Makalah Ilmu Maani Al-Hadis
I. Pendahuluan
Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua umat manusia sebagai rahmat bagi seluruh alam. Itu berarti, kehadiran Nabi Muhammad membawa kebajikan dan rahmat bagi seluruh umat manusia dalam segala waktu dan tempat. Dalam sejarah, Nabi Muhammad berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai Rosulullah, kepala Negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan pribadi. Sehingga, hadis yang merupakan sesuatu yang berasal dari mengandung petunjuk pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan juga dengan peran Nabi tatkala hadis itu terjadi.
Disamping itu, terjadinya hadis Nabi ada yang bersifat umum dan khusus. Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatarbelakangi ataupun menyebabkan terjadinya hadis tersebut mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Mungkin saja hadis tersebut dipahami secara tersurat maupun tersirat.
Untuk pemahaman terhadap sejumlah hadis, pada kajian ini melalui tela’ah terhadap bagian dari ma’ani al-hadis, yaitu berupa memahami hadis dari segi matannya. Dan diharapkan muncul bukti-bukti yang jelas bahwa dalam berbagai hadis Nabi terkandung ajaran Islam yang bersifat universal, temporal, atau lokal.
BAB II Pembahasan
A. Pengertian Ilmu Ma’ani al-Hadis
Kata Ma’ani (معانى) adalah bentuk jamak dari kata Ma’na (معنى). secara leksikal kata ma’ani berarti maksud atau arti. Ahli ilmu bayan mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
Sedangkan menurut istilah, Ilmu Ma’ani adalah ushul-ushul dan kaidah-kaidah yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai dengan konteks, situasi dan keadaan yang sesuai dengan tujuan dari konteks tersebut.
علم المعاني هو أصول وقواعد يعرف بها أحوال الكلام العربي التي يكون بها مطابقا لمقتضى الحال.
علم يعلم به احوال الفظ التى بها يطابق مقتضى الحال.
علم يعرف به احوال اللفظ العربي التى بها يطابق مقتضى الحال.
Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Disamping itu, objek kajian ilmu ma’ani hampir sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam ilmu ma’ani. Perbedaan antara keduanya terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu lebih bersifat mufrad (berdiri sendiri) sedangkan ilmu ma’ani lebih bersifat tarkibi (dipengaruhi faktor lain).
Mengingat objek kajian ilmu ma’ani adalah kalam arabi, maka hadis pun menjadi salah satu bahan kajiannya. Jadi secara spesifik, ilmu ma’ani hadis bisa difahami ilmu yang berbicara bagaimana memahami sebuah teks hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi yang melingkupinya.
B. Ragam Makna
1. Makna Kontekstual
Makna kontekstual ialah makna sebuah laksem atau kata yang berada dalam suatu konteks. Misalnya, makna konteks kata kepala pada kalimat berikut:
- Rambut dikepala nenek belum ada yang putih
- Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murit itu
- Nomor telfonnya ada pada kepala surat itu
- Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Contohnya, “tiga kali empat berapa ?” Jika dilontarkan di depan kelas tiga SD sewaktu mata pelajaran matematika berlangsung. Tentu dijawab 12 atau mungkin 13. Namun jika pertanyaan itu dilontarkan pada tukang foto, maka mungkin pertanyaan akan dijawab dengan lima ratus atau seribu, mengapa demikian ? Senab pertanyaan tersebut mengacu pada biaya pembuatan pas foto yang berukuran tiga kali empat centimeter.
2. Makna Referensial
Sebuah kata disebut bermakna referensial jika terdapat referensinya, atau sebuah acuan. Misalnya kata seperti “kambing” disebut bermakna referensial jika terdapat referensinya, atau terdapat sebuah acuan. Kata seperti “jika, meskipun” ialah kata yang tidak bermakna referensial, sebab kata tersebut tidak mempunyai referensi, atau disebut dengan kata bermakna Non Referensial (memiliki makna, tapi tidak mempunyai sebuah acuan).
Berkenaan dengan acuan ini, terdapat sejumlah kata yang disebut dengan kata-kata deiktik, yang acuan tersebut tidak menetap pada satu wujud saja, melainkan dapat berpindah dari wujud yang satu kepada wujud yang lainnya. Kata-kata deiktik ini ialah kata seperti pronomina, misalnya dia, saya, dan kamu. Kata-kata yang menyatakan ruang, misalnya disini, disana, dan disitu. Kata-kata yang menyatakan waktu, seperti sekarang, besok dan nanti. Kata-kata yang disebut kata petunjuk, misalnya ini, dan itu.
Contoh pronomina kata saya pada kalimat berikut yang acuannya tidak sama.
a. Tadi pagi saya bertemu dengan ustadz, kata Ani kepada Ali.
b. O, Ya ? sahut Ali, Saya juga bertemu beliau tadi pagi.
c. Dimana kalian bertemu beliau ? tanya Amir, saya sudah lama tidak jumpa dengan dia.
Pada kalimat pertama kata saya mengacu pada kata Ani, pada kalimat kedua, mengacu pada Ali dan pada kalimat ketiga mengacu kepada Amir.
3. Makna Denotatif
Makna denotatif ialah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah kata. Umpamanya, kata kurus bermakna denotatif yang mana artinya keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal. Kata bunga bermakna denotatif yaitu bungan yang seperti kita lihat di taman bunga.
Makna denotatif berlawanan dengan makna konotatif. Dalam ilmu balaghah (Ilmu bayan), makna denotatif disebut makna hakiki, makna asal dari suatu lafadz atau ungkapan yang pengertiannya dipahami orang pada umumnya. Lafadz atau kata ungkapan tersebut lahir untuk makna itu sendiri, sedangkan makna konotatif dalam ilmu balaghah disebut dengan makna majazi, yaitu perubahan dari makna asal ke makna kedua. Makna ini lahir bukan untuk pengertian pada umumnya.
4. Makna Konotatif
Makna konotatif (makna majazi) ialah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok yang menggunakan kata tersebut. Contoh makna konotatif, kata kurus misalnya, berkonotasi netral, artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan. Tapi kata ramping, yaitu sebenarnya bersinonim dengan kata kurus tersebut memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan, orang akan senang jika dikatakan ramping. Sebaliknya kata krempeng, yang sebenarnya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping, mempunyai nilai rasa yang tidak enak, orang tidak akan suka jika dikatakan tubuhnya krempeng. Dan juga kata bungan, jika dikatakan fatimah adalah bungan desa kami, ternyata makna bunga tidak sama lagi dengan makna semula. Sifat bunga yang indah tersebut dipindahkan kepada fatimah yang cantik. Dengan kata lain orang lain melukiskan kecantikan fatimah yang seperti bunga.
Contoh lain kalimat, خطب الأسد على المنبر(singa berpidato di atas mimbar) kata الأسد (singa) memiliki makna konotatif, sebab kata mengalami perubahan makna, dari makna asli (denotatif / hakiki) ke makna lain (majazi / konotatif). Penggunaan kata singa disini untuk mengungkapkan sifat keberanian pada diri orator yang sedang berpidato di atas mimbar.
Dalam pembahasan ilmu bayan (balaghah), terdapat penegasan yang membedakan antara makna konotatif atau majazi dan kata-kata yang memiliki suatu hubungan sinonim atau muradif atau munasah. Dalam makna majazi ada proses perubahan makna. Sedangkan di dalam kata-kata yang sinonim atau muradif tidak memiliki makna konotatif atau majazi sebab di antara kata-kata yang berhubungan dengan sinonim tidak ada perubahan dari makna asal kepada makna baru. Dalam bahasa arab kata (الأسد) yang bermakna asal (denotatif) tertuju pada seekor hewan yang buas, bermangsa, bertaring, memiliki kata yang searti (sinonim) yaitu : خطار, هجام, شتامة, dan sebagainya. Namun semua kata yang sinonim atau sama-sama bermakna singa ini bukan makna konotatif, tapi tetap dengan makna denotatif.
5. Makna Konseptual
Makna konseptual ialah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Kata kuda memiliki makna konseptual sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, dan kata rumah memiliki makna konseptual, bangunan tanpa tempat tinggal manusia.
6. Makna Asosiatif
Makna asosiatif ialah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata bahasa. Misalnya kata melati berasiosiasi dengan berani dan kata buaya berasosiasi dengan jahat atau kejahatan. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat pengguna bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat keadaan, atau ciri yang ada konsep asal kata tersebut.
Jadi kata melati yang bermakna koseptual sejenis bunga kecil-kecil berwarna putih dan berbau harum, digunakan untuk menyatakan perlambanga kesucian, kata merah yang bermakna koseptual sejenis warna terang menyolok di gunakan untuk perlambangan keberanian, dan kata buaya yang bermakna konseptual sejenis binatang reptil atau buas yang memakan binatang apa saja, termasuk bangkai, digunakan untuk melambangkan kejahatan atau penjahat.
Pendapat Leech, seperti yang dikutip oleh Abdul Chaer mengenai makna asosiasi menyatakan bahwa.
“Dalam makna asosiasi ini juga dimasukkan juga yang disebut makna konotatif, makna stailistika, makna efektif dan makna kolakatif”
Makna stailistika berkenaan dengan pembedaan kata sehubungan dengan perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Misalnya, dokter mengatakan penyakitnya akan diangkat maka yang dimaksud ialah dioperasi. Orang dibengkel mengatakan mesin mobil itu diangkat, maka yang dimaksud ialah diperbaiki. Makna efektif yakni makna yang menimbulkan rasa bagi pendengar. Jika seseorang menghardik kata meskipun dengan kata-kata yang biasa kita tentu merasakan sesuatu yang agak lain jika kata tersebut diucapkan dengan nada bisa.
Contoh:
a. Duduk (dengan suara pelan)
b. Duduk (dengan suara keras)
Makna kolakatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata dari sejumlah kata yang bersinonim, sehingga kata terebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya. Misalnya, kata tampa sesungguhnya bersinonim dengan kata-kata cantik dan indah, hanya cocok atau hanya berkolokasi dengan kata yang memiliki ciri pria. Maka kita dapat mengatakan pemuda tanpan, tapi tidak dapat mengatakan gadis tampan. Jadi tampan tidak berkolokasi dengan kata gadis.
7. Makna Kata
Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya makna yang dimiliki sebuah kata ialah makna leksikal, makna denotatif atau makna koseptual. Tapi dalam penggunaan makna kata itu baru menjadi jelas jika kata terebut sudah berada dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata jatuh sebelum kata tersebut berada dalam kenteksnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan lengan sebagai kata maknanya lazim dianggap sama, seperti pada contoh ini.
a. Tangannya luka kena pecahan kaca
b. Lengannya lukan kena pecahan kaca.
Jadi kata tangan dan kata lengan pada kedua kalimat di atas ialah sinonim atau bermakna sama.
8. Makna Istilah
Yang disebut dengan istilah ialah yang mempunyai makna pasti, jelas dan tidak meragukan meskipun tanpa konteks kalimat. Hal yang perlu diingat ialah bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada keilmuan atau kegiatan tertentu. Umpamanya kata tangan dan kata lengan yang menjadi contoh di atas. Kedua kata tersebut dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan, sedangkan lengan ialah bagian dari pergelagan sampai kepangkal bahu. Jadi kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim, sebab maknanya berbeda.
Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah yang karena sering digunakan, kemudian sejumlah istilah yang karena sering digunakan, kemudian menjadi kosakata umum. Artinya istilah itu tidak hanya digunakan dalam bidang keilmuannya, tapi juga telah digunakan secara umum diluar bidangnya. Dalam bahasa indonesia, misalnya istilah spiral, virus, akomodasi telah menjadi kosakata umum, tapi istilah alomorf, alofon, morfem masih tapi sebagai istilah dalam bidangnya, belum menjadi kosakata umum.
9. Makna Idiom
Idiom ialah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makan unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya, tapi dalam bahasa indonesia bentuk menjual gigi tidak memiliki makna seperti hal tersebut, melainkan bermakna tertawa keras-keras. Jadi makna seprti yang dimiliki bentuk menjual gigi itulah yang disebut makan idiomatikal. Contoh lain dari idiom ialah membanting tulang dengan makna bekerja keras, meja hijau dengan makna pengadilan.
Contoh-contoh dalam bahasa arab sebagai berikut :
Makna Idiom Makna Asal Kalimat
Hal yang tidak bisa dilaksankan Tinta diatas kertas ورق على حبرٌ
Tertegun karena kaget Menahan nafas أنفاسه حبس
Masalah memanas Tungku itu panas الوطيس حمي
Takut Hatinya terbang قلبه طار
Berpikir lama Memeras otakذهنه قدح
10. Makna pribahasa
Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan secara leksikal maupun gramatikal, makna yang disebut pribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya. Sebab adanya asosiasi antara makna asli dengan makna sebagai pribahasa. Umpamanya pribahasa seperti anjing dan kucing, yang bermakna ihwal dua orang yang namanya anjing dan kucing jika berdua memang selalu berkelahi, dan tidak pernah damai.
Contoh lain, pribahasa tongkosong nyaring bunyinya, maknanya orang yang banyak cakap biasanya tidak berilmu. Makna ini dapat ditarik dari asosiasi tong yang berisi bila dipukul tidak mengeluarkan bunyi, tapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras dan nyaring.
Contoh dalam bahasa arab, pribahasa كلجراد لايبقي ولا يذر bermakna “bagaimana belalang yang tidak memberi sisa apapun”. Makna pribahasa ini merupakan kaisan bagi seseorang yang kebiasaan harta bendanya karena sebab apapun, misalnya gemar berjudi, kebakaran atau kecurian, sehingga tidak ada sedikitpun yang tertinggal yang masih dimilikinya.
Contoh lain, خفّت نعامتهم artinya “ringan sudah burung unta mereka”. Keistimewaan burung unta ialah begitu cepat larinya dan tampak ringan apabila berjalan. Pribahasa ini dikiaskan pada suatu kaum yang diwaktu perginya berkumpul berduyung-duyung, tapi setelah pulang berpisah pisah.
Contoh lain, كأنّ على رؤوسهم الطير artinya “seolah-olah ada burung di kepalanya”. Orang yang dihinggapi burung di kepalanya agaknya takut dan sayang jika burung tersebut terbang. Jadi ia diam saja. Pepatah ini ialah kiasan bagi seseorang atau suatu golongan yang patuh, taat dan selalu mengikuti perintah yang dikatakn oleh pemimpinnya. Juga dikiaskan sebagai orang yang berhati lemah lembut, penyantun dan sabar.
C. Uslub
Uslub adalah makna yang terkandung pada kata-kata yang terangkai sedemikian rupa sehingga lebih cepat mencapai sasaran kalimat yang dikehendaki dan lebih menyentuh jiwa para pendengarnya. Uslub ada tiga macam:
1. Uslub Ilmiah
Uslub ini adalah uslub yang paling mendasar dan paling banyak membutuhkan logika yang sehat dan pemikiran yang lurus, dan jauh dari khayalan syair. Karena uslub ini berhadapan dengan akal dan dialog dengan pikiran serta menguraikan hakikat ilmu yang penuh ketersembunyian dan kesamaran.
2. Uslub Adabi
Dalam uslub jenis ini keindahan adalah salah satu sifat dan kekhasannya yang paling menonjol. Sumber keidahannya adalah khayalan yang indah, imajinasi yang tajam, perseruhan beberapa titik keserupaan yang jauh di antara beberapa hal, dan pakain kata benda atau kata kerja yang konkret sebagai pengganti kata kerja atau kata benda yang abstrak.
3. Uslub Khitabi
Dalam uslub ini sangat menonjol ketegasan makna dan redaksi, ketegasan argumentasi dan data, keluasaan wawasan. Dalam uslub ini seorang pembicara dituntut dapat membangkitkan semangat dan mengetuk hati para pendengarnya. Keindahan dan kejelasan uslub ini memiliki peran yang besar dalam memepengaruhi dan menyentuh hati. Di antara yang memeperbesar peran uslub ini adalah status pembicara dalam pandangan para pendengarnya, penampilannya, kecemerlangan argumentasinya, kelantangan dan kemerduan suaranya, kebagusan penyampaiannya, dan kepatan sasarannya.
D. Bentuk Unggkapan Hadis
Hadis-hadis Nabi memiliki bentuk ungkapan yang beragam. Hal ini, bisa dirasakan manakala mencermati bentuk ungkapan matan hadis-hadis Nabi yang begitu banyak. Syuhudi Ismail mengemukakan beberapa ragam bentuk ungkapan hadis Nabi: Jami’ kalim (ungkapan yang singkat, namun padat makna), tamsil (perumpamaan), bahasa ismbolik dan lain-lain.
1. Jawami’ Kalim
الحرب خدعة. (رواه البخارى)
Perang itu siasat. (HR. Bukhari)
Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.
2. Bahasa Tamsil
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا. (رواه بخارى)
Orang yang beriman terhadap orang beriman yang lain ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya. (HR. Bukhari)
Hadis Nabi tersebut mengemukakan tamsil bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tamsil tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu dan tempat sebab setiap bangunan pastilah bagian-bagiannya berfungsi memeperkokoh bagian lainnya. Orang-orang yang beriman seharusnya seperti itu, yakni yang satu memeperkuat yang lainnya dan tidak berusaha untuk saling menjatuhkan.
3. Ungkapan Simbolik
المؤمن ياكل فى معى واحد والكافر يأكل فى سبعة أمعاء. (رواه البخارى)
Orang yang beriman itu makan dengan satu usus (perut), sementara orang kafir makan dengan tujuh usus. (HR. Bukhari)
Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa ususnya orang yang beriman berbeda dengan ususnya orang kafir. Padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadis itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti harus dipahami secara kontekstual.
Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan bukan sebagai tujuan hidup, sedang orang kafir menepatkan makna sebagai dari tujuan hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam kelezatan makan. Yang banyak menuntut kelezatan makan pada umumnya adalah orang kafir. Di samping itu dapat dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikamt Allah, termasuk tatkala makan, sedang orang kafir mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.
4. Bahasa Percakapan
Dalam sebuah matan hadis dikemukakan:
أن رجلا سأل النبي صلعم: أي الاسلام خير؟ قال: تطعم الطعام وتقرؤ السلام على من عرفت ومن لا تعرف. (متفق عليه)
Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “amalan Islam yang manakah yang lebih baik?” Nabi menjawab: “Kamu memberi makan orang yang menghajatkannya dan kamu menyebarkan salam kepada orang yangkamu kenal dan yang tidak kamu kenal.” (Hadis disepakati Bukhari dan Muslim)
Memberi makan orang yang menghajatkannya dan menyebarkan salam memang salah satu ajaran Islam yang bersifat universal. Namun dalam hal sebagai “amal yang lebih baik”, maka hadis tersebut dapat berkedudukan sebagai temporal sebab ada beberapa matan hadis lainnya yang memebri petunjuk tentang amal yang lebih baik, namun jawaban Nabi berbeda-beda.
5. Ungkapan Analogi
Dalam suatu matan hadis Nabi yang cukup panjang dikemukakan antara lain bahwa menyalurkan hasrat seksual (kepada wanita yang halal) adalah sedekah. Atas pernyataan Nabi ini, para sahabat bertanya: “apakah menyalurkan hasrat seksual kami (kepada isteri-isteri kami) mendapat pahala?” Nabi menjawab:
أرأيتم لو وضعها فى حرام أكان عليه فيها وزر؟ فكذالك اذا وضعها فى الحلال كان له أجر. (رواه مسلم)
Bagaimanakah pendapatmu sekiranya hasrat seksual (seseorang) disalurkan di jalan haram, apakah (dia) menanggung dosa? Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurkan ke jalan yang halal, dia mendapat pahala.
E. Kegunaan Ilmu Ma’ani al-Hadis
Ilmu ma’âni mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah) bahasa Arab dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa menyampaikan suatu gagasan atau ide kepada mukhâthab sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dengan melihat objeknya mempelajari ilmu ini dapat memberi manfaat sbb:
1. Mengetahui kemukjizatan Alquran berupa segi kebagusan penyampaian, keindahan deskripsinya, pemilihan diksi, kefasihan kalimat, dan penyatuan antara sentuhan dan qalbu.
Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik pada syi’ir maupun prosanya. Dengan mempelajari ilmu ma’âni bisa dibedakan mana ungkapan yang benar dan yang tidak, yang indah dan yang rendah, dan yang teratur dan yang tidak, dll.
Daftar Pustaka
- Munawwir. Ahmad Warson, 1997. Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progresif
- Al-Hasyimi. Muhammad, Tt. Jawahir al-Balaghah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t)
- Damanhuri. Ahmad, Tt. Syarh Jauhar al-Makknun, Surabaya : al-Hidayah
- Al-Jarimi. Ali, 1961. Al-Balghat al-Qadihah, Surabaya : al-Hidayah
- Ismail. Syuhudi, 1994. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta : Bulan Bintang
- Taufiqurraohman, 2008. Leksiologi Bahasa Arab, Malang Uin : Prers
- Nurbayan. Mamat Zainuddin dan Yayan, 2007. Pengantar Ilmu Balaghah, Bandung : Refika Aditima
- Ahmad Warson Munawwair, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997)
- Muhammad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t)
- Muhammad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t)
- Ahmad Damanhuri, Syarh Jauhar al-Maknun, (Surabaya: al-Hidayah, T.t)
- Muhammad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t)
- Taufiqurraohman, Leksiologi Bahasa Arab (Malang UIN : Prees, 2008 )
- Mamat Zainuddin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah (Bandung : Refika Aditama, 2007)
- Ali al-Jarimi, al-Balaghat al-Wadihah, (Surabaya: Al-Hidayah, 1961)
- Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)