYA PENELITIAN HADIS
A. Pendahuluan
Dalam memahami hadis, seseorang butuh metodologi dalam melakukan penelitian terhadap suatu hadis yang akan ditelitinya.Namun, jauh sebelum melakukan sebuah penelitian terhadap suatu hadis, dibutuhkan suatu metodologi penelitian yang digunakan sebagai pisau untuk membedah keseluruhan dari tubuh hadits, mulai dari redaksi matan sampai dengan sanad sehingga dapat disimpulkan sebuah hadis shahih, hasan dan atau dhoi’f, kalau hadits tersebut diteliti dari segi kualitasnya, dan akan dapat disimpulkan sebagai hadis ahad atau mutawatir jika penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui hadis secara kuantitas. Di dalam makalah yang sangat sederhana ini, setidaknya ada beberapa poin pembahasan yang menggambarkan betapa pentingnya sebuah metodologi untuk hadits, karena bagaimanapun hadis memberi peluang besar untuk selalu diteliti.
PEMBAHASAN
A. Hadis Nabi Sebagai Sumber Ajaran Islam
Setiap agama memiliki pedoman hukum berupa kitab suci, begitu juga halnya dengan Islam. Agama Islam memiliki Al-Qur’an sebagai kitab suci yang notabene sebagai dasar rujukan pertama hukum Islam. Selain Al-Qur’an, Hadis Nabi menjadi sumber kedua hukum dalam ajaran Islam. Banyak ayat dan Hadis yang menjelaskan tentang Hadis yang dinyatakan sebagai sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti sebagaimana mengikuti Al-Qur’an, baik dalam bentuk awamir nawahi-nya.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan Hadis sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalil naqli maupun dalil aqli, sebagai berikut:
1. Dalil Al-Qur’an
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar.”
Di dalam surat Ali Imran ini, Allah memisahkan antara orang –orang yang mukmin dengan orang–orang yang munafik. Dia juga akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itu, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Selain dituntut untuk percaya kepada Rasulullah SAW. umat Islam juga diperintahkan oleh Allah SWT. untuk mengikuti segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Sebagaimana juga firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 32:
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
2. Hadis Nabi saw
Dalam salah satu Hadis Nabi terdapat pernyataan mengenai kewajiban menjadikan Hadis sebagai pedoman utamanya, sebagaimana Hadis berikut:
تركت فيكم امرين لن تضلوا ابدا ما ان تمسكتم بهما كتا ب ا لله وسنة رسوله .رواه مسلم
Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya , selama kalian selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya.
Hadis tersebut menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada Hadis atau menjadikan Hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Allah.
3. Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan Hadis sebagai salah satu dasar hukum dalam amal perbuatan karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan Hadis sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama merupakan sumber hukum Islam. Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan Hadis sebagai sumber hukum Islam, antara lain dalam peristiwa di bawah ini:
- Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah , ia pernah berkata,”Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.”
- Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata,”Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”
- Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, ”Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW. kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu.Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat.
- Diceritakan dari Said bin Musayyab bahwa Usman bin Affan berkata,”Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW., saya makan sebagaimana makannya Rasulullah, dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah SAW.
4. Sesuai Dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Nabi Muhammad SAW. Telah diakui kerasulannya oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah SWT., baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan.Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada Nash menasakhkan.
Jika kerasulan Muhammad SAW. Telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya apabila segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan wahyu atau hasil ijtihad semata ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup . Di samping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW. Sebagai Rasul mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bbila dilihat dari segi kehujjahan, hadis menghasilkan hukum zhanni, kecuali hadis yang mutawatir.
D. Tidak Seluruh Hadis Nabi Tertulis Pada Zaman Nabi
Pada masa Rasulullah yakni tepatnya masa para sahabat, keseriusan dalam hal penulisan hadis kurang begitu terfikirkan disebabkan karena keseriusan mereka terhadap wahyu ilahi, untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Quran dan Hadis sebagai dua sumber ajaran islam, Nabi menggunakan jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran beliau mengintruksikan kepada para sahabatnya untuk menulis dan menghafalkannya. Sedangkan terhadap Hadis beliau menyuruh mereka menghafal dan melarang menulisnya secara resmi. Dalam hal ini Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda:
لاتكتبواعنى غيرالقران ومن كتب عنى غيرالقران فليمحه وحدثواعنى فلاحرج ومن كذب علي متعمدافليتبوء مقعده من النار (رواه مسلم عن ابى سعيد الخذرى)
Janganlah kamu menulis dari saya selain al-Quran, barang siapa menuliskannya supaya dihapus.riwayatkanlah dari saya. Barang siapa yang sengaja berbohong atas nama saya dengan sengaja, hendaknya ia menempati tempatnya di neraka.
Para sahabat berusaha menghafal hadis yang diterima dari Nabi SAW. dengan sungguh-sungguh. Mereka sangat takut dengan ancaman Nabi sehingga selalu berusaha agar tidak melakukan kekeliruan terhadap apa yang diterimanya. Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis, yaitu:
- Kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisi sejak masa pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya.
- Nabi SAW. banyak memberikan semangat melalui doa-doanya.
- Nabi sering menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada yang lain.
Meskipun ada hadis yang menyatakan tentang pelarangan penulisan hadis yang diriwayatkan oleh abu Said al-Khudri di atas, ada juga hadis lain yang diriwayatkan oleh sahabat lain mengenai pembolehan dalam penulisan hadis. Abdullah bin Amr bin al-Ash, beliau memiliki catatan hadis yang menurut pengakuan beliau dibenarakan oleh Nabi SAW. sehingga dinamakan as-Shahihah as-Shodiqoh. Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdullah bin Amr yang selalu menulis apa yang datang dari Nabi SAW. mereka berkata, “Engkau menuliskan apa saja yang datang dari Rasul padahal Rasl itu manusia yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Nabi SAW. maka beliau bersabda:
اكتب فوالذي نفسى بيده مايخرج منه الاالحق. (رواه البخارى عن عبدالله بن عمروبن العاص)
Tulislah! Demi dzat yang aku berada ditanganNya, tidak ada yang keluar darinya kecuali yang benar.
Dari kedua versi hadis di atas didapatkan kesan adanya pertentangan antara larangan dan pembolehan menulis hadis. Tetapi yang jelas sekarang sudah ditemukan tulisan-tulisan hadis. Ada beberapa teori yang muncul untuk mengatasi kontradiksi dari kedua hadis di atas, yaitu:
- Larangan menulis hadis tersebut terjadi pada periode permulaan Islam, dan izin penulisannya diberikan diperiode akhir kerasulan.
- Larangan penulisan hadis itu bagi orang yang kuat hafalan dan tidak dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan al-Quran. Sedangkan perizinan menulis diberikan kepada sahabat yang pandai menulis, tidak dikhawatirkan salah serta bercampur dengan al-Quran.
- Larangan tersebut ditujukan bagi yang kurang pandai menulis, dikhawatirkan tulisannya keliru. Sementara orang yang pandai menulis tidak dilarang menulis hadis.
Kebanyakan para pemerhati hadis berpendapat bahwa pelarangan menulis hadis itu tidak lepas dari kekhawatiran salah dan bercampurnya dengan al-Quran. Sahabat yang pandai menulis seperti Abdullah bin Amr bin al-Ash diizinkan menulis hadis karena tidak ada kekhawatiran salah dalam menulis. Oleh karena itu setelah kekhawatiran seperti itu hilang, penulisan hadis bukan lagi menjadi persoalan dikalangan orang Islam walaupun melanggar larangan pada hadis Nabi yang berbunyi,”jangan menulis dariku selain al-Quran”. Hadis ini menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW. hadis sudah ditulis oleh beberapa sahabat, hanya saja belum berupa pembukuan seperti al-Quran. Dengan keterbatasan sahabat yang menulis hadis—sebagian sahabat saja yang menulisnya—maka terbatas pula tulisan-tulisan hadis pada masa itu, kebanyakan mereka hanya mengandalkan hafalan dan keseriusan mereka berkutat pada penulisan al-Quran. Jadi tidak diherankan pada masa Rasulullah SAW ini hadis tidak seluruhnya sudah di tulis.
E. Telah Timbul Berbagai Pemalsuan Hadis
Hadis Nabi –sebagaimana yang dikenal sebagai sumber tasyri yang penting- pada masa perkembangannya telah banyak diperlakukan tidak semestinya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka membuat Hadis-hadis palsu yang disandarkan pada Nabi saw, padahal sebenarnya beliau sendiri tidak pernah berbuat atau berkata seperti itu. Mengenai awal timbulnya pemalsuan Hadis, para ulama telah berbeda pendapat. Berikut ini dikemukakan pendapat-pendapat ulama tersebut:
1. Pemalsuan Hadis telah terjadi pada masa Nabi
Hal ini disinyalir karena adanya hadis mutawatir yang menyatakan bahwa barang siapa yang menyandarkan kedustaan pada Nabi dengan sengaja, maka tempat kembali mereka kelak di akhirat adalah neraka. Pandangan ini sebagaimana yang dilontarkan oleh Ahmad Amin, bahwa berdasarkan ungkapan teks Hadis tersebut, diperoleh indikasi bahwa pemalsuan Hadis kemungkinan besar telah terjadi pada masa Nabi saw. masih hidup, karena tidak mungkin Nabi berkata demikian jika tidak terdapat sebab-sebab tertentu yang berkaitan dengan pendustaan padanya. Namun, ketika Ahmad Amin memproklamirkan pemikirannya tersebut, ia tidak mampu memberikan bukti-bukti kongkrit berupa Hadis palsu yang terjadi pada masa Nabi. Ia menyandarkan pendapatnya hanya pada dugaan yang tersirat (mafhum) atas sabda Nabi di atas. Jadi, ia tidak menyandarkan pendapatnya pada peristiwa yang telah terjadi. Hadis yang dijadikan rujukan oleh Ahmad Amin tersebut memang berstatus mutawatir , akan tetapi tidak kuat untuk dijadikan dalih bahwa pada zaman Nabi telah terjadi pemalsuan Hadis. Namun demikian, kemungkinan besar lahirnya Hadis tersebut dilatarbelakangi kekhawatiran Nabi akan terjadinya pemalsuan Hadis, setelah beliau melihat demikian besar hasrat para sahabat menyampaikan Hadis pada orang lain.
2. Pemalsuan yang berkaitan dengan masalah dunia telah terjadi pada zaman Nabi
Pandangan semacam ini muncul akibat adanya Hadis yang diriwayatkan oleh al-Tahawi dan al-Tabrani. Kedua riwayat ini menyatakan bahwa konon pada saat Nabi masih hidup, terdapat seseorang yang mengaku ditugasi untuk menyelesaikan suatu perkara di sebuah kampung dekat Madinah. Bersamaan dengan itu, ia melamar seorang gadis dengan mengatas namakan perintah dari Nabi. Namun ternyata mereka enggan menikahkan putrinya pada orang tersebut. Kemudian mereka mengklarifikasi kebenaran berita itu pada Nabi. Ternyata utusan tersebut berbohong, Nabi tidak pernah menyuruh orang mengatas-namakan beliau. Setelah mendengar berita itu, Nabi lalu menyuruh para sahabat untuk membunuh orang yang telah berdusta tersebut. Nabi mengharap, agar jasatnya –jika nanti ditemukan dalam keadaan terbunuh- dibakar. Di antara ulama yang berpendapat demikian dan menjadikan riwayat Hadis di atas sebagai pegangan adalah Salahuddin al-Adlabi. Namun demikian, -menurut al-Adlabi- pemalsuan Hadis yang terjadi pada masa Nabi hanyalah berkaitan dengan masalah keduniawian, sedangkan yang berkaitan dengan masalah agama (amr diniy) belumlah terjadi. Hal seperti ini mungkin terjadi, mengingat pada waktu itu terdapat orang-orang munafik. Dalam Hadis ini, baik yang diriwayatkan oleh al-Tahawi dari Abdullah bin Buraydah, maupun yang diriwayatkan oleh al-Tabrani dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, ternyata sanadnya lemah (dhaif), sebagaimana yang dinilai oleh Ibnu Hajar. Karenanya kedua riwayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil.
3. Pemalsuan Hadis mulai muncul pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib
Pendapat ini dikemukakan oleh kebanyakan ulama Hadis. Menurut pendapat ini, keadaan Hadis pada Zaman Nabi sampai sebelum terjadinya pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah, masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan. Namun setelah terjadinya pertentangan tersebut (Fitnah Qubra), nasib Hadis mulai banyak yang disalah gunakan. Pertentangan ini kemudian melahirkan beberapa kelompok besar dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, dan lain-lain. Di tengah-tengah ketegangan itu, ada di antara pengikut masing-masing golongan, berusaha menjatuhkan lawan dengan cara membuat Hadis palsu. Mengenai sebab-sebab timbulnya pemalsuan Hadis, para ulama Hadis seperti Salahuddin al-Adlabi, membagi menjadi dua sebab. Di antara kedua sebab tersebut adalah:
1. Sebab disengaja
Hal yang menjadi penyebab timbulnya Hadis palsu, yang terkategori sebagai sebab yang disengaja, memiliki tiga penyebab:
a. Niat untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Dalam hal ini, tidak sedikit orang zindik yang mengambil peran nyata. Mereka dengan serta-merta menciptakan Hadis-hadis palsu, sebagai serangan terhadap Islam dan Nabi saw. Dengan tindakan seperti itu, mereka mengira, bahwa akidah umat Islam akan hancur dan agama Islam itu sendiri akan porak-poranda.
Sebagai contoh adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jauzi di dalam al-Maudhu’at, dari Umm ath-Thufail, bahwa ia mendengar Nabi menuturkan; beliau pernah melihat Tuhan dalam mimpi, dalam bentuk yang paling sempurna, seperti seorang pemuda yang gagah perkasa. Kedua kakinya berada di dalam mukhashshar (sejenis terompah terbuat dari emas). Dan di mukanya terdapat seprai terbuat dari emas pula.
b. Pembelaan terhadap aliran-aliran tertentu.
Sebab-sebab dalam poin ini, memiliki beberapa kecenderungan, di antanya adalah:
1) Pembelaan terhadap aliran politik.
Pertentangan-pertentangan politik di kalangan sahabat, mengakibatkan munculnya berbagai macam aliran. Masing-masing aliran berusaha membuat Hadis palsu demi membela aliran yang bersangkutan, terutama tentang pandangan-pandangan politiknya.
Sebagai contoh, kelompok Syiah telah membuat Hadis palsu: “mencintai Ali adalah sebuah kebaikan yang tidak akan terhapus oleh keburukan dalam bentuk apapun. Dan membencinya merupakan suatu keburukan yang tidak akan terhapus oleh kebaikan apapun”.
2) Pembelaan terhadap agama.
Persoalan-persoalan keagamaan, baik berkenaan dengan aqidah, ushul, furu, atau yang lain, telah memasuki ruang perdebatan. Sehingga memunculkan Hadis-hadis palsu yang mengukuhkan suatu pendapat atau bahkan menolak pendapat yang lain yang bertentangan. Bahkan ada Hadis yang secara tegas menyebutkan nama sebuah aliran tertentu dan nama pemimpinnya sekaligus.
Sebagai contoh, terdapat Hadis yang mengungkapkan: “akan ada di antara umatku, seorang yang bernama Muhammad Ibn Idris. Dia lebih berbahaya daripada iblis. Dan di antara mereka ada seseorang bernama Abu Hanifah. Dia adalah pelita bagi mereka”.
3) Pembelaan terhadap aliran geografis.
Di antara contoh Hadis palsu jenis ini adalah: “sesungguhnya, bila Allah murka, maka Dia akan menurunkan wahyu dalam bahasa Arab. Tetapi bila dia dalam keadaan lega, maka dia akan menurunkan wahyu dalam bahasa Persi”.
c. Terdorong oleh motif-motif duniawi
Penyebab semacam ini timbul akibat adanya motif-motif tertentu, di antaranya adalah:
1) Ingin mendekati penguasa.
Dalam hal ini, seseorang melakukan pemalsuan Hadis yang sesuai dengan keinginan penguasa yang dimaksud, sebagai upaya untuk meraih harta atau jabatan.
Sebagai contoh adalah Hadis yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi, bahwa ada sepuluh ahli Hadis yang didatangkan kehadapan al-Mahdi, di antaranya adalah Ghiyats Ibn Ibrahim. Al-Mahdi adalah seorang penguasa yang menyukai burung dara. Lalu ia berkata kepada Ghiyats: “ceritakanlah kepadaku sebuah Hadis, wahai Amiril Mukminin!”. Kemudian Ghiyats menceritakan kepadanya sebuah Hadis yang berasal dari Abu Hurairah: “tak ada yang bisa dibanggakan, kecuali sepatu (onta), mata kaki (kuda), atau pedang”, dengan menambahkan “atau sayap burung dara”. Lalu al-Mahdi memerintahkan, agar Ghiyats diberi sepuluh ribu dirham.
2) Mencari pendukung (masa).
Motif ini termasuk motif duniawi, sebab periwayat (pemalsu) Hadis akan merasa bangga terhadap dirinya sendiri, tatkala banyak orang berdatangan kepadanya untuk meriwayatkan Hadis darinya. Seorang periwayat akan bangga membuat Hadis-hadis palsu yang belum pernah mereka dengar.
Sebagai contoh adalah sebuah Hadis panjang yang berisi keutamaan-keutamaan al-Qur’an, surat demi surat. Nuh Ibn Abi Maryam mengaku telah membuat Hadis palsu itu. Hal itu dilakukannya dengan alasan, orang-orang telah banyak berpaling dari al-Qur’an dan menyibukkan diri dengan fikih Abu Hanifah dan Maghazi Ibn Ishak. Kemudian setelah itu, Hadis-hadis itu diriwayatkan oleh yang lain.
2. Sebab tidak disengaja
Di samping sebab-sebab munculnya Hadis palsu dengan sengaja, terdapat pula sebab-sebab munculnya Hadis palsu dengan tanpa sengaja. Di antara sebab-sebab tersebut adalah:
a. Terjadinya kekeliruan atau kesalahan pada diri periwayat
Terkadang, seorang periwayat, betapapun tsiqah-nya, terjerumus pada kekeliruan atau kesalahan. Sehingga bisa saja terjadi, ia me-marfu’-kan suatu Hadis kepada Nabi saw. yang sebenarnya hanyalah pernyataan sahabat atau yang lain. Sebagai bukti adanya kesalahan periwayat adalah pernyataan Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. mengawini Maimunah pada saat beliau sedang ihram. Demikian pula riwayat Tsabit Ibn Musa, yang berbunyi: “barang siapa banyak melakukan shalat di malam hari, maka mukanya akan tampak cerah di siang harinya”.
b. Penyusupan Hadis palsu dalam karya periwayat oleh seseorang tanpa sepengetahuan periwayat yang bersangkutan
Betapapun tsiqat-nya seorang perawi Hadis, meskipun keadaan Hadis yang ia riwayatkan, terjaga baik hafalan maupun tulisan. Namun demikian, ada sementara ahli Hadis yang diganggu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dengan menyusupkan Hadis-hadis palsu kedalam koleksi Hadis mereka, tanpa sepengetahuan mereka, dan bahkan tanpa disadari, mereka meriwayatkan Hadis itu, serta yakin bahwa Hadis itu benar-benar dari tulisan mereka.
Sebagai contoh, ialah yang terjadi pada diri Abdullah Ibn Shalih, yang dikenal sebagai sekretaris pribadi Laits ibn Sa’d. Meskipun dirinya dikenal shaduq, akan tetapi di dalam riwayat-riwayatnya terdapat Hadis-hadis palsu. Hal itu dikarenakan ia memiliki seseorang tetangga yang memusuhinya. Tetangga itu kemudian menulis Hadis mirip dengan tulisan Ibn Shalih, kemudian melemparkannya ke rumah Ibn Shalih. Namun Ibn Shalih tidak sadar akan hal itu, ia mengira bahwa tulisan itu adalah tulisannya, sehingga kemudian ia meriwayatkannya.
Pembagian sebab-sebab timbulnya Hadis palsu menjadi dua yakni disengaja dan tidak disengaja ini sebenarnya sesuai dengan pandangan Mustafa A’zami. Akan tetapi, dalam mengistilahkan Hadis palsu yang bersumber dari ketidaksengajaan, Mustafa Azami lebih mengarahkan pada istilah Hadis bathil, daripada Hadis maudhu’.