MAKALAH PARADIGMA, EPISTEMOLOGI dan ETNOGRAFI dalam ANTROPOLOGI
Oleh
Heddy Shri Ahimsa-Putra
I. PENGANTAR
Sebelum “paradigma“ menjadi sebuah konsep yang populer, para ilmuwan sosial-budaya telah menggunakan beberapa konsep lain dengan makna yang kurang lebih sama, yakni: kerangka teoritis (theoretical framework), kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoretical orientation), sudut pandang (perspective), atau pendekatan (approach). Kini istilah paradigma sudah mulai banyak digunakan oleh ilmuwan sosial-budaya. Meskipun demikian, dalam makalah ini istilah-istilah lama tersebut juga tetap akan digunakan, dengan makna yang kurang-lebih sama dengan paradigma (paradigm).
Penggunaan konsep paradigma yang semakin lazim kini tidak berarti bahwa makna konsep tersebut sudah jelas atau telah disepakati bersama. Thomas Kuhn (1977) telah berbicara panjang lebar tentang pergantian paradigma, namun dia tidak menjelaskan secara khusus dan rinci tentang apa yang dimaksudnya sebagai paradigma, dan tidak menggunakan konsep tersebut secara konsisten dalam tulisan-tulisannya. Hal ini tam-paknya merupakan akibat tidak langsung dari topik pembahasannya, yakni pergantian paradigma dalam ilmu-ilmu alam (Ahimsa-Putra, 2007). Kuhn tidak menyinggung ten-tang ilmu-ilmu sosial-budaya. Ada kemungkinan karena dia merasa tidak perlu membedakan dua jenis ilmu pengetahuan tersebut, mengingat dua-duanya adalah ilmu pengetahuan. Ada kemungkinan pula karena dia menganggap ilmu sosial-budaya belum merupakan ilmu pengetahuan (science), karena dari perspektif tertentu status sains (ilmu) memang belum berhasil dicapai oleh cabang ilmu tersebut (Kuhn, 1977).
Kelalaian Kuhn ternyata telah membuat bukunya terkenal, karena para ilmuwan kemudian memperdebatkan berbagai kekurangan dalam pandangan Kuhn, yang antara lain bersumber pada tidak adanya rumusan yang jelas, tegas dan konsisten tentang apa yang dimaksud dengan paradigma. Kelalaian Kuhn ini juga telah menyulitkan kita untuk menerapkannya dalam analisis. Meskipun demikian, gagasan Kuhn tentang revolusi pengetahuan telah membuat para ilmuwan berfikir ulang tentang ilmu pengetahuan itu sendiri.
Berbagai pembahasan tentang paradigma di kalangan ilmuwan Barat berada di seputar masalah: (a) konsepsi tentang paradigma; (b) ada tidaknya paradigma dalam suatu disiplin tertentu, dan (c) unsur-unsur paradigma (Ahimsa-Putra, 2008). Sayangnya, dari berbagai pembahasan itu tidak berhasil dicapai sebuah kesepakatan tentang definisi yang cukup praktis dan strategis mengenai paradigma. Apalagi kesepakatan mengenai unsur-unsur paradigma. Akibatnya, kita mengalami kesulitan untuk memanfaatkan rintisan pemikiran yang dilontarkan oleh Kuhn. Untuk itu kita perlu membangun sebuah konsepsi (pandangan) tentang paradigma, yang berisi bukan hanya definisi, tetapi juga elemen-elemen pokok yang terdapat dalam paradigma.
Jika kita sepakat dengan Thomas Kuhn bahwa revolusi ilmu pengetahuan tidak lain adalah perubahan paradigma, perubahan pada mode of thought, pada mode of inquiry, maka kita akan sampai pada pendapat bahwa inti ilmu pengetahuan tidak lain adalah paradigma (Ahimsa-Putra, 2007). Jika antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tentunya telah mengalami banyak perkembangan, tentunya telah terjadi banyak revolusi ilmu pengetahuan dalam antropologi. Pertanyaannya kemudian adalah: seperti apa perkembangan ilmu yang telah terjadi dalam antropologi (sosial-budaya)? Paradigma-paradigma apa saja yang telah muncul di dalamnya? Apa ciri dari paradigma dalam antropologi dan bagaimana corak perkembangannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab jika kita memiliki pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan paradigma. Oleh karena Kuhn tidak pernah menawarkan sebuah konsepsi tentang paradigma yang jelas, maka dalam makalah ini saya mengemukakan pandangan saya atau teori saya mengenai paradigma, dan dengan konsepsi tersebut saya memaparkan keterkaitan dan kedudukan penting dari epistemologi dan etnografi dalam paradigma antropologi. Konsepsi tentang paradigma ini saya bangun setelah saya menelaah secara kritis berbagai buku dan artikel para ilmuwan Barat -karena dari Indonesia saya tidak menemukan pembahasan-pembahasan ini-, mengenai paradigma, baik yang teoritis, filosofis maupun yang aplikatif. Mengingat terbatasnya tempat, paradigma-paradigma dalam antropologi hanya dapat saya sajikan jenis-jenisnya, sedang mengenai proses perkembangannya tidak dapat seluruhnya saya sajikan secara rinci di sini.
II. PARADIGMA : APA ITU ?
Sebagai sebuah konsep, paradigma merupakan sebuah konsep strategis, yang memiliki kedudukan penting, yang berarti pula dia perlu diberi makna. Dia perlu diberi batasan-batasan tertentu, dan batasan ini kemudian perlu diberi penjelasan lebih lanjut.
1. Paradigma : Sebuah Definisi [1])
Ketika kita menggunakan sebuah konsep -yaitu istilah atau kata dengan makna tertentu- maka pertama-tama yang harus kita ketahui adalah maknanya. Makna ini harus dapat dipaparkan sedemikian rupa sehingga orang lain akan tahu apa yang kita maksud dengan konsep tersebut. Pemaparan makna secara ringkas dan jelas inilah yang biasa disebut “definisi” atau batasan. Jadi, untuk konsep-konsep penting yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam aktivitas ilmiah kita harus dapat memberikan definisinya dan penjelasannya.
Kedua, jika konsep ini mengenai suatu gejala tertentu, mungkin juga diperlukan pengetahuan mengenai unsur-unsur dari gejala tersebut. Bahwa gejala yang didefinisikan terdiri dari sejumlah unsur-unsur, dan unsur-unsur ini juga harus diketahui, dan kemudian juga didefinisikan.
Konsep paradigma adalah konsep yang menuntut dua pengetahuan tersebut, yakni pengetahuan tentang definisinya dan pengetahuan mengenai unsur-unsurnya. Tanpa dua pengetahuan ini paradigma akan tetap merupakan sebuah konsep dengan makna yang tidak begitu jelas. Sehubungan dengan itu maka di sini saya paparkan dua aspek paradigma itu, yakni: (a) definisi paradigma dan (b) unsur-unsur paradigma.
Paradigma -menurut hemat saya- dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi. Berikut adalah penjelasan frasa-frasa dalam definisi ini.
“Seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk suatu kerangka pemikiran.....“
Kata “seperangkat“ menunjukkan bahwa paradigma memiliki sejumlah unsur-unsur, tidak hanya satu unsur. Unsur-unsur ini adalah konsep-konsep. Konsep adalah istilah atau kata yang diberi makna tertentu. Oleh karena itu, sebuah paradigma juga merupakan kumpulan makna-makna, kumpulan pengertian-pengertian. Kumpulan konsep-konsep ini merupakan sebuah kesatuan, karena konsep-konsep ini berhubungan secara logis, yakni secara paradigmatik, sintagmatik, metonimik dan metaforik, sehingga dapat dikatakan sebagai “seperangkat konsep“, seperti halnya peralatan pada orkestra gamelan atau unsur-unsur pada pakaian, yang membentuk seperangkat gamelan dan seperangkat pakaian. Tentu, relasi-relasi pada gejala-gejala empiris ini tidak sama dengan relasi-relasi antarunsur dalam paradigma. Relasi antarunsur dalam paradigma berada pada tataran logika, pada tataran pemikiran, sedang relasi antarunsur pada perangkat pakaian dan gamelan berada pada tataran fungsi, atau bersifat fungsional. Selanjutnya, karena makna dan hubungan antar-makna ini adanya dalam pikiran, maka kumpulan konsep yang membentuk kerangka itu disebut juga sebagai kerangka pemikiran.
“.....yang berfungsi untuk memahami dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi“.
Dalam pikiran manusia, kerangka pemikiran ini digunakan untuk tujuan tertentu, sehingga kerangka pemikiran ini memiliki fungsi, yakni untuk memahami kenyataan, mendefinisikan kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya ke dalam kategori-kategori, dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan lainnya, sehingga terjalin relasi-relasi pada pemikiran tersebut, yang kemudian membentuk suatu gambaran tentang kenyataan yang dihadapi.
Kenyataan yang dihadapi menimbulkan berbagai akibat atau reaksi dalam pikiran manusia. Salah satu di antaranya adalah pertanyaan-pertanyaan atau rasa tidak puas karena kenyataan yang dihadapi tidak dapat dipahami dengan menggunakan kerangka pemikiran yang telah ada, atau kurang sesuai dengan yang diharapkan. Pertanyaan dan ketidakpuasan ini selanjutnya mendorong manusia untuk menjawab pertanyaan tersebut atau mencari jalan guna mengatasi ketidakpuasan yang ada dalam dirinya. Ini berarti bahwa paradigma tidak hanya ada di kalangan ilmuwan saja, tetapi juga di kalangan orang awam, di kalangan semua orang, dari semua golongan, dari semua lapisan, dari semua kelompok, dari semua sukubangsa. Meskipun demikian, hal itu berarti bahwa setiap orang menyadari kerangka pemikirannya sendiri. Bahkan, sebagian besar orang sebenarnya tidak menyadari betul atau tidak mengetahui seperti apa kerangka pemikiran yang dimilikinya, yang digunakannya untuk memahami situasi dan kondisi kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini hanya dapat muncul dari kalangan mereka yang dapat melakukan refleksi atas apa yang mereka pikirkan sendiri, yang mengetahui dan dapat menggunakan metode-metode dan prosedur yang harus digunakan dalam proses refleksi tersebut.
Bagi upaya pengembangan dan pembuatan paradigma baru, pendefinisian konsep paradigma saja belum cukup. Lebih penting daripada pendefinisian adalah penentuan unsur-unsur yang tercakup dalam pengertian paradigma. Definisi di atas belum memberikan keterangan lebih lanjut tentang isi dari kerangka pemikiran itu sendiri. “Seperangkat konsep“ barulah sebuah gambaran umum tentang isi dari kerangka pemikiran tersebut, sedang kenyataannya konsep-konsep ini tidak sama kedudukan dan fungsinya dalam kerangka pemikiran, dan karena itu juga memiliki nama yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan penjelasan lebih lanjut tentang komponen-komponen konseptual yang membentuk kerangka pemikiran atau paradigma tersebut.
2. Unsur-unsur (komponen-komponen) Paradigma
Sebuah perspektif dalam ilmu sosial-budaya biasanya dapat dibedakan satu sama lain atas dasar asumsi-asumsi atau anggapan-anggapan dasarnya tentang obyek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dijawab atau diselesaikan, konsep-konsep, metode-metode serta teori-teori yang dihasilkannya. Pendapat yang dilontarkan oleh Cuff dan Payne (1980:3) ini merupakan pendapat yang dapat membawa kita kepada pemahaman tentang paradigma dalam ilmu sosial-budaya. Dalam pendapat ini tersirat pandangan bahwa sebuah perspektif atau pendekatan -Cuff dan Payne tidak menyebutnya sebagai “paradigma“- memiliki sejumlah unsur, di antaranya adalah: asumsi dasar (basic assumption -Cuff dan Payne menyebutnya bedrock assumption-, konsep, metode, pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diberikan.
Jika “perspektif“ adalah juga “paradigma“, maka unsur-unsur tersebut dapat dikatakan sebagai unsur-unsur paradigma. Meskipun demikian, menurut saya, pandangan Cuff dan Payne tentang unsur-unsur perspektif tersebut masih belum lengkap. Masih ada elemen lain yang juga selalu ada dalam sebuah paradigma ilmu sosial-budaya, namun belum tercakup di dalamnya, misalnya model. Selain itu, unsur metode juga masih perlu dirinci lagi. Cuff dan Payne juga masih belum menjelaskan bagaimana kira-kira urut-urutan unsur-unsur tersebut dalam sebuah paradigma atau kerangka berfikir tertentu, sehingga posisi masing-masing unsur terhadap yang lain tidak kita ketahui. Lebih dari itu, Cuff dan Payne juga tidak selalu menjelaskan makna dari konsep-konsep yang digunakannya secara rinci, sehingga kita tidak selalu dapat mengetahui dengan baik apa yang dimaksudkannya (Ahimsa-Putra, 2008).
Mengikuti jalan pikiran yang telah dibuka oleh Kuhn serta Cuff dan Payne, sebuah paradigma, kerangka teori atau pendekatan dalam ilmu sosial-budaya menurut hemat saya terdiri dari sejumlah unsur pokok, yakni: (1) asumsi-asumsi dasar; (2) nilai-nilai; (3) masalah-masalah yang diteliti (4) model; (5) konsep-konsep; (6) metode penelitian; (7) metode analisis; (8) hasil analisis atau teori dan (9) representasi (etnografi) (Ahimsa-Putra, 2009). Berikut ini adalah uraian mengenai komponen-komponen paradigma ini, yang menurut saya perlu diberikan, mengingat jarangnya pembicaraan tentang paradigma yang membahas komponen-komponen tersebut serta menjelaskannya dengan rinci.
a. Asumsi-asumsi/Anggapan-anggapan Dasar (Basic Assumptions) - (1)
Asumsi atau anggapan dasar adalah pandangan-pandangan mengenai suatu hal (bisa benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah disiplin, dan sebagainya) yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah diterima kebenarannya. Pandangan ini merupakan titik-tolak atau dasar bagi upaya memahami dan menjawab suatu persoalan, karena pandangan-pandangan tersebut dianggap benar atau diyakini kebenarannya. Anggapan-anggapan ini bisa lahir dari (a) perenungan-perenungan filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitian-penelitian empiris yang canggih, bisa pula dari (c) pengamatan yang seksama.
Jika asumsi ini berasal dari pandangan filosofis dan reflektif, pandangan ini biasanya lantas mirip dengan 'ideologi' si ilmuwan, dan ini tentu saja bersifat subyektif. Oleh karena itu, muncul kini pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada "obyektivitas" dalam ilmu sosial-budaya, sebab apa yang selama ini dianggap sebagai "obyektivitas" ternyata juga didasarkan pada asumsi-asumsi filosofis tertentu, yang tidak berbeda dengan 'ideologi'. Asumsi-asumsi dasar biasanya terlihat dengan jelas dalam rumusan-rumusan tentang hakekat sesuatu atau definisi mengenai sesuatu, dan ini biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan "Apa itu...?". Misalnya saja, "Apa itu kebudayaan?"; "Apa itu masyarakat?"; "Apa itu karya sastra?", dan sebagainya. Dalam dunia ilmu pengetahuan definisi mengenai sesuatu inilah yang akan sangat menentukan langkah-langkah kegiatan ilmiah selanjutnya.
Dari paparan di atas terlihat bahwa asumsi-asumsi dasar merupakan fondasi dari sebuah disiplin atau bidang keilmuan, atau dasar dari sebuah kerangka pemikiran, dan seperti halnya fondasi sebuah gedung yang tidak terlihat, demikian pula halnya dengan asumsi dasar. Suatu kerangka teori dalam ilmu sosial-budaya biasanya mempunyai banyak asumsi dasar. Akan tetapi, tidak semua asumsi dasar ini selalu dikemukakan secara eksplisit. Bahkan kadang-kadang malah tidak dipaparkan sama sekali, karena semua orang dianggap telah mengetahuinya.
Mengapa digunakan istilah ‘asumsi’, bukan ‘dalil’ atau ‘hukum’, jika memang kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi? Karena tindakan ‘tidak lagi mempertanyakan kebenaran’ ini tidak berlaku untuk semua orang. Orang lain malah bisa sangat tidak setuju atau sangat mempertanyakan ‘kebenaran yang tidak dipertanyakan’ itu tadi. Jadi, kebenaran di situ dianggap bersifat relatif. Oleh karena itulah lebih tepat jika kebenaran yang relatif itu disebut sebagai ‘asumsi’, anggapan saja, bukan dalil atau hukum.
b. Etos / Nilai-nilai (Ethos / Values) - (2)
Setiap kegiatan ilmiah juga selalu didasarkan pada sejumlah kriteria atau patokan yang digunakan untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, bermanfaat atau tidak. Patokan-patokan inilah yang biasa disebut nilai atau etos. Dinyatakan atau tidak nilai-nilai selalu ada di balik setiap kegiatan ilmiah, karena di situ selalu ada persoalan benar atau salah, bermanfaat atau tidak. Dengan patokan inilah seorang ilmuwan akan menilai hasil penelitian ilmuwan yang lain, kinerja mereka atau produktivitas mereka.
Dalam sebuah paradigma, nilai-nilai ini paling tidak mengenai: (a) ilmu pengetahuan (b) ilmu sosial-budaya; (c) penelitian ilmiah; (d) analisis ilmiah; (e) hasil penelitian. Nilai-nilai ini selalu ada dalam setiap cabang ilmu, tetapi rumusan, penekanan dan keeksplisitannya berbeda-beda. Ada cabang ilmu pengetahuan yang nilainya lebih menekankan pada manfaat ilmu, tetapi lebih bersifat implisit, sedang pada disiplin lain nilai ini dibuat sangat eksplisit. Nilai-nilai mana yang ditekankan oleh suatu komunitas atau organisasi ilmuwan bisa berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya masyarakat tempat para ilmuwan tersebut menjalankan aktivitas keilmuan mereka.
Meskipun nilai-nilai ini pada umumnya menyatakan tentang hal-hal yang baik, yang seharusnya, tetapi sebenarnya nilai-nilai juga berkenaan dengan yang tidak baik, yang buruk. Oleh karena itu, bisa pula nilai yang dibuat eksplisit bukanlah yang baik, tetapi yang buruk. Hal ini dilakukan mungkin dengan tujuan agar para ilmuwan dapat lebih terjaga dari melakukan hal-hal yang buruk. Nilai yang baik berkenaan dengan ilmu pengetahuan misalnya adalah nilai yang mengatakan, “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia”; atau “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang teori-teorinya bisa bersifat universal”; atau “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang diperoleh dengan menggunakan metode dan prosedur tertentu yang dapat mencegah masuknya unsur subyektivitas peneliti”, dan sebagainya. Nilai-nilai yang buruk misalnya adalah, “ilmu pengetahuan yang buruk adalah yang tidak memberikan manfaat kepada umat manusia”; atau “ilmu pengetahuan yang buruk adalah yang membuat manusia semakin jauh dari Sang Pencipta”.
c. Model-model (Models) - (3)
Model adalah perumpamaan, analogi, atau kiasan tentang gejala yang dipelajari. Seringkali model juga terlihat seperti asumsi dasar. Meskipun demikian, model bukanlah asumsi dasar. Sebagai perumpamaan dari suatu kenyataan, sebuah model bersifat menyederhanakan (Inkeles, 1964). Artinya, tidak semua aspek, sifat, atau unsur dari realita dapat tampil dalam sebuah model. Model dapat dibedakan menjadi dua yakni: (1) model utama (primary model) dan model pembantu (secondary model). Model yang dimaksudkan di sini adalah primary model (Ahimsa-Putra, 2009).
Model utama merupakan model yang lebih dekat dengan asumsi dasar. Model ini merupakan/menjadi pembimbing seorang peneliti dalam mempelajari suatu gejala. Model ini bisa berupa kata-kata (uraian) maupun gambar, namun umumnya berupa uraian. Berbeda halnya dengan model pembantu yang selain umumnya berupa gambar, model ini juga biasa digunakan untuk memudahkan seorang ilmuwan menjelaskan hasil analisisnya atau teorinya. Model ini bisa berupa diagram, skema, bagan atau sebuah gambar, yang akan membuat orang lebih mudah mengerti apa yang dijelaskan oleh seseorang. Jadi kalau model utama harus sudah ada sebelum seorang peneliti melakukan penelitiannya, model pembantu biasanya muncul dalam hasil analisis atau setelah penelitian dan analisis dilakukan (Ahimsa-Putra, 2009).
Sebagai perumpamaan dari suatu gejala atau realita tertentu, sebuah model bersifat menyederhanakan gejala itu sendiri. Artinya, tidak semua aspek, sifat atau unsur dari gejala tersebut ditampilkan dalam model. Seorang peneliti yang mengawali penelitiannya dengan mengatakan bahwa kebudayaan itu seperti organisme atau mahluk hidup, pada dasarnya telah menggunakan model organisme dalam penelitiannya. Apakah kebudayaan itu organisme? Tentu saja bukan. Akan tetapi orang boleh saja mengumpamakannya seperti organisme, karena memang ada kenyataan-kenyataan yang dapat mendukung pemodelan seperti itu.
Jadi, sebuah model muncul karena adanya persamaan-persamaan tertentu antara fenomena satu dengan fenomena yang lain. Perbedaan pada penekanan atas persamaan-persamaan inilah yang kemudian membuat ilmuwan yang satu menggunakan model yang berbeda dengan ilmuwan yang lain. Persamaan-persamaan ini pula yang kemudian membimbing seorang ilmuwan ke arah model tertentu, yang berarti ke arah penjelasan tertentu tentang gejala yang dipelajari. Pada saat yang sama, sebuah model berarti juga membelokkan si ilmuwan dari penjelasan yang lain. Oleh karena itu, sebuah model bisa dikatakan membimbing, tetapi bisa pula ‘menyesatkan’. Oleh karena itu pula tidak ada model yang salah atau paling benar. Semua model benar belaka. Yang membedakannya adalah produktivitasnya (Inkeles, 1964). Artinya, implikasi-impli-kasi teoritis dan metodologis apa yang bakal lahir dari penggunaan model tertentu dalam mempelajari suatu gejala. Sebuah model yang banyak menghasilkan implikasi teoritis dan metodologis merupakan sebuah model yang produktif. Meskipun demikian, seorang ilmuwan bisa saja memilih sebuah model yang tidak begitu produktif, karena dianggap dapat memberikan pemahaman baru atas gejala yang dipelajari. Biasanya produktivitas sebuah model tidak dapat ditentukan dari awal, karena dalam perkembangan selanjutnya ilmuwan-ilmuwan lain mungkin saja akan dapat merumuskan pertanyaan-pertanyaan baru yang tak terduga berdasarkan atas model tersebut (Ahimsa-Putra, 2009).
d. Masalah Yang Diteliti / Yang Ingin Dijawab - (4)
Ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab atau hipotesa yang ingin diuji kebenarannya. Setiap paradigma memiliki masalah-masalahnya sendiri, yang sangat erat kaitannya dengan asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai. Oleh karena itu, rumusan masalah dan hipotesa harus dipikirkan dengan seksama dalam setiap penelitian, karena di baliknya terdapat sejumlah asumsi dan di dalamnya terdapat konsep-konsep terpenting. Oleh Kuhn unsur ini disebut exemplar. Suatu penelitian selalu berawal dari suatu kebutuhan, keperluan, yaitu keperluan untuk: (a) memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, atau keinginan, (b) membuktikan kebenaran empiris duga-an-dugaan atau pernyataan-pernyataan tertentu (Ahimsa-Putra, 2009).
Penelitian untuk memenuhi kebutuhan pertama selalu berawal dari sejumlah pertanyaan (questions) mengenai gejala-gejala tertentu yang dianggap menarik, aneh, asing, menggelisahkan, menakutkan, merugikan, dan seterusnya, sedang penelitian kedua selalu berawal dari sejumlah pernyataan yang masih perlu dan ingin dibuktikan kebenarannya (hypothesis) atau hipotesa. Oleh karena itu dalam setiap penelitian harus ada pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab, dan/atau hipotesa-hipotesa yang ingin dibuktikan. Penelitian yang berawal dari beberapa pertanyaan tidak perlu lagi menggunakan hipotesa, demikian pula penelitian yang berawal dari sejumlah hipotesa, tidak perlu lagi menggunakan pertanyaan-pertanyaan. Meskipun demikian, kalau suatu penelitian dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sekaligus menjawab hipotesa, hal itu juga tidak dilarang (Ahimsa-Putra, 2009).
e. Konsep-konsep Pokok (Main Concepts, Key Words) - (5)
Dalam ilmu sosial-budaya, konsep dimaknai berbeda-beda. Di sini, secara sederhana konsep didefinisikan sebagai istilah-istilah atau kata-kata yang diberi makna tertentu sehingga membuatnya dapat digunakan untuk menganalisis, memahami, menafsirkan dan menjelaskan peristiwa atau gejala sosial-budaya yang dipelajari (Ahimsa-Putra, 2009)
Apa contoh dari konsep ini? Banyak sekali dalam ilmu sosial-budaya. Misalnya: masyarakat, kebudayaan, pendidikan, sekolah, konflik, sukubangsa, kepribadian, kerjasama, dan sebagainya. Kamus antropologi, kamus sosiologi, dan sejenisnya, merupakan kumpulan penjelasan konsep-konsep yang dipandang penting dalam kajian antropologi dan sosiologi. Banyak istilah-istilah di situ merupakan istilah yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian belum tentu kita mengetahui makna istilah-istilah tersebut dengan baik, bahkan tidak sedikit yang salah dalam menggunakannya, terutama jika istilah tersebut berasal dari bahasa asing.
Ketika sebuah istilah diberi makna tertentu oleh seorang ilmuwan yang kebetulan membutuhkan istilah tersebut untuk menjelaskan sebuah gejala, pada saat itulah istilah tersebut -berdasarkan definisi di atas- menjadi ‘konsep’. Sebagai contoh adalah kata ‘kebudayaan’. Pada mulanya istilah kebudayaan adalah istilah sehari-hari, yang kemudian diberi definisi oleh orang-orang tertentu, di antaranya adalah Ki Hadjar Dewantoro. Kemudian beberapa orang lain memberikan definisi baru, di antaranya adalah Koentjaraningrat. Semenjak itu, kata ‘kebudayaan’ menjadi sebuah konsep yang penting dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosial-budaya, khususnya lagi dalam antropologi (Ahimsa-Putra, 2009).
Sebuah konsep dalam ilmu sosial-budaya bisa diberi definisi atau batasan berbagai macam. Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak ada definisi yang paling benar, karena setiap konsep dapat diberi definisi dari sudut pandang tertentu, dengan cara tertentu. Yang perlu diperhatikan adalah apakah definisi sebuah konsep memungkinkan peneliti mempelajari, memahami dan menjelaskan gejala yang diteliti dengan baik. Oleh karena itu, sebelum merumuskan sebuah definisi seyogyanya peneliti melakukan kajian pustaka yang cukup komprehensif agar dapat memperoleh berbagai definisi yang telah dibuat oleh para ilmuwan lain berkenaan dengan konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitiannya (Ahimsa-Putra, 2009).
f. Metode-metode Penelitian (Methods of Research) - (6)
Metode adalah cara, sedang penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, sedang “metodologi penelitian” adalah ilmu tentang cara-cara mengumpulkan data, termasuk di dalamnya jenis-jenis data. Ada berbagai cara untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian, dan cara mana yang akan digunakan tergantung pada jenis data yang diperlukan. Cara dan kegiatan untuk mengumpulkan data kualitatif tidak akan bisa sama dengan kegiatan mengumpulkan data kuantitatif. Atas dasar jenis data yang diperlukan inilah muncul kemudian berbagai metode pengumpulan data (Ahimsa-Putra, 2009).
Berkenaan dengan metode penelitian ini umumnya kita mengenal pembedaan antara ‘metode penelitian kuantitatif’ dan ‘metode penelitian kualitatif’. Meskipun demikian banyak sekali mahasiswa dan sarjana ilmu sosial-budaya yang mempunyai pengertian kurang lengkap tentang ‘metode penelitian’ ini, sehingga ketika mereka ditanya “di mana letak kualitatifnya dan kuantitatifnya sebuah metode?”, mereka tidak dapat menjawab. Selain itu, banyak juga ilmuwan sosial-budaya yang hanya mengetahui satu jenis metode saja, yaitu yang kuantitatif, sehingga semua masalah selalu diteliti dengan menggunakan metode yang sama, padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih jelek lagi, karena tidak mengetahui jenis metode penelitian yang lain, metode penelitian itulah (yang kuantitatif) yang kemudian dianggap sebagai satu-satunya metode penelitian yang ilmiah (Ahimsa-Putra, 2009).
Dalam pembicaraan di sini ‘penelitian’ harus diartikan sebagai ‘pengumpulan data’. Oleh karena itu, metode penelitian kualitatif dan kuantitatif tidak lain adalah metode atau cara guna memperoleh dan mengumpulkan data kualitatif dan data kuantitatif. Jadi yang bersifat ‘kuantitatif’ atau ‘kualitatif’ bukanlah metodenya, tetapi datanya. Selanjutnya, sifat data ini juga sangat menentukan cara kita untuk mendapatkannya. Untuk itu kita perlu tahu ciri-ciri penting yang ada pada masing-masing data. Dilihat dari sudut pandang ini, maka sebenarnya tidak ada pemisahan dan tidak perlu ada pemisahan yang sangat tegas dan kaku antara “penelitian kualitatif” dan ‘penelitian kuantitatif”, sebagaimana sering dikatakan oleh sebagian ilmuwan sosial-budaya yang kurang memahami tentang metode-metode penelitian. Yang penting dalam suatu penelitian adalah bagaimana dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dengan memuaskan, dengan meyakinkan, dan ini sangat tergantung pada data yang dikemukakan. Data yang dibutuhkan dalam suatu penelitian bisa berupa data kualitatif, data kuantitatif, atau kedua-duanya, dan sebuah penelitian bisa saja memerlukan dan memanfaatkan dua jenis data ini untuk menjawab masalah-masalahnya. Data kuantitatif dikumpulkan dengan cara yang berbeda dengan data kualitatif. Oleh karena ciri dan sifatnya yang berbeda ini, maka analisis terhadap data ini juga berbeda (Ahimsa-Putra, 2009).
Data kuantitatif adalah kumpulan simbol -bisa berupa pernyataan, huruf atau angka- yang menunjukkan suatu jumlah (quantity) atau besaran dari suatu gejala; seperti misalnya jumlah penduduk, jumlah laki dan perempuan, jumlah anak sekolah, jumlah rumah, jumlah tempat ibadah, luas sebuah kelurahan, jumlah padi yang dipanen, dalamnya sebuah sumur, dan sebagainya. Data kuantitatif dapat diperoleh dari kantor statistik atau kantor pemerintah (kabupaten, kecamatan, kelurahan, dst.) atau dari penghitungan butir-butir tertentu yang ada dalam kuesioner (daftar pertanyaan) yang diedarkan dalam suatu penelitian, atau dari pernyataan informan (Ahimsa-Putra, 2009).
Data kualitatif tidak berupa angka tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu ini bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku, atau gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bisa pula peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat (Ahimsa-Putra, 2009)
Dari berbagai penelitian sosial-budaya yang telah dilakukan, saya menemukan bahwa data kualitatif ini biasanya mengenai antara lain: (1) nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan; (2) kategori-kategori sosial dan budaya; (3) ceritera (4) percakapan; (5) pola-pola perilaku dan interaksi sosial; (6) organisasi sosial; (7) lingkungan fisik (Ahimsa-Putra, 2009).
Dalam masing-masing metode penelitian ini terdapat sejumlah metode penelitian lagi, yang penggunaannya biasanya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan praktis, yakni ketersediaan waktu, biaya dan tenaga. Dalam metode pengumpulan data kuantitatif -yang selanjutnya kita sebut metode penelitian kuantitatif-, terdapat misalnya: (a) metode kajian pustaka; (b) metode survei dan (c) metode angket. Dalam metode penelitian kualitatif terdapat (a) metode kajian pustaka; (b) metode pengamatan; (c) metode pengamatan berpartisipasi (participant observation); (d) metode wawancara sambil lalu; (e) metode wawancara mendalam, dan (f) metode mendengarkan (Ahimsa-Putra, 2009).
g. Metode-metode Analisis (Methods of Analysis) - ( 7 )
Metode analisis data pada dasarnya adalah cara-cara untuk memilah-milah, mengelompokkan data -kualitatif maupun kuantitatif- agar kemudian dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara kategori data yang satu dengan data yang lain. Sebagaimana halnya metode penelitian, metode analisis kualitatif dan metode analisis kuantitatif harus diartikan sebagai metode menganalisis data kualitatif dan metode menganalisis data kuantitatif. Mengelompokkan data kuantitatif memerlukan siasat atau cara yang berbeda dengan mengelompokkan data kualitatif, karena sifat dan ciri data tersebut memang berbeda (Ahimsa-Putra, 2009).
Metode analisis data kualitatif pada dasarnya sangat memerlukan kemampuan untuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan di antara data kualitatif, dan ini hanya dapat dilakukan apabila konsep-konsep teoritis yang digunakan didefinisikan dengan baik. Persamaan dan perbedaan ini tidak begitu mudah ditemukan, namun bilamana pada saat pengumpulannya data ini sudah dikelompokkan terlebih dahulu, hal itu akan mempermudah analisis lebih lanjut.
Berkenaan dengan metode analisis ini yang paling perlu diperhatikan adalah tujuan akhir dari suatu kerja analisis. Dengan memperhatikan secara seksama pertanyaan penelitian yang kita kemukakan, sebenarnya kita sudah dapat menentukan sejak awal metode analisis seperti apa yang akan kita lakukan atau kita perlukan. Meskipun ada berbagai macam jenis metode analisis, namun secara umum kita dapat mengatakan bahwa tujuan akhir analisis adalah menetapkan hubungan-hubungan antara suatu variabel/gejala/unsur tertentu dengan variabel/gejala/unsur yang lain, dan menetapkan jenis hubungan yang ada di situ. Setiap paradigma selalu mempunyai metode analisis tertentu, karena metode analisis inilah yang kemudian akan menentukan corak hasil analisis atau teorinya, sehingga teori yang muncul dalam sebuah paradigma tidak akan sama dengan teori yang muncul dalam paradigma yang lain (Ahimsa-Putra, 2009).
h. Hasil Analisis / Teori (Results of Analysis / Theory) - (8)
Apabila kita dapat melakukan analisis atas data yang tersedia dengan baik dan tepat, maka tentu akan ada hasil dari analisis tersebut, yang dapat dikatakan sebagai “kesimpulan” kita. Hasil analisis ini harus menyatakan relasi-relasi antarvariabel, antarunsur atau antargejala yang kita teliti. Jika hasil analisis kita tidak berhasil mencapai ini, maka hal itu bisa berarti tiga hal. Pertama, data yang kita analisis mengandung beberapa kesalahan mendasar. Kedua, analisis kita salah arah. Ketiga, analisis kita masih kurang mendalam, dan ini mungkin juga disebabkan oleh kurangnya data yang kita miliki (Ahimsa-Putra, 2009).
Setelah kita menganalisis berbagai data yang telah kita peroleh dengan menggunakan metode-metode tertentu, kita akan memperoleh suatu kesimpulan tertentu, suatu pendapat tertentu berkenaan dengan gejala yang dipelajari. Pendapat ini bisa berupa pernyataan-pernyataan yang menunjukkan relasi antara suatu variabel dengan variabel yang lain, atau pernyataan yang menunjukkan “hakekat” (the nature) atau ciri dan keadaan dari gejala yang kita teliti. Hasil analisis yang berupa pernyataan-pernyataan tentang hakekat gejala yang diteliti atau hubungan antarvariabel atau antargejala yang diteliti inilah yang kemudian biasa disebut sebagai teori. Dengan kata lain, teori adalah pernyataan mengenai hakekat sesuatu (gejala yang diteliti) atau mengenai hubungan antarvariabel atau antargejala yang diteliti, yang sudah terbukti kebenarannya (Ahimsa-Putra, 2009)
Kalau cakupan (scope) penelitian kita luas, data yang kita analisis berasal dari banyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang kita kemukakan dapat memberikan penjelasan yang berlaku umum, “universal”, melampaui batas-batas ruang dan waktu, maka biasanya dia akan disebut sebagai teori besar (grand theory). Kalau teori tersebut hanya kita tujukan untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu yang agak umum, namun tidak cukup universal, maka dia lebih tepat disebut sebagai teori menengah (middle-range theory) (Merton,19 ). Bilamana teori yang kita sodorkan hanya berlaku untuk gejala-gejala yang kita teliti saja, yang terjadi hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang kita teliti, maka dia lebih tepat disebut teori kecil (small theory). Di sini pernyataan tentang hubungan antarvariabel tersebut lebih kecil atau lebih terbatas cakupannya (Ahimsa-Putra, 2009).
i. Representasi (Etnografi) - (9)
Representasi atau penyajian adalah karya ilmiah yang memaparkan kerangka pemikiran, analisis dan hasil analisis yang telah dilakukan, yang kemudian menghasilkan kesimpulan atau teori tertentu. Representasi ini bisa berupa skripsi (pada S-1), tesis (pada S-2), disertasi (pada S-3), laporan penelitian, makalah, artikel ilmiah (dalam jurnal ilmiah), atau sebuah buku. Dalam antropologi, representasi ini biasa disebut etnografi. Dalam sejarah disebut historiografi. Dalam arkeologi ada yang menyebutnya sebagai paleoetnografi (Ahimsa-Putra, 2009).
Representasi atau etnografi merupakan tulisan yang dihasilkan oleh seorang peneliti setelah dia melakukan penelitian atas satu atau beberapa masalah dengan menggunakan paradigma tertentu. Oleh karena itu sebuah paradigma belum akan terlihat sebagai sebuah paradigma sebelum ada etnografinya. Sebuah paradigma yang tidak memiliki etnografi dengan corak tertentu belum dapat dikatakan sebagai paradigma yang utuh.
Di masa lalu etnografi sebagai suatu representasi kebudayaan atau unsur-unsur kebudayaan tertentu kurang mendapatkan perhatian dalam cara penulisannya. Namun semenjak Malinowski mulai dengan sangat sadar menyajikan sebuah etnografi fungsional, yang menampilkan dengan jelas hubungan fungsional antarunsur kebudayaan, penulisan etnografi mulai memperoleh perhatian yang lebih besar. Perhatian ini semakin menguat dan kritis dengan munculnya paradigma post-modernisme dalam antropologi, yang banyak mendapat inspirasi dari kritik sastra. Kini, para ahli antropologi telah menyadari betul-betul bahwa representasi suatu kebudayaan dalam bentuk sebuah etnografi adalah persoalan penting, karena akan berdampak terhadap citra kebudayaan yang disajikan.
3. Skema dan Macam Paradigma Antropologi (Budaya)
Urutan atau jenjang unsur-unsur paradigma di atas dapat digambarkan dengan skema seperti pada halaman berikut (Skema 2, hal.10). Skema itu disusun dengan anggapan bahwa dalam sebuah paradigma unsur ‘asumsi dasar’ merupakan dasar dari unsur-unsur yang lain, dan sudah ada sebelum adanya unsur-unsur yang lain. Oleh karena itu, asumsi-asumsi dasar ditempatkan paling bawah. Representasi (etnografi) merupakan unsur yang terakhir muncul dalam sebuah paradigma, sehingga unsur ini ditempatkan di atas.
Asumsi-asumsi dasar dapat dikatakan sebagai unsur-unsur paradigma yang paling dasar, paling tersembunyi, paling implisit, dan karena itu biasanya juga paling tidak disadari. Oleh karena itu berada/ditempatkan di paling bawah. Demikian juga halnya nilai-nilai. Walaupun, nilai-nilai ini biasanya lebih disadari daripada asumsi dasar. Seorang ilmuwan yang baik akan selalu tahu dan sadar tentang nilai-nilai keilmuan yang harus diikuti dalam setiap kegiatan ilmiah. Ilmuwan atau peneliti umumnya cukup mengetahui nilai-nilai universal dalam kegiatan ilmiah.
Model-model merupakan unsur paradigma yang sudah lebih jelas atau lebih kongkrit dibandingkan dengan asumsi-asumsi dasar, walaupun tingkat keabstrakan dan keimplisitannya seringkali sama dengan asumsi dasar. Namun unsur model ini juga lebih sederhana dibandingkan dengan elemen asumsi dasar. Sebuah model umumnya merupakan impilkasi lebih lanjut dari asumsi dasar yang dianut. Oleh karena itu, model ditempatkan setelah asumsi dasar.
Masalah-masalah yang ingin diteliti, yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan atau hipotesa, merupakan unsur yang harus eksplisit, sehingga unsur ini ditempatkan di atas garis pemisah antara unsur-unsur yang (bisa) implisit dengan unsur-unsur yang harus eksplisit. Masalah-masalah penelitian juga merupakan implikasi dari asumsi dan model yang dianut, walaupun hal ini tidak selamanya disadari oleh para penliti.
Konsep-konsep pokok juga merupakan unsur paradigma yang kongkrit, yang eksplisit karena dalam setiap penelitian, makna konsep-konsep ini sudah harus dipaparkan dengan jelas. Seperti halnya masalah penelitian, konsep-konsep ini sudah bersifat eksplisit dan disadari, diketahui, walaupun tidak selalu dimengerti dengan baik segala implikasi metodologisnya oleh para peneliti.
Metode penelitian dan metode analisis merupakan tahap-tahap pewujudan dari asumsi-asumsi dasar, model dan konsep dalam sebuah kegiatan penelitian. Pelaksanaan atau penerapan metode-metode ini didasarkan pada apa-apa yang ada dalam asumsi dasar, model dan konsep. Dengan kata lain metode-metode ini merupakan tahap pelaksanaan penelitian yang dibimbing oleh unsur-unsur paradigma yang sudah ada sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan konsep-konsep tertentu akan memerlukan metode yang berbeda dengan penelitian yang menggunakan konsep-konsep yang lain.
Hasil analisis merupakan unsur yang muncul setelah dilakukannya analisis atas data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Hasil analisis ini juga harus dinyatakan secara eksplisit, tegas dan jelas. Jika tidak tegas dan jelas maka penelitian yang telah dilakukan akan dinilai kurang berhasil, dan ini akan membuat telaah atas paradigma yang telah digunakan semakin dipertajam.
Representasi merupakan elemen terakhir dari sebuah paradigma, dan di sinilah sebuah paradigma akan dinilai keberhasilannya untuk menjawab persoalan-persoalan tertentu. Sebagai hasil akhir, representasi ini sedikit banyak akan mencerminkan keseluruhan elemen-elemen yang ada dalam sebuah paradigma. Oleh karena itu, dalam skema di atas, semua ujung panah akhirnya mengarah pada unsur representasi ini.
Skema di atas akan menjadi terbalik, yakni unsur representasi berada di bawah, jika dikatakan bahwa unsur-unsur paradigma diturunkan dari asumsi-asumsi dasar. Skema yang terbalik ini disusun atas dasar tingkat keabstrakan dan keimplisitan dari unsur-unsur paradigma. Semakin abstrak, implisit dan tidak disadari sebuah unsur, akan semakin tinggi tempatnya dalam skema di atas. Meskipun demikian, semuanya akan berakhir pada representasi atau etnografi.
Dengan menggunakan kerangka paradigma di atas, saya mencoba memetakan paradigma-paradigma yang telah berkembang dalam antropologi budaya hingga masa kini (tahun 2008), dan paradigma-paradigma tersebut adalah sebagai berikut.
1. Paradigma Evolusionisme
2. Paradigma Diffusionisme
3. Paradigma Partikularisme Historis (Historical Anthropology)
4. Paradigma Fungsionalisme
5. Paradigma Analisis Variabel
6. Paradigma Cross-Cultural
7. Paradigma Kepribadian dan Kebudayaan (Culture and Personality)
8. Paradigma Strukturalisme (Lévi-Strauss)
9. Paradigma Tafsir Kebudayaan
10. Paradigma Materialisme Budaya
11. Paradigma Materialisme Historis
12. Paradigma Etnosains
13. Paradigma Konstruksionisme (Fenomenologi)
14. Paradigma Actor-Oriented
15. Paradigma Post-Modernisme
Klasifikasi paradigma ini ditentukan atas dasar persamaan dan perbedaan yang terdapat pada unsur-unsur yang relatif pokok dalam paradigma, yakni: (a) asumsi dasar; (b) model; (c) masalah penelitian (yang ingin diteliti); dan (d) konsep.
Agar paradigma-paradigma tersebut dapat tampil sebagai paradigma yang saling berhubungan secara historis, diperlukan sebuah paparan yang historis. Untuk itu saya akan memulainya dengan paradigma yang pertama muncul dalam antropologi, yakni evolusi kebudayaan (evolutionism), yang muncul di akhir abad 19 [2].
Pandangan tentang evolusi kebudayaan dalam antropologi pertama kali dilontarkan oleh E.B.Tylor, ahli antropologi dari Inggris. Tylor (1865) membagi evolusi kebudayaan menjadi tiga tahap, yakni tahap Savagery, Barbarism dan Civilization, dengan ekonomi dan teknologi sebagai unsur-unsur budaya pembeda di antara tiga tahap tersebut. Pada tahap Savagery manusia hidup dari berburu dan meramu, dengan menggunakan peralatan yang terbuat dari kayu, tulang dan batu. Mereka hidup berpindah-pindah tempat. Pada tahap Barbarism manusia mulai mengenal bercocok-tanam. Mereka mulai hidup menetap, karena harus menunggui tanaman mereka. Peralatan mereka mulai dibuat dari logam. Pada tahap terakhir, tahap Peradaban, manusia mulai mengenal tulisan, mengenal kehidupan perkotaan, dan mampu membuat bangunan-bangunan besar, yang memerlukan pengetahuan dan peralatan yang canggih, serta organisasi sosial yang kompleks.
Teori evolusi kebudayaan dari Tylor tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh L.H.Morgan (1877), yang membagi tahap Savagery dan Barbarism menjadi tiga, yakni Savagery Awal (Lower Savagery), Savagery Tengah (Middle Savagery), dan Savagery Akhir (Upper Savagery); Barbarisme Awal, Barbarisme Tengah, dan Barbarisme Akhir. Tahap akhir adalah tahap Peradaban (Civilization) [3]).
Di tengah pandangan masyarakat Eropa Barat yang ketika itu masih kuat menganut ajaran-ajaran kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, teori evolusi kebudayaan dari Tylor dan Morgan merupakan sebuah pandangan baru. Teori-teori tersebut menyadarkan mereka bahwa sebagaimana halnya gejala alam, gejala-gejala dalam masyarakat dan kebudayaan juga dapat dipelajari secara rasional, untuk kemudian diungkapkan “hukum-hukum“ yang ada di baliknya. Secara implisit teori tersebut mengajak masyarakat Eropa Barat untuk memandang dan berfikir tentang masyarakat dan kebudayaan lewat paradigma evolusi, bukan lewat paradigma dari kitab suci. Jadi, teori evolusi kebudayaan adalah sebuah kritik terhadap cara berfikir masyarakat Eropa Barat ketika itu (Marcus dan Fischer, 1986).
Kemunculan teori evolusi kebudayaan tersebut telah mengundang sejumlah reaksi, yakni (a) yang berupa kritik terhadap teori evolusi dan kemudian menyodorkan paradigma yang lain, dan (b) yang mengakui kelemahan teori evolusi dari Tylor dan Morgan, namun tidak menolak ide dasarnya, yakni bahwa kebudayaan atau masyarakat mengalami evolusi. Kelompok pertama diwakili antara lain oleh ahli-ahli antropologi seperti Frans Boaz, Radcliffe-Brown dan Malinowski, sedang kelompok kedua diwakili misalnya oleh Leslie White dan Julian Steward.
White pada dasarnya mengakui bahwa kriteria yang digunakan oleh Tylor dan Morgan bersifat subyektif, dan technological biasnya begitu kuat. Oleh karena itu, teori evolusi yang lebih baik harus dibuat di atas dasar kriteria yang lebih “obyektif“, yang dapat ditentukan ukurannya. Sehubungan dengan itu, White (1949) kemudian mengusulkan kriteria baru: enerji (energy), karena setiap kebudayaan pada dasarnya adalah sebuah sistem thermodinamis, yakni sistem yang melakukan transformasi enerji. Dengan enerji sebagai tolok ukur, maka tingkat evolusi kebudayaan dapat ditentukan secara kuantitatif. Ukuran ini juga bersifat universal, sehingga dapat dikatakan “obyektif“. Dengan kriteria enerji, Leslie White kemudian merumuskan sebuah “hukum“ evolusi kebudayaan, yakni C = E x T. C adalah culture, E adalah energy dan T adalah technology. Artinya, evolusi kebudayaan merupakan perubahan sistem yang melakukan transformasi enerji dengan bantuan teknologi (White, 1949: 368). Teori evolusi ini kemudian disebut teori evolusi “universal“ (Carneiro, 1973), karena White berbicara tentang kebudayaan manusia dalam arti umum dan kriteria yang digunakannya juga dapat digunakan secara universal.
Berbeda dengan White, Julian Steward melihat bahwa kelemahan teori evolusi dari Tylor dan Morgan adalah pada data yang digunakan, yakni tidak berasal dari hasil penelitian lapangan yang serius pada suatu kebudayaan tertentu. Oleh karena itu Steward mencoba menggunakan paradigma evolusi untuk meneliti salah satu sukubangsa Indian di Amerika Serikat, yakni Indian Shoshone di kawasan Great Basin (1938). Dari penelitian ini Steward sampai pada pendapat bahwa evolusi kebudayaan terkait erat dengan kondisi lingkungan. Kebudayaan orang Indian Shoshone yang ditelitinya ternyata tidak lagi mengalami evolusi, karena telah sesuai (adaptif) dengan lingkungan alamnya. Sehubungan dengan itu Steward berpendapat bahwa setiap kebudayaan mempunyai inti (cultural core), yang terdiri dari teknologi dan organisasi kerja. Cultural core inilah yang menentukan corak adaptasi kebudayaan terhadap lingkungannya (1955). Dengan kata lain, interaksi antara inti kebudayaan dengan lingkunganlah yang menentukan arah evolusi suatu kebudayaan. Evolusi kebudayaan, dengan demikian, tidaklah berjalan mengikuti satu jalur (unilinier), tetapi banyak jalur (multilinier). Teori Steward ini kemudian dikenal sebagai teori evolusi multilinear (multilinier).
Apa yang terjadi dalam paradigma evolusionisme menunjukkan bahwa kelemahan-kelemahan dalam paradigma ini tidak serta-merta membuat para ahli kebudayaan meninggalkannya dan membangun paradigma baru. “Krisis“ dalam paradigma justru telah mendorong sebagian ahli untuk memperbaikinya, dan kemudian melahirkan sub-paradigma atau paradigma turunan. Perbaikan tidak dilakukan dengan mengubah asumsi dasar yang terpenting, yakni bahwa kebudayaan itu berkembang, dan bahwa manusia pada dasarnya bersifat inventive (mampu menghasilkan hal-hal baru), tetapi dengan mengajukan model kebudayaan yang berbeda. Kalau Tylor dan Morgan secara implisit mengumpamakan kebudayaan seperti mahluk hidup (organisme), maka White memandang kebudayaan seperti sebuah sistem termodinamis, sistem yang mentransformasi enerji, sedang Steward memandang kebudayaan seperti mahluk hidup yang berada dalam lingkungan tertentu dan selalu berada dalam proses adaptasi terhadap lingkungan tersebut melalui bagian intinya.
Penggunaan model yang berbeda dengan sendirinya menghendaki adanya konsep-konsep baru. Pada sub-paradigma evolusi universal yang dikembangkan oleh White, muncul konsep-konsep penting seperti termodinamika, enerji, dan transformasi. Pada sub-paradigma evolusi multilinier, konsep-konsep penting tersebut adalah lingkungan, adaptasi, cultural core, organisasi kerja, dan sebagainya. Perbaikan metodologis juga ada. Munculnya konsep enerji misalnya, menuntut ahli antropologi untuk memiliki metode mengukur jumlah enerji guna menentukan evolusi yang telah terjadi. Hadirnya konsep inti budaya yang terdiri dari organisasi kerja dan teknologi, menuntut ahli antropologi memiliki metode penelitian untuk mengungkap organisasi kerja tersebut.
Tidak lama setelah teori evolusi dilontarkan, muncul sebuah paradigma lain dalam studi kebudayaan, yakni diffusionism (difusionisme) atau penyebaran kebudayaan, dari ahli-ahli kebudayaan di Inggris dan Jerman. Di awal kemunculannya paradigma ini tidak dipertentangkan dengan paradigma evolusionisme, karena tokoh-tokoh aliran evolusi seperti Tylor dan Morgan juga tidak pernah menolak fakta bahwa unsur-unsur kebudayaan bisa menyebar, dan perubahan kebudayaan bisa terjadi karena penyebaran ini (White, 1945). Paradigma difusi baru terlihat berlawanan dengan dan merupakan alternatif terhadap paradigma evolusi setelah Franz Boas di Amerika Serikat dengan murid-muridnya melontarkan berbagai kritik terhadap paradigma evolusi (lihat Harris, 1968; Kroeber, 1946; White, 1945), dan menyatakan bahwa pendekatan difusionistis merupakan pendekatan yang lebih sesuai untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan. Menurut mereka teori evolusi kebudayaan terlalu menekankan faktor internal, dan kurang memperhatikan faktor eksternal, ketika menjelaskan perubahan kebudayaan.
Ide tentang difusi kebudayaan pada awalnya muncul di Inggris dari W.J.Perry dan Elliot Smith yang kebetulan meneliti budaya Mesir Kuno. Kekaguman mereka atas kecanggihan budaya ini membuat mereka berkesimpulan bahwa peradaban-peradaban kuno yang lain di muka bumi sebenarnya berasal dari Mesir. Penyebaran peradaban tersebut terjadi ketika orang-orang Mesir, yang mereka sebut sebagai “putra-putra dewa matahari“ (children of the sun), menyebar ke berbagai tempat di dunia untuk mencari logam mulia dan batu mulia (Van Baal, 1987). Teori ini segera ditolak oleh para ahli antropologi karena: (a) tidak didukung oleh data yang baik dan akurat; dan (b) data tidak dikumpulkan dengan menggunakan metode dan prosedur penelitian yang jelas, sehingga teori tersebut sebenarnya hanya buah dari pemikiran yang spekulatif.
Meskipun demikian, para ahli antropologi menyadari bahwa pandangan Perry dan Smith tentang kebudayaan ada benarnya, yakni bahwa unsur-unsur kebudayaan dapat menyebar dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, dan beberapa kebudayaan memang terlihat memiliki pusat tertentu, yang kemudian menjadi semacam pusat penyebarannya. Di pusat ini pulalah terdapat dinamika kebudayaan yang paling tinggi. Lebih dari itu, mereka juga telah menyodorkan sebuah cara pandang baru terhadap ke-budayaan. Kebudayaan kemudian tidak lagi harus dilihat secara evolusionistis, tetapi bisa juga secara difusionistis. Artinya, dinamika dan perkembangan kebudayaan tidak hanya berlangsung dalam bentang waktu tertentu, tetapi juga dalam bentang ruang. Ada dimensi waktu dan juga ruang dalam perubahan kebudayaan.
Tanpa mendapat pengaruh dari ilmuwan Inggris, di Jerman juga muncul studi tentang penyebaran kebudayaan, dan telah melahirkan konsep-konsep baru seperti kulturkreis (daerah atau lingkungan kebudayaan) dan kulturschichten (lapisan kebudayaan) (Baal, 1987). Secara metodologis, kajian penyebaran kebudayaan di Jerman ini memang lebih baik daripada yang dilakukan di Inggris, karena digunakannya kriteria kuantitas dan kualitas dalam studi perbandingan guna menentukan tingkat keterhubungan unsur-unsur budaya (Koentjaraningrat, 1980). Kebudayaan-kebudayaan yang dianggap memiliki hubungan karena menunjukkan kesamaan-kesamaan tertentu, kemudian dianggap berada dalam suatu wilayah kebudayaan tertentu, yang disebut kulturkreis. Para ilmuwan Jerman berpendapat bahwa dengan menyusun kulturkreis dari berbagai kebudayaan di dunia, akhirnya kulturhistorie global akan dapat diketahui dan direkonstruksi.
Meskipun para ilmuwan Jerman telah memperbaiki metode analisis mereka, namun masih ada juga beberapa kelemahan dalam prosedur penelitian mereka, yang membuat kesimpulan-kesimpulan mereka lantas terasa spekulatif. Kelemahan utama adalah bahwa studi perbandingan tidak dimulai dari kebudayaan-kebudayaan yang berdekatan satu sama lain, tetapi didasarkan pada ketersediaan data unsur budaya, dan ini terjadi karena kelemahan yang kedua, yakni tidak dilakukannya penelitian lapangan untuk mendapatkan data kebudayaan yang diperlukan (Baal, 1987).
Terlepas dari kelemahan-kelemahan tersebut, apa yang dilakukan oleh para ahli antropologi Jerman telah berada pada jalur yang tepat. Mereka telah menggunakan analisis komparatif yang disertai dengan asas kualitas dan kuantitas, guna menentukan wilayah persebaran satu atau beberapa unsur kebudayaan (Baal, 1987; Koentjaraning-rat, 1980). Metode inilah yang dikembangkan oleh para ahli antropologi Amerika Serikat yang setuju dengan pandangan-pandangan dasar paradigma difusi kebudayaan. Kebanyakan mereka ini adalah anak didik Franz Boas. Boas sendiri menolak teori-teori evolusi dan difusi karena menurutnya data kebudayaan yang tersedia belum memungkinkan para ahli antropologi merumuskan teori-teori atau hukum-hukum seperti itu. Jika hal itu dipaksakan, maka yang akan lahir bukanlah teori-teori yang kokoh, tetapi pendapat-pendapat spekulatif yang tidak ilmiah. Bagi Boas, sejarah kebudayaan bersifat khas atau khusus, yang hanya dapat ditulis atas dasar data yang berasal dari penelitian lapangan yang seksama dan intensif. Oleh karena itu, tugas utama para ahli antropologi menurut Boas adalah melakukan penelitian lapangan dan mengumpulkan data kebudayaan serinci mungkin. Aliran pemikiran Boas ini kemudian dikenal sebagai “partikularisme historis“ (historical particularism) dan telah mendominasi kajian-kajian antropologi Amerika Serikat di awal abad 20 (Harris, 1968).
Dengan kerangka berfikir partikularisme historis inilah murid-murid Boas melakukan penelitian lapangan untuk merekonstruksi sejarah-sejarah kebudayaan berbagai suku-bangsa di dunia, terutama kebudayaan orang-orang Indian di Amerika Utara. Upaya ini kemudian tidak berbeda dengan studi tentang difusi unsur-unsur kebudayaan, karena masalah sejarah mencakup juga masalah asal-usul berbagai macam unsur tersebut. Dari sejarah kebudayaan ini dapat diketahui hubungan dan saling pengaruh antarkebudayaan, atau proses penyebaran kebudayaan di masa lampau, sehingga dapat disusun kemudian peta wilayah-wilayah kebudayaan (culture areas), yakni daerah-daerah dengan berbagai kebudayaan yang banyak kesamaannya satu sama lain.
Meskipun penelitian lapangan dengan metodologi yang lebih baik telah dilakukan oleh para ahli antropologi Amerika Serikat, namun kritik tetap dilontarkan terhadap aliran mereka, partikularisme historis. Dalam prakteknya sejarah suku-sukubangsa ini ternyata tidak selalu dapat diungkap, karena tidak adanya data sejarah. Adalah Bronislaw Malinowski dan A.R.Radcliffe-Brown yang menolak pendekatan sejarah dalam antropologi. Dua pakar antropologi dari Inggris ini telah melakukan penelitian lapangan pada suku-sukubangsa yang sederhana. Malinowski melakukannya di kalangan orang Trobriand, sedang Radcliffe-Brown melakukannya di kalangan orang Andaman. Penelitian lapangan ini tampaknya telah menyadarkan mereka akan keterbatasan pendekatan sejarah untuk mempelajari masyarakat-masyarakat sederhana di luar Eropa, yang tidak mengenal tulisan dan juga belum pernah ditulis oleh orang lain. Masyarakat-masyarakat seperti ini tidak memiliki sumber-sumber sejarah. Sejarah yang mereka miliki bukanlah sejarah sebagaimana dipahami para ilmuwan Barat. Sejarah mereka adalah mitos. Penelitian dengan paradigma partikularisme historis pada masyarakat seperti itu tidak akan menghasilkan sejarah tetapi “sejarah-sejarahan“ (pseudo history) (Radcliffe-Brown, 1952). Jadi, diperlukan paradigma yang lain. Penelitian lapangan intensif yang dilakukan oleh Malinowski dan Radcliffe-Brown tampaknya telah membawa keduanya pada sebuah paradigma yang tidak historis, yakni fungsionalisme.
Apa yang terjadi pada paradigma evolusionisme terulang pada paradigma difusionisme. Paradigma difusi diterima oleh sebagian ahli, tetapi juga ditolak oleh sebagian yang lain. Mereka yang menolak kemudian mengembangkan paradigma baru, sedang yang menerima memperbaiki paradigma yang lama. Muncullah kemudian sub-paradigma dalam aliran difusi. Perubahan model tidak terjadi di sini, tetapi metode penelitian dan analisis disempurnakan. Kebudayaan dalam difusionisme tetap diumpamakan seperti kolam yang dilempar batu di bagian tengahnya, sehingga timbul gelombang-gelombang yang menyebar dari tengah ke pinggir. Dari model ini muncul dua sub-paradigma difusi kebudayaan: (a) yang ekstrim, dan (b) yang moderat. Aliran difusi kebudayaan yang ekstrim adalah yang muncul di Inggris, dan yang moderat adalah yang muncul dan berkembang di Jerman dan Amerika Serikat.
Munculnya fungsionalisme-(struktural) sebagai paradigma yang membukakan pintu pemahaman baru terhadap gejala sosial-budaya telah membuat peristiwa ini dikatakan sebagai revolusi dalam antropologi (Jarvie, 1964). Asumsi dasarnya adalah bahwa segala sesuatu itu memiliki fungsi. Fungsi inilah yang menjelaskan keberadaannya. Termasuk di dalamnya keberadaan unsur kebudayaan (Montagu, 1974). Model yang digunakan adalah model organisme (Radcliffe-Brown 1952) atau model mesin. Namun, berbeda dengan kaum evolusionis -yang juga menggunakan model organisme-, kaum fungsionalis tidak berupaya merekonstruksi tahap-tahap evolusi kebudayaan atau unsur-unsurnya. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui fungsi berbagai gejala sosial-budaya, seperti halnya fungsi suatu organ dalam organisme. Dengan paradigma ini, perhatian peneliti tidak lagi ditujukan pada upaya mengetahui asal-usul suatu pranata atau unsur budaya tertentu, tetapi pada fungsinya dalam konteks kehidupan masyarakat atau kebudayaan tertentu. Suatu unsur kebudayaan yang berasal dari masa lampau tidak lagi dilihat sebagai sisa-sisa budaya lama, tetapi sebagai unsur budaya yang tetap aktual dalam masyarakat, karena mempunyai fungsi tertentu.
Revolusi yang terjadi karena lahirnya fungsionalisme-(struktural) berlangsung tidak hanya pada tataran penjelasan (explanation), tetapi juga pada tataran metode penelitian dan penulisan etnografi, dan keduanya dilakukan oleh Malinowski. Malinowskilah yang memulai penelitian lapangan dalam waktu yang lama (lebih dari satu tahun), dan betul-betul hidup di tengah masyarakat yang diteliti, serta mempelajari bahasa mereka (lihat Malinowski, 1961). Metode penelitian seperti inilah yang kini dikenal sebagai metode observasi partisipasi (participant observation) dan menjadi salah satu “trademark“ antropologi. Paradigma fungsionalisme-(struktural) memang menuntut penelitian seperti itu. Tanpa penelitian lapangan yang lama dan mendalam, seorang peneliti akan sulit mengetahui dan memahami saling keterkaitan fungsional unsur-unsur budaya masyarakat yang diteliti.
Selanjutnya pemahaman fungsionalistis tentang masyarakat dan kebudayaan itu harus dituangkan dalam bentuk etnografi. Di sini diperlukan siasat penulisan tertentu yang dapat menampilkan kebudayaan sebagai suatu kesatuan dari unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain secara fungsional. Malinowskilah setahu saya yang memulai genre penulisan etnografi semacam ini melalui bukunya The Argonauts of the Western Pacific (1961), yang kemudian dikenal sebagai etnografi holistik. Tidak setiap ahli antropologi mampu menulis etnografi seperti ini. Diperlukan penelitian lapangan yang lama dan intensif, serta kesadaran yang kuat pada diri penulis mengenai citra kebudayaan yang dapat dihasilkan lewat penulisan etnografi dengan siasat tertentu. Di sini seorang ahli antropologi memang perlu menjadi seorang sastrawan.
Berkat kiprah Malinowski dan Radcliffe-Brown serta murid-murid mereka, paradigma fungsional-(struktural) kemudian menjadi salah satu paradigma yang mendominasi ilmu-ilmu sosial di Barat di tahun 1940-1960an. Berbagai teori fungsional-struktural mengenai gejala sosial-budaya bermunculan di era tersebut, seperti misalnya teori tentang fungsi kebudayaan, fungsi mitos, fungsi rituil, fungsi sistem kekerabatan, fungsi sistem politik, fungsi simbol dan sebagainya (lihat, Malinowski, 1954; Radcliffe-Brown, 1952; Gluckman, 1973; Leach, 1954). Paradigma fungsionalisme-(struktural) ini kemudian menyebar ke cabang-cabang ilmu sosial yang lain, terutama sosiologi dan politik. Dalam sosiologi, fungsionalisme dengan corak yang lebih teoritis menjadi lebih dominan berkat kehadiran Talcott Parsons, Robert Merton, Lewis Coser dan sebagainya (Turner dan Maryanski, 1979) yang begitu tekun mengembangkan paradigma tersebut
Seperti halnya dua paradigma sebelumnya, paradigma fungsionalisme-(struktural), juga tidak terhindar dari kritik. Dalam pandangan sejumlah ilmuwan sosial, paradigma ini dianggap tidak dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena perubahan masyarakat dan kebudayaan karena selalu menekankan pada hubungan fungsi-nal antarunsur dan keseimbangan sistem (Buckley, 1967). Dari perspektif politis paradigma tersebut dituduh sebagai “ideologi ilmiah“ dari kaum yang mapan, yang anti-perubahan (Sztompka, 1974). Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh para penganutnya untuk menangkis kritik tersebut (lihat Cancian, 1960; Coser, 1956; Fallding, 1963; Stzompka, 1974). Mereka berupaya membangun paradigma fungsionalisme yang lebih dinamis, yang dapat memasukkan unsur konflik serta perubahan dalam kajian fungsional-(struktural) (lihat Bailey, 1984; Berrin, 1973; Cole, 1966; Gluckman, 1973; Leach, 1954). Namun, upaya-upaya ini tidak sepenuhnya dianggap berhasil. Tidak-dapat-digunakannya paradigma fungsionalisme-(struktural) untuk menganalisis perubahan sosial-budaya dipandang sebagai kelemahan serius oleh banyak ilmuwan, dan ini telah membuat popularitas paradigma tersebut memudar, walaupun tidak mati (lihat Eisenstadt, 1990).
Seiring dengan munculnya kritik terhadap paradigma fungsionalisme-(struktural), arus kritik terhadap filsafat positivisme dalam ilmu sosial-budaya juga semakin menguat. Pengaruh filsafat ini dipandang telah membuat paradigma fungsionalisme-(struktural) kurang dapat mengungkap aspek maknawi dari kehidupan manusia. Sejumlah ahli antropologi kemudian mempertanyakan ketepatan paradigma itu untuk memahami gejala sosial-budaya sebagai gejala simbolik. Padahal, simbol atau lambang, dan pelambangan (simbolisasi) merupakan basis dari perilaku manusia (White, 1949), karena manusia adalah animal symbolicum (Cassirer, 1945).
Kelemahan paradigma fungsionalisme-(struktural) dan keinginan untuk melepaskan diri dari pengaruh positivisme, telah mendorong sejumlah ahli antropologi membangun paradigma-paradigma baru. Lahirlah kemudian tiga buah paradigma baru yang mendapat inspirasi dari ilmu bahasa (linguistik) dan sastra, yakni strukturalisme yang dikembangkan oleh Lévi-Strauss di Prancis, etnosains di Amerika Serikat dan antropologi interpretif yang dikembangkan oleh Clifford Geertz, juga di Amerika Serikat. Bagi sebagian ahli antropologi, strukturalisme, etnosains dan antropologi interpretif dirasa lebih cocok untuk mengkaji fenomena kebudayaan, karena ketiganya mendapat inspirasi dari cabang ilmu sosial-budaya yang dianggap paling maju ketika itu, yakni linguistik, serta dari filsafat simbolisme.
Kajian antropologi budaya kemudian dapat mengarah ke aspek maknawi gejala sosial-budaya. Gejala-gejala ini kemudian tidak lagi hanya dipandang sebagai sebuah realitas empiris yang perlu dijelaskan, tetapi juga sebagai wujud dari suatu kerangka berfikir kolektif tertentu, yang perlu diketahui isi dan strukturnya (Tyler, 1969). Kebudayaan di sini didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan yang bersifat kolektif. Kebudayaan tidak lagi dipandang seperti organisme atau sebuah mesin, tetapi seperti bahasa. Dalam pandangan strukturalisme dan etnosains, gejala-gejala kebudayaan merupakan gejala-gejala yang seperti bahasa (Lévi-Strauss, 1963; Tyler, 1969).
Pandangan ini menuntut para ahli antropologi untuk meninjau kembali berbagai metode penelitian dan metode etnografi yang selama ini digunakan. Di sini mereka banyak mendapat inspirasi dari ilmu bahasa. Seorang peneliti kebudayaan kemudian perlu merekam dengan seksama berbagai istilah dalam bahasa lokal, dan kemudian menganalisisnya, karena istilah-istilah ini merupakan perwujudan dari pola pikir kolektif suatu masyarakat atau komunitas. Data kebudayaan semacam ini tentu memerlukan cara penyajian yang berbeda. Muncullah kemudian sebuah cara menulis etnografi yang baru, yang dikenal sebagai “The New Ethnography“.
Perspektif antropologi interpretif -yang mendapat inspirasi dari kajian sastra- berbeda lagi. Di sini manusia didefinisikan sebagai mahluk yang dapat menciptakan dan memanfaatkan simbol-simbol untuk berkomunikasi dan membangun kehidupan sosial. Kehidupan manusia merupakan kehidupan yang berbasis pada simbol (White, 1949). Dalam sastra, kumpulan simbol ini adalah teks. Oleh karena itu, kehidupan manusia dan gejala sosial-budaya di dalamnya adalah juga “teks“. Sebagai teks, gejala-gejala ini tidak dijelaskan, tetapi “dibaca“, ditafsir, diberi makna. Definisi simbol sebagai segala sesuatu yang dimaknai (White, 1949) di sini memungkinkan para ahli antropologi mengarahkan perhatian mereka pada dimensi lain -yang selama ini terabaikan- dari gejala sosial-budaya, yakni dimensi maknawinya (semantic dimension).
Dalam antropologi masa kini kehadiran paradigma-paradigma baru ini tidak berarti matinya paradigma-paradigma lama. Paradigma evolusi masih tetap bertahan, sebagaimana terlihat pada beberapa kajian (Bellah, 1972; Durham, 1999; Graham dan Day-ton, 2002; Klaessen dan Kloos, 1978; Shapere, 1989; Wolf, 1970). Paradigma difusionisme masih populer berkat adanya fenomena penyebaran teknologi baru (lihat Brown, 1981), fenomena globalisasi (lihat Lewellen, 2002; Tsing, 2005; Wolf, 1996) serta munculnya paradigma world-system (Wallerstein, 1974; 1980). Paradigma fungsionalisme masih digunakan (Ahimsa-Putra, 2007a; Eisenstadt, 1999) bahkan telah melahirkan sub-paradigma baru dalam antropologi ekologi, yakni neo-functionalism (Ahimsa-Putra, 1994).
Tentu ada yang berkeberatan dengan pemetaan dan klasifikasi paradigma di atas, karena saya belum memasukkan berbagai macam teori atau aliran yang sudah sangat sering disebut-sebut, seperti misalnya feminisme, post-struktural, post-kolonial, atau post-post yang lain. Dalam pandangan saya, aliran-aliran ini -yang sepintas lalu terlihat seperti paradigma- saya tempatkan sebagai bagian dari paradigma post-modernisme, sehingga paradigma-paradigma ini merupakan sub-paradigma. Feminisme sudah saya masukkan dalam skema di atas, walaupun masih dalam kurung. Artinya, feminisme dalam antropologi belum terlihat sebagai sebuah sub-paradigma yang cukup menonjol, walaupun dalam disiplin lain mungkin sangat kuat, seperti misalnya dalam kajian sastra. Post-kolonial belum saya masukkan karena dalam antropologi saya belum melihatnya sebagai sebuah sub-paradigma yang sudah cukup berpengaruh dalam antropologi. Sub-paradigma dari post-modernisme ini terlihat kuat terutama dalam disiplin sejarah dan kajian sastra. Post-structuralisme tidak saya sebut-sebut juga karena aliran ini –da-lam pandangan saya tidak berbeda dengan post-modernisme-, sementara istilah post-modernisme menurut saya lebih sesuai.
Selain pemetaan berdasarkan paradigma di atas, dalam wacana teoritis antropologi kini juga banyak disinggung tentang epistemologi. Hal ini tampaknya dipicu oleh pernyataan Lévi-Strauss di tahun 1960an mengenai paradigma strukturalisme yang dikembangkannya dalam antropologi. Dia katakan antara lain bahwa strukturalisme yang dikembangkannya bukan hanya merupakan sebuah teori, tetapi juga sebuah epistemologi, atau sebuah filsafat ilmu yang baru dalam antropologi. Pernyataan ini menurut saya telah menyadarkan banyak ahli antropologi bahwa pengembangan ilmu tidak lagi hanya persoalan pengembangan teori, sebagaimana selama itu dipahami, tetapi -lebih penting lagi- merupakan pengembangan epistemologi.
III. EPISTEMOLOGI
Apa yang dimaksud dengan epistemologi? Secara sederhana epistemologi dapat didefinisikan sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge). Dalam epistemologi dibicarakan antara lain asal-usul pengetahuan, sumber pengetahuan, kriteria pengetahuan, dan sebagainya, serta perbedaan-perbedaannya dengan ilmu pengetahuan (science). Menurut asal katanya (etimologi) epistemologi (epistemology) berasal dari kata episteme, “pengetahuan” dan logos, ilmu pengetahuan, sehingga secara harafiah ‘epistemologi’ dapat diartikan sebagai ‘ilmu tentang pengetahuan’ atau ‘teori tentang pengetahuan’. Oleh karena itu, epistemologi juga diartikan sebagai “the philosophical examination of human knowledge” (Encylopedia Americana vol.10, 1973), atau “telaah filosofis atas pengetahuan manusia”, atau “that branch of philosophy which studies the source, limits, methods, and validity of knowledge” (The World University Encyclopedia, vol.4, 1965), yaitu “cabang filsafat yang mempelajari sumber, batas-batas, metode dan validitas pengetahuan”. Dengan demikian telaah epistemologi pada dasarnya merupakan telaah tentang pengetahuan yang lebih filosofis. Definisi seperti itu masih belum sangat jelas, kurang rinci.
Lebih khusus lagi H.P.Rickman (1967) mengatakan bahwa epistemologi pada dasarnya membicarakan tentang: (a) “what principles and presuppositions are involved in knowing something” (prinsip-prinsip dan presuposisi-presuposisi seperti apa yang terlibat ketika orang mengetahui sesuatu); (b) “how these may very according to the subject of inquiry” (apakah dan bagaimanakah berbagai prinsip dan presuposisi tersebut berubah ketika subyek telaahnya juga berubah) serta apa implikasinya terhadap metode-metode yang digunakan; (c) konsep-konsep umum yang mengacu pada gejala yang dipelajari atau pada gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia; (d) bagaimana mengaitkan konsep-konsep umum yang penting ini satu sama lain dengan cara yang sistematis.
Oleh karena epistemologi bersifat filosofis, maka dalam kerangka paradigma di atas bagian ini mencakup antara lain unsur-unsur yang biasanya bersifat implisit, yang terdiri dari asumsi-asumsi dasar, etos (nilai-nilai) dan model. Asumsi-asumsi dasar merupakan unsur-unsur yang oleh Rickman disebut prinsip-prinsip dan presupposisi, yang bervariasi berdasarkan atas masalah yang dipelajari. Dalam antropologi, epistemologi ini -yang selanjutnya kita samakan dengan “filsafat ilmu antropologi”- ada beberapa macam karena filsafat ilmu sosial-budaya telah berkembang pesat semenjak Comte mengemukakan gagasannya tentang filsafat positivisme sebagai basis ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, peta epistemologi dalam antropologi tidak sama dengan peta paradigma. Epistemologi di sini merupakan bagian dari sebuah paradigma, tetapi bagian yang relatif lebih penting daripada unsur-unsur yang lain.
Elemen asumsi dasar dalam paradigma perlu diketahui lebih jauh unsur-unsur pembentuknya. Dari telaah saya atas berbagai asumsi dasar yang ada dalam berbagai paradigma antropologi saya menemukan paling tidak enam butir asumsi dasar yang menjadi landasan filosofis dari paradigma-paradigma tersebut. Asumsi-asumsi tersebut berkenaan dengan: (a) basis pengetahuan; (b) manusia; (c) gejala yang diteliti atau obyek materialnya; (d) ilmu pengetahuan; (e) ilmu sosial/budaya; dan (f) disiplin atau cabang ilmu yang dipelajari.
Dengan menggunakan enam butir asumsi dasar tersebut saya mencoba untuk menemukan jenis-jenis epistemologi yang telah muncul dalam antropologi. Secara garis besar epistemologi dalam ilmu antropologi terdapat tujuh macam epistemologi yakni: (1) Positivisme; (2) Historisisme; (3) Fenomenologi; (4) Hermeneutik; (5) Strukturalisme (Semiotika); (6) Materialisme Historis; (7) Post-Modernisme. Epistemologi ini kemudian menjadi basis filosofis paradigma-paradigma antropologi yang telah berhasil kita identifikasi sebelumnya.
Jenis paradigma dan epistemologi yang mendasarinya dapat kita susun menjadi tabel seperti berikut (lihat Tabel 1). Tentu saja pemetaan ini juga masih dapat diperdebatkan karena -sebagaimana kita ketahui- tidak setiap paradigma selalu cukup jelas dan eksplisit epistemologinya. Misalnya saja paradigma etnosains. Secara eksplisit, paradigma ini jarang sekali dihubungkan dengan filsafat fenomenologi karena secara historis memang etnosains tidak muncul dari fenomenologi. Akan tetapi, jika kita perhatikan berbagai asumsi dasar dalam etnosains, maka akan terlihat bahwa asumsi-asumsi tersebut tidak berbeda dengan pandangan-pandangan filsafat fenomenologi yang masuk dalam ilmu sosial. Oleh karena itu, saya mengatakan di sini bahwa fenomenologi merupakan basis filosofis dari paradigma etnosains.
IV. ETNOGRAFI
Etnografi berasal dari kata ethnos, yang artinya adalah “sukubangsa” dan graphein, yang berarti “mengukir, menulis, menggambar”. Jadi etnografi adalah tulisan, deskripsi atau penggambaran mengenai suatu sukubangsa tertentu. Suatu sukubangsa tentu terdiri dari manusia-manusia: laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, dewasa dan tua Suatu sukubangsa juga tentu memiliki adat-istiadat atau budaya tertentu. Oleh karena itu, suatu sukubangsa memiliki paling tidak dimensi fisik dan budaya. Oleh karena itu pula, di masa lalu -ketika orang belum mengenal fotografi-, sebuah etnografi tentu memuat di dalamnya deskripsi ciri-ciri fisik suatu sukubangsa dan deskripsi adat-istiadat, budaya sukubangsa tersebut.
Ciri-ciri fisik tersebut meliputi bentuk hidung, bentuk mata, bentuk bibir, bentuk dan warna rambut, bentuk pipi, bentuk rahang, warna kulit, tinggi badan, lebar badan, dan sebagainya. Di masa lalu deskripsi semacam ini biasanya paling awal diberikan, karena penulis (etnografer) ciri-ciri fisik adalah ciri-ciri yang paling awal dilihat ketika orang bertemu orang lain, dan akan paling cepat menarik perhatian, bilamana ciri-ciri fisik ini berbeda sekali dengan ciri-ciri fisik si etnografer itu sendiri. Kini setelah orang mengenal fotografi, deskripsi fisik dalam etnografi sudah berkurang, karena paparan tentang ciri-ciri fisik tersebut lebih mudah dan dapat lebih nyata ditampilkan melalui foto-foto. Foto wajah wanita, pria, anak-anak, atau remaja dalam suatu sukubangsa kini lebih banyak terlihat dalam buku-buku etnografi.
Berbeda halnya dengan adat-istiadat atau kebudayaan, yang mempunyai tiga wujud atau aspek, yakni: aspek material atau fisik (material aspect), aspek perilaku (behavioral aspect), dan aspek ide atau gagasan (ideational aspect). Untuk menyajikan kebudayaan dalam aspek materialnya, etnografer dapat menggunakan foto-foto, seperti misalnya foto rumah, peralatan transportasi, peralatan pertanian, peralatan berburu, pakaian, dan sebagainya. Cara ini lebih praktis daripada kalau etnografer memapar-kan berbagai benda atau peralatan tersebut dengan menggunakan kata-kata. Namun, cara ini kurang dapat digunakan untuk menyajikan kebudayaan pada aspek perilaku-nya, karena fotonya akan menjadi sangat banyak.
Untuk menampilkan aspek perilaku dari kebudayaan para etnografer masih banyak memanfaatkan bahasa. Berbagai kegiatan sukubangsa yang diteliti, seperti misalnya kegiatan bertani, mencari ikan, berburu, mencari hasil hutan, menggembala, pernikahan, pengobatan tradisional, gotong-royong, kesenian dan sebagainya, hanya dapat ditampilkan dengan baik melalui kata-kata. Menampilkan berbagai kegiatan dalam sebuah upacara keagamaan hanya dapat dilakukan dengan baik kalau si etnografer meng-gunakan kata-kata, bukan gambar. Penyajian sebuah upacara keagamaan lewat foto-foto bukan hanya kurang praktis, tetapi juga kurang dapat menampilkan dinamika atau informasi lain yang tidak tampak, tetapi terkandung dalam upacara tersebut.
Sebagai tulisan, etnografi kini biasa diartikan sebagai tulisan mengenai suatu suku-bangsa yang didasarkan pada suatu penelitian atau pengalaman penulis (etnografer) dalam perjumpaan, berhubungan, berinteraksi dengan suatu komunitas, masyarakat atau sukubangsa tertentu. Tulisan ini bisa berupa berita di sebuah suratkabar mengenai upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh sebuah sukubangsa di salah satu pula kecil dan terpencil di bagian selatan kepulauan Maluku; bisa pula sebuah artikel pendek di situ tentang adat pernikahan orang Betawi di kota Jakarta; bisa pula sebuah artikel tentang cara penyembuhan orang kesurupan pada sebuah komunitas di desa Jawa, atau sebuah artikel mengenai karapan sapi di Madura, dengan berbagai adat-kebiasaannya, dan masih banyak lagi.
Etnografi juga bisa berupa sebuah artikel ilmiah di sebuah jurnal ilmu sosial mengenai sistem ekonomi sebuah komunitas, perubahan-perubahan yang terjadi di situ, serta berbagai faktor penyebabnya; mengenai cara-cara suatu masyarakat menyelesaikan konflik komunal dengan memanfaatkan pranata-pranata tradisional yang mereka miliki; mengenai pola pengasuhan anak-anak dalam suatu masyarakat dan pola-pola kepribadian yang terbentuk karena pola pengasuhan seperti itu; mengenai pola-pola pengobatan tradisional yang masih dilakukan oleh suatu masyarakat, dan hubungannya dengan tingkat kesehatan mereka, dan sebagainya. Berbeda dengan jenis tulisan yang pertama, tulisan-tulisan seperti ini biasanya merupakan hasil penelitian yang cukup lama, yang dikerjakan dengan teliti dan tekun, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara “ilmiah”. Jurnal-jurnal ilmiah ilmu sosial dan budaya banyak sekali berisi tulisan-tulisan seperti ini.
Kalau etnografi berupa artikel mendeskripsikan salah satu item kebudayaan (aktivitas rituil, pengobatan, cocok-tanam, dsb.) dengan singkat, dan etnografi berupa artikel ilmiah mendeskripsikan salah satu unsur kebudayaan (sistem pertanian, sistem kekerabatan, sistem kepercayaan, dsb.) dengan cukup mendalam, maka etnografi berupa buku (monografi) biasanya akan mendeskripsikan sejumlah unsur kebudayaan yang hubungannya erat satu sama lain, misalnya sistem kekerabatan dengan sistem politik, dengan sistem kepercayaan, dengan mitos, dengan sistem matapencaharian, dan sebagainya. Etnografi yang terakhir inilah yang biasa disebut sebagai etnografi yang holistik (utuh). Etnografi dari jenis kedua dan ketiga inilah yang kini merupakan landasan utama dari sebuah disiplin yang bernama Antropologi, khususnya Antropologi Budaya atau Etnologi.
Dari penelitian selama beberapa bulan pada suatu masyarakat ini peneliti kemudian dapat menulis beberapa etnografi, tergantung pada kreativitas dan produktivitas masing-masing. Dari satu kali penelitian lapangan, seorang peneliti yang kreatif dan produktif dapat menulis mengenai sistem matapencaharian sukubangsa yang diteliti, sistem kepercayaan yang mereka anut, rituil tertentu yang dipandang penting dalam masyarakat, sistem kekerabatan mereka, mitos-mitos yang hidup di kalangan mereka, bahkan juga kesenian atau praktek-praktek pengobatan yang mereka lakukan. Pendeknya peneliti dapat menulis etnografi mengenai unsur-unsur kebudayaan yang me-narik perhatiannya selama di lapangan.
Penelitian lapangan yang tidak begitu lama, membuat peneliti agak sulit untuk mempelajari bahasa lokal serta mengenal adat-istiadat atau kebudayaan masyarakat yang diteliti dengan mendalam. Peneliti sulit mengetahui saling keterkaitan antara unsur budaya satu dengan yang lain. Oleh karena itu, etnografi yang ditulis juga umumnya bersifat sepotong-sepotong. Misalnya, peneliti menulis tentang sistem kekerabatan terlebih dulu, kemudian diterbitkan. Kemudian menulis lagi tentang sistem ekonomi atau matapencaharian, kemudian diterbitkan. Menulis lagi tentang sistem politik, dan diterbitkan lagi. Demikian seterusnya.
Kesan yang kemudian muncul pada mereka yang membaca etnografi semacam itu adalah bahwa unsur-unsur budaya tersebut tidak berhubungan satu sama lain. Hal semacam ini memang tidak banyak berpengaruh pada kerja antropologi sebagai sebuah disiplin, karena antropologi di masa itu dimaksudkan sebagai cabang ilmu yang bertujuan untuk merumuskan generalisasi-generalisasi atau “hukum-hukum” tentang gejala kebudayaan, yang dihasilkan dari studi perbandingan kebudayaan, sebagaimana yang dirintis dan dikerjakan oleh E.B.Tylor. Etnografi seperti itulah yang ada dalam antropologi di masa itu, yang juga masih bertahan sampai sekarang. Meskipun demikian, perkembangan baru juga telah terjadi dalam penelitian dan etnografi di awal abad 20.
Kini, setelah penelitian-penelitian antropologi berkembang dengan pesat, etnografi sebagai bagian dari paradigma yang digunakan dalam penelitian tersebut juga mengalami perkembangan yang pesat pula. Jika etnografi merupakan salah satu unsur dalam paradigma, maka etnografi-etnografi yang ada dalam antropologi tentunya dapat diklasifikasikan berdasarkan atas dasar paradigmanya. Jika demikian tentunya kita akan dapat menemukan etnografi evolusionistis -yang merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma evolusi kebudayaan-; etnografi diffusionistis -yang merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma diffusi kebudayaan-, etnografi fungsionalistis -yang merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma fungsionalisme-, etnografi struktural -yang merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma strukturalisme, dan sebagainya.
Pertanyaannya kemudian adalah: adakah contoh-contoh etnografi seperti itu? Tentu saja ada, sebab kalau tidak ada maka kehadiran sebuah paradigma tidak akan pernah diketahui. Keberadaan paradigma hanya dapat diketahui dari etnografi yang telah dihasilkan oleh penelitian dengan menggunakan paradigma tersebut. Akan tetapi, sayangnya etnografi-etnografi tersebut tidak semuanya dapat diperoleh di Indonesia. Sebagian besar etnografi tersebut ditulis dalam bahasa Inggris. Meskipun demikian, beberapa etnografi yang ditulis ahli-ahli antropologi Indonesia dapat kita jadikan contoh dari etnografi dengan corak tertentu.
Buku-buku etnografi yang diedit oleh Koentjaraningrat, seperti misalnya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Penduduk Irian Barat, dan buku etnografi dari Koentjaraningrat sendiri, Kebudayaan Jawa, serta buku Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya dari Johszua Mansoben merupakan buku-buku etnografi dengan paradigma studi perbandingan kebudayaan (cross-cultural comparison). Pada buku dari Koentjaraningrat corak ini terlihat dari cara para penulis di situ menyusun etnografinya, yakni dengan mengelompokkan data etnografis yang diperoleh ke dalam judul-judul unsur kebudayaan, seperti “sistem kekerabatan”, “agama dan religi”, “matapencaharian”, “bahasa”, dan sebagainya. Pada buku Mansoben klasifikasi yang terlihat adalah klasifikasi unsur-unsur sistem politik. Dengan etnografi yang sama coraknya mereka yang ingin melakukan studi perbandingan kebudayaan akan sangat terbantu oleh buku-buku tersebut.
Buku Javanese Trah dari Sjafri Sairin, buku Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan (edisi baru dari buku Minawang) dari Ahimsa-Putra, dan buku Konflik dan Integrasi dari Achmad Fediyani Saifuddin merupakan contoh etnografi dengan corak fungsional. Dalam hal ini Javanese Trah terlihat lebih bercorak fungsionalisme dari Malinowski, sedang buku Hubungan Patron-Klien dan Konflik dan Integrasi lebih memperlihatkan corak fungsionalisme-struktural dari Radcliffe-Brown dan Durkheim.
Buku Orang Jawa dan Gunung Merapi dari Lucas Triyoga Sasongko, artikel Ahimsa-Putra “Air dan Sungai Ciliwung: Sebuah Kajian Etnoekologi”, buku Lahajir Etnoekologi Orang dayak Tunjung Linggang adalah beberapa contoh dari etnografi dengan paradigma etnosains. Di sini disajikan sistem kategorisasi peneliti mengenai gejala-gejala yang ada di lingkungan mereka. Pada buku Sasongko kategorisasi tersebut adalah mengenai mahluk-mahluk halus di kawasan Merapi, pada tulisan Ahimsa-Putra kategorisasi tersebut adalah mengenai air dan sungai Ciliwung, pada buku Lahajir kategorisasi tersebut mengenai hutan.
Buku Ahimsa-Putra Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra, dan buku Laksono Tradisi dan Struktur pada Masyarakat Jawa, sangat jelas memperlihatkan paradigma yang mendasarinya: strukturalisme. Perbedaannya adalah etnografi Jawa dari Laksono lebih diwarnai oleh strukturalisme Belanda, sedang buku Ahimsa-Putra jelas dipengaruhi oleh strukturalisme Lévi-Strauss.
Menguatnya pendidikan antropologi strata 2 dan 3 semenjak tahun 1990an telah memengaruhi kuantitas dan kualitas etnografi di Indonesia. Etnografi dengan paradigma yang lebih bervariasi telah dihasilkan oleh para master dan doktor antropologi. Sayangnya, sebagian besar etnografi mereka tetap tinggal sebagai tesis master dan disertasi doktor. Tidak banyak hasil kajian mereka yang kemudian terbit dalam bentuk sebuah buku atau artikel di jurnal yang dapat diakses oleh lebih banyak orang.
Download Paradigma | Epistemologi dan Etnografi dalam Antropologi dalam bentuk DOC