Makalah Musnad Ahmad ibn Hambal
(Karya Kitab Hadis yang fenomenal)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imam Ahmad Ibn Hambal atau yang dikenal dengan Imam Hambali sejak kecil telah kelihatan sangant cinta terhadap ilmu pengetahuan. Ia tidak segan-segan mengorbankan dirinya untuk pergi ke beberapa tempat yang jauh hanya untuk mencari sebuah ilmu. Bahkan dalam usia 16 tahun ia memulai memeperlajari Ilmu Hadis, yakni sekitar Tahun 179 H, hal ini bertepatan dengan wafatnya Imam Malik dimadinah.
Tanpa mengenal lelah Ahmad Ibn Hambal telah mengabdi dalam bidang pendidikan selama hayatnya, dan reputasi beliau mengenai hal ini sangatlah tinggi sebagai seorang ilmuan dan guru yang membuat setiap orang yang hidup pada zamannya ingin belajar dan mencari ilmu kepadanya. Ahmad Ibn Hambal mewarisi lebih dari sepuluh karya tulis, dan karya yang populer ialah al-Musnad yang merupakan salah satu kitab kumpulan beberapa hadis Nabi saw.
Dan Musnad Ahmad Ibn Hambal merupakan salah satu kitab yang sembilan dari beberapa kitab hadis yang sudah terpercaya keshahihannya. Semula kitab ini hanya berjumlah delapan jilad saja, tapi dengan banyaknya bermunculan para pentahqiq dan pensyarah berkat al-Hamduliullah, buku tersebut menjadi sebanyak lima puluh jilid.
II. PEMBAHASAN
Makalah Musnad Ahmad ibn Hambal
A. Biografi Ahmad Ibn Hambal
Nama lengkap Ahmad Ibn Hambal ialah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal al-Syaibani al-Baghdadi, beliau lahir pada Tahun 164 H di baghdad, dan meningga di bagdad pula pada Tahun 240 H. Ia sempat dipenjara selama 28 bulan karena sikapnya yang menolak faham kemakhlukan al-Qur’an. kemudian ia dilepaskan dari penjara sehubungan dengan sikap al-Mutawakkil yang tidak lagi berfaham Mu’tazilah seperti halnya para khalifah sebelumnya. Sebagian besar keilmuan Ahmad Ibn Hambal diperoleh melalui beberapa ulama dibagdad kota kelahirannya, sehingga hal tersebut sempat mengantarkannya sebagai salah satu anggota diskusi atau Halaqah Qadhi Abu Yusuf.
Ketika imam Syafi’i tinggal dibaghdad. Ahmad ibn Hambal terus menerus mengikuti berbagai kegiatan dan program dari halaqahnya, sehingga ilmu fiqih dan hadis menjadi kepribadian beliau sebagai seorang yang istimewa dalam majelis taklim Imam Syafi’i. Kehebatannya dalam ilmu fiqih mendapatkan pengakuan dari Imam Syafi’i dan Yahya Ibn Ma’in, hal tersebut terbukti oleh popularitasnya dalam madzhab yang mampu menembus ke negara Syiria, Iraq dan beberapa negara dan daerah lainnya. Hal tersebut guna memperluas wawasan hadis Ahmad Ibn Hambal, melakukan perjalanan ke beberapa negara, dan hal tersebut ditempuh setelah beberapa lama mempelajari hadis dari Imam Syafi’i selama ia tinggal dibaghdad. Studi hadis di berbagai negara yang memliputi Yaman, Koufah, Bashrah, Jazirah, Mekkah, Madinah, dan Syiria. Ketika itu ia berada di Yaman dan sempat berguru terhadap basyar al-Mafadhal al-Raqasyi, Sufyan ibn Uainah, Yahya ibn Sa’id al-Qathathan, Sulaimamn bin Dawud al-Thayalisi, Ismail ibn Ulayyah dan lainnya. Perlawatan antara negara pusat ilmu keislaman menghasilkan sekitar satu juta perbendaharaan hadis yang dikuasai oleh Ahmad ibn Hambal. Berkenaan dengan prestasi tersebut Abu Zar’ah optimis menempatkan Imam Ahmad ibn Hambal dalam deretan seorang Muhaddistin.
Keahliannya dalam mengerjakan hadis atau al-Sunnah berhasil memandu beberapa murid asuhan yang menjadi ulama hadis, misalnya imam Bukhari, imam Muslim, Abu Dawud, Waqi’ ibn Jarrah, Ali al-Madani dan lain sebagainya. Disipling ilmu tersebut yang menjadikan bidang keahlian beliau jika dilihat dari penjelasan yaitu tersiar mencakup hadis dan ilmu hadis, fiqih dan ushul-fiqh serta tafsir. Dalam kitab al-Ilal memperlihatkan betapa beliau cukup serius dalam mengamati illat atau kecacatan hadis, disamping itu kitab yang berjudul “Fadhail al-Shahabat” menjadi bukti bahwa beliau bersemangat mengenali lebih dekat beberapa prilaku tokoh sahabat nabi berikut dengan prestasi perseorangannya. Sebuah karya tulis yang berjudul “kitab al-Asyribah” dan “al-Nasikh wal Mansukh” menempatkan beliau sebagai penganalisis fiqih dikelasnya, disamping itu pola pemikiran fiqihnya sedikit banyak dipengaruhi oleh metode Istidlal imam Syafi’i mantan guru besarnya. Beliau juga menulis “kitab al-Zuhdi” yang berisikan prilaku dan watak penampilan diri yang serba zuhud. Dan beberapa hal yang meliputi biofarafinya ialah sebagai berikut :
- 1. Awal mula menuntut ilmu.
Keilmuan yang pertama kali yang dikuasai oleh Ahmad Ibn Hambal ialah al-Qur’an dan ia mampu mengahafal keseluruhan al-Qur’an pada usia 15 tahun, ia juga mahir dalam baca tulis dengan sempurna, sehingga dikenal sebagai orang yang tulisannya paling indah. Kemudian Ahmad Ibn Hambal mulai berkonsentrasi belajar ilmu hadis di awal 15 tahun, ia mempelajari hadis sejak kecil, sehingga untuk mempelajarinya ia merantau kenegri syam / Syiria, Hijaz, Yaman, dan beberapa negara lainnya, sehingga beliau akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa, salih dan zuhud. Abu Zur’ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah beliau hafal sepenuhnya.
- 2. Dalam kekeluargaan.
Ahmad Ibn Hambal menikah pada umar 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah, yaitu mendapatkan anak-anak yang salih dari istrinya, yang mewarisi beberapa ilmunya, misalnya, Abdullah dan Shahih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari ayahnya.
- 3. Dalam Kecerdasan.
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, disaat itu saya telah menghafal apa yang ku dengar darinya”. Abdullah, putranya yang lain mengatakan, ayahku pernah menyuruhku, “ambillah kitab Mushannaf Waki’ dimana saja yang kamu kehendaki kemudian tanyakanlah yang kamu mau mengenai matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya mengenai sanadnya kemudian kuberitahu matannya”. Abu Zur’ah pernah bertanya, “wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya ? anda atau imam Ahmad ibn Hambal ? beliau menjawab, Ahmad. Ia masih bertanya, bagaimana anda tahu ?” beliau menjawab, saya mendapati dibagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, sebab beliau hafal dari beberapa perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya. Abu Zur’ah mengatakan bahwa Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadis.
- 4. Pujian para ulama terhadap Ahmad ibn Hambal.
Abu Ja’far mengatakan, bahwa Ahmad ibn Hambal merupakan manusia yang sangat pemalu, sangat mulia, dan sangat baik dalam pergaulannya serta tingkah lakunya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali Madzakarah hadis dan menyebut beberapa orang shahih dengan penuh hormat dan mengenai ungkapan yang indah. Jika berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahna kepadanya. Ahamd Ibn Hambal sangat rendah hati terhadap beberapa gurunya, serta menghormatinya. “imam Syafi’i berkata, bahwa Ahmad ibn Hambal ialah imam dalam delapan hal, imam dalam hadis, imam dalam fiqih, imam dalam bahasa, imam dalam al-Qur’an, imam dalam kefaqiran, imam dalam kezuhudan, imam dalam wara’ dan imam dalam sunnah”. Ibrahim al-Harbi memujinya, “saya melihat Abu Abdillah Ahmad Ibn Hambal seolah Allah gabungkan padanya beberapa ilmu orang terdahulu dan orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
- 5. Guru-Guru Ahmad ibn Hambal.
Ahmad ibn hambal berguru terhadap banyak ulama, dan jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh guru yang tersebar diberbagai negeri, seperti dimekkah, kufah, bashrah, baghdad, yaman, dan berbagai negri lainnya. Diantaranya ialah :
a. Ismail bin Ja’afar.
b. Abbad bin Abbad al-Ataky.
c. Umari bin Abdillah bin Khalid.
d. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar al-Sulami.
e. Imam Syafi’i.
f. Waki’ bin Jarrah.
g. Ismail bin Ulayyah.
h. Sufyan bin ‘Uyainah.
i. Abdurrazaq.
j. Ibrahim bin Ma’qil.
k. Dan masih banyak lagi guru-gurunya.
- 6. Adapun murid-murid Ahmad Ibn Hambal yang paling menonjol dalam ahli hadis ialah :
a. Imam Bukhari.
b. Muslim.
c. Abu Dawud.
d. Nasa’i
e. Tirmidzi.
f. Ibnu Majah.
g. Putranya, Shalih bin Ahmad bin Hambal.
h. Putranya, Abdullah bin Ahmad bin Hambal.
i. Keponakannya, Hambal bin Ishaq.
- 7. Karya-karya tulis Ahmad ibn Hambal.
Ahmad Ibn Hambal menulis beberapa kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-besarnya kitab “musnad” dan sebaik-baiknya karyanya dalam penelitian hadis. Ahmad Ibn Hambal tidak memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai sebuah hujjah. Kitab musnad ini berisi lebih dari 25.000 hadis. Diantara kaya beliau ialah ensiklopedia hadis atau musnad, yang disusun oleh anaknya dari beberapa kajian, dan kumpulan dari 40 ribu hadis, juga kitab al-Salat dan kitab al-Sunnah.
Karya-karya Ahmad bin Hambal diantaranya ialah :
- Kitab al-Musnad, karya yang paling menakjubkan, sebab kitab inilah yang memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadis.
- Kitab al-Tafsir, tapi al-Dzahabi mengatakan bahwa kitab ini sudah hilang.
- Kitab al-Nasikh Wa al-Mansukh.
- Kitab al-Tarikh.
- Kitab Hadis Syu’bah.
- Kitab al-Muqaddam Wa al-Mu’akkhar Fi al-Qur’an.
- Kitab jawaban al-Qur’an.
- Kitab al-Manasik al-Kabir.
- Kitab al-Manasik al-Saghir.
B. Karya Ahmad bin Hambal yang fenomenal
Koleksi hadis dalam kitab al-Musnad semula diangkat dari hasi seleksi terhadap 750.000 hadis yang oleh Ahmad Ibn Hambal ditekankan norma seleksinya pada segi nilai kelayakan hadis yang bersangkutan untuk dijadikan sebagai sebuah hujjah. Hasil seleksi tersebut dibukukan dengan tulisan tangan menjadi 24 jilid dan ketika diterbitkan dalam edisi cetakan mesin menjadi 6 jilid dalam format sedang. Akan tetapi melihat dari matan hadis yang tertampung di dalamnya, sekitar 40.000 hadis pantas dipandang sebagai kitab koleksi hadis terbesar. Jumlah hadis sebesar itulah jika dihitung ulang mengecil menjadi 30.000, sebab sisanya berupa ulangan hadis serupa yang mungkin tersebab jalur sanad yang berbeda, meskipun nama para sahabat sumber utamanya sama, atau sedikit terdapat tata redaksi matan yang berbeda.
Daya tampung al-Musnad terhadap hadis sebanyak itu, disamping Ahmad bin Hambal sebagai guru besar ulama muhaddisin, generasi berikutnya serta mungkin jika hadis atau al-Sunnah yang memadati sunan al-sittah, atau kutub al-Sittah termuat dalam al-Musnad. Oleh sebab itulah al-Hafidz ibn Katsir menilai bahwa kitab al-Musnad imam Ahmad ibn Hambal dari segi kualitas hadis dan ketinggian susunan tata kalimat matannya, dan tidak tertandingi oleh beberapa kitab dalam bentuk musnad apapun. Penyajian hadis dalam al-Musnad dikelopokkan berdasarkan nama sahabat nabi yang bertindak sebagai perawi utamanya dan disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut :
- Beberapa hadis yang transmisi periwayatannya melalui 10 (sepuluh) sahabat Nabi yang telah diberitakan prospek kepribadian Rasulullah saw sebagai penghuni surga, yaitu Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibn Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Jubair, Abd Rahman ibn Auf dan Abu Ubaidah ibn Juhrah.
- Beberapa hadis yang bersumber periwayatannya melalui para sahabat Nabi peserta perang badar. Prioritas penempatan hadis dari mereka berkaitan erat dengan informasi dari Rasulullah saw, bahwa telah terdapat suatu jaminan pengampunan massal dari Allah swt atas segala dosa para sahabat yang ambil bagian dalam perang badar, berikut jaminan tidak bakal masuk neraka untuk mereka (teks hadis Marfu’ melalui Jabir bin Abdullah dalam sahih hadis muslim dan melalui Abu Hurairah dalam Musnad Ahmad / Sunan Abu Dawud / ibn Abi Syaibah) beberapa hadis yang dimaksudkan melibatkan 313 sahabat dengan perincian 80 orang teks sahabat muhajirin dan sisanya sabahat dari kalangan anshar.
- Beberapa hadis yang perawi utamanya ialah para sahabat yang mengikuti peristiwa Ba’'atur Ridwan dan Shulhul Hudaibiyah.
- Beberapa hadis yang bersumber periwayatannya melalui para sahabat Nabi yang proses keislaman pribadinya bertepatan dengan peristiwa Fath Makkah.
- Beberapa hadis yang periwayatannya bersumber melalui para Ummahatul Mu’minin (para janda mendiang Nabi Muhammad saw) dan diakhiri.
- Beberapa hadis yang periwayatannya melalui para wanita sahabiah.
Berdasarkan sistematika al-Musnad semacam itu, maka pengelompokan hadis tidak terikat beberapa unsur materi pokok yang dikandung matan hadis yang bersangkutan dan bagi pencari hadis koleksi imam Ahmad ibn Hambal harus mengetahui persis nama sahabat Nabi yang meriwayatkanya.
Al-Musnad imam Ahmad ibn Hambal pernah dipublikasikan dengan modifikasi baru, yaitu dengan sistematika huruf hijriah oleh inisiatif al-Hafidz Abu Bakar al-Maqaddisin (seorang pemuka ulama madzhab Hambali). Format terakhir justru memodifikasi yang mengelompikkan masing-masing hadis besar atas kesatuan meteri ajaran dan disusun mengikuti sebuah sistematikan beberapa bab seperti pada kitab fiqih. Modifikasi terakhir di kerjakan oleh Ahmad ibn Abd Rahmamn al-Banna (lebih dikenal dengan panggilan al-Sya’ati) dan sekaligus mensyarahi dengan titel kitab “Bulughul Amani” beliau tergolong ulama abad ke 14 hijriah dan meninggal pada tahun 1351 H.
C. Derajat al-Musnad dalam Kutub al-Hadis
Tekad imam Ahmad ibn Hambal ialah mengupayakan koleksi hadis yang berpotensi sebagai hujjah. Berbekal tekat tersebut pula telah dilakukan penantian seksama, guna setiap hadis yang dimuat dalam al-Musnad bermutu Sahih. Atas dasar penegasan imam Ahmad itulah Abu Musa al-Madani optimis memandang setiap hadis dalam al-Musnad berkelayakan dijadikan hujjah. Penilaian serupa pernah dinyatakan oleh Jalaluddin al-Sayuthi. Sedikit moderat ialah sikap al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani yang hasil penelitiannya berakhir dengan kesimpulan bahwa dai sejumlah 40.000 hadis al-Musnad hanya 3 atau 4 (empat hadis yang belum diketahui secara pasti sumber pengoperan riwayatnya). Dengan ungkapan lain bahwa dalam al-Musnad terdapat sejumlah hadis bermutu Sahih dan hadis Dha’if dalam strata mendekati Hasan Lighairihi.
Berbeda dengan sikap penilaian para ulama diatas al-Baqa’i menunjuk sejumlah hadis (tanpa menyebut dengan pasti berapa banyaknya) dalam al-Musnad yang dianggap Maudhu’. Demikian pula al-Hafidz al-Iraqi menuduh 9 (sembilan) hadis Maudhu’ . sedangkan ibn Jauzi mengeklaim 29 hadis Maudhu’ dalam kitab al-Musnad Ahmad ibn Hambal. Jika ditelusuri ulanng koleksi hadis dalam al-Musnad yang bermateri Fadha’il al-A’mal terasa adanya pola pelonggaran (tasahul) dalam sistem seleksi pemuatannya, padahal imam Ahmad bin Hambal dikenal moderat daam tradisi menilai jarak atau Ta’dil pada personalian para pendukung riwayat hadis, fenomena yang mengisyaratkan kontras ini seyogyanya menjadikan proses historis menuju kodifikasi al-Musnad, sebagai bahan prtimbangan. Secara jujur perasaan salut perlu diberikan kepada al-Hafidz al-Iraqi dan ibn al-Jauzi, sebab kedua ulama hadis tersebut mengetrapkan normauji mutu terhadap validitas (kesahihan) hadis bukan semata-mata dipusatkan pada aspek transmisi riwayat, tapi mengikuti sertakan pula sektor kandungan matan hadis yang bersangkutan. Dengan mengenyampingkan fanatik sentimen keagamaan tetap kiranya bila penilaian imam Syarifuddin al-Nawawi, dijadikan pegangan. Ia memandang beberapa hadis koleksi al-Musnad setara dengan hadis koleksi Abu Dawud al-Thayalisi dalam derajat kehujjahan hadisnya. Akreditas semacam itulah berakibat menempatkan koleksi beberapa hadis koleksi al-Ushul al-Khamsah, yaitu Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Jami’ al-Turmudzi dan Sunan al-Nasa’i.
D. Proses pembukuan al-Musnad
Dalam sebuah artikel majalah terbit di pakistan Syeikh Abdul Quddus al-Hasyimi al-Nadawi, menganggap tidak benar bila kumpulan besar hadis yang kemudian dikenal dengan al-Musnad dinisbahkan kepada imam Ahmad ibn Hambal. Sepanjang yang diketahui imam Ahmad ibn Hambal hanya pernah menulis bahan hadis yang akan diajakan dalam al-Mudzakarat, bukan berbentuk kodifikasi al-Musnad. Upaya koleksi sejumalah besar hadis sepenuhnya dikerjakan oleh puteranya Abdullah sepeninggalan ayahandanya dan koleksi hadis tersebut berpindah tangan pada seorang yang belakangan diketahui beritikad jejak bernama al-Qathi’i. Setelah ditambahkan dalam jumlah relatif banyak hadis Maudhu’ dan format ketebalan koleksi membengkak dua kali lebih besar dari format aslinya al-Qathi’i mempublikasikan koleksi tersebut dengan titel al-Musnad dalam enam jilid.
Sinyalemen yang termuat pada artikel tersebut di atas berbeda sekali dengan realita yang pernah dituturkan kembali oleh al-Hafidz Syamsuddin ibn Jauzi. Imam Ahmad ibn Hambal sendiri memprakarsai pembukuan al-Musnad yang diawali dengan teks tulisan tangan pada lembaran dan peneglompokan tertentu sebesar format memndekati ukuran al-Musnad tersebut. Merasa bahwa dirinya semakin lanjut usia beliau mengajarkan teks al-Musnad selengkapnya kepada keluarganya. Abdullah Ibn Ahmad ibn Hambal mengambil oper prakarsa tersebut dan sepanjang hadis yang diperdengarkan kepada Abdullah tertulis dalam al-Musnad dengan pengantar riwayat “Haddastna Abdullah, Haddasani Abi” dan seterusnya. Itulah sebabnya al-Musnad edisi maupun tidak diawali dengan Muqaddimah kitab sebagai layaknya kitab ilmu keislaman pada umumnya. Abdullah ibn Ahmad bertindak sebagai penyalin naskah semata-mata tanpa revisi atau pembentukan redaksi.
Bila diperhatikan pengantar riwayat (shighat al-Tahdis) diketahi bahwa Abdullah ibn Ahmad telah mengambil inisiatif menambahkan beberapa hadis yang berasal dari tulisan mengenai imam Ahmad yang pribadi Abdullah belum pernah diajarinya. Selain itu Abdullah tambahkan pula beberapa hadis hasil dari berguru kepada ulama hadis seangkatan imam Ahmad dan telah dikonsultasikan kepadanya. Dalam tata penyajian hadis tersebut dipakai pengantar “Haddatsana Abdullah, Haddatsana........” sebagai pertanda bahwa hadis tersebut bukan dikutip dari pelajaran yang diberikan oleh ayahnya. Beberapa unsur tambahan tersebut relatif kecil (kurang dari seperempat volume al-Musnad) dengan proses pemuatannya secara tidak langsung tidak terlepas dari ikatan dari ikatan dengan imam Ahmad ibn Hambal. Nisbah kitan al-Musnad kepada imam Ahmad ibn Hambal bukan mengada-ngada, terbukti setiap penulisan beografi imam Ahmad senantiasa mencantumkan kitab al-Musnad sebagai salah satu karya monumental hadis yang dikerjakan oleh imam Ahmad ibn Hambal.
Adapun al-Hafidz abu bakar ahmad ibn Ja’far al-Qathi’i lahir tahun 274 H dibaghdad dan meninggal tahun 368 H. Ia adalah seorang ulama hadis kenamaan yang kepadanya telah berguru pada imam al-Hakim, al-Daruquthi, ibn Syahin, Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar al-Barqani dan beberapa ulama hadis lainnya. Al-Hafidz al-Qathi’i belajar beberapa hadis al-Musnad langsung dari Abdullah Ibn Ahmad ibn Hambal dan kelak kemudian dari beberapa ulama hadis kenamaan menerima serta mengajarkan al-Musnad kepada genarasi berikutnya. Bila disinyalir bahwa al-Qathi’i ada menambahkan beberapa hadis lain diluar yang beliau peroleh dari Abdullah Ibn Ahmad bin Hambal, apabila bisa dibuktikan tentu jumlahnya amat sedikit dan inisiatif tersebut lebih berkesan sebagai upaya menyelamatkan amanah ilmu bagi generasi umat yang akan datang.
Dengan memperhatikan proses sejarah pembukuan kitab al-Musnad tersebut, maka pembaca seyogyanya jeli mengamati pengantar riwayat setiap hadis yang termuat didalamnya, sekira tampak jelas imam Ahmad ibn Hambal sebagai pangkal riwayat maka potensi kehujjahannya dapat dipertanggung jawabkan. Sejalan dengan klasifikasi beberapa hadis dalam al-Musnad yang ditulis oleh ahmad al-Banna dalam muqaddimah al-Fathu al-Rabbaniy halaman 19 pembaca perlu waspada terhadap kelompok hadis Zawa’id. Tapi bila mengingat evaluasi al-Taimiyah, maka mutu kesahihan beberapa hadis kelompok Zawa’id dalam al-Musnad tidak perlu diragukan, lebih-lebih yang berasal dari Abdullah ibn Ahmad. Dengan demikian tudukan Mudhu’ yang lebih sering dikaitkan dengan hadis dengan hadis Zawa’id tersebut bukan berarti riwayat hadis yang bersangkutan bersanad seseorang yang dikenal sebagai pendusta, melainkan sekedar kekeliruan kecil yang terjadi oleh kekhalifahan perawinya mungkin karena unsur kekurangan dalam sifat kedhabitan.
III. PENUTUP
Makalah Musnad Ahmad ibn Hambal
A. Kesimpulan
Nama lengkap ahmad ibn hambal ialah ahmad ibn hambal ibn hilal ibn asad ibn idris ibn abdillah bin hayyan ibn abdillah ibn anas ibn awf ibn Qasit ibn mazin ibn shaiban ibn zulal ibn ismail ibn ibrahim. Beliau lahir di baghdad rabiul awal tahun 164 H / bulan november tahun 780 M. Ayahnya ialah seorang mujahid dibasyrah.
Beberapa koleksi dalam kitab al-musnad awalnya diangkat dari seleksi 750.000 hadis yang penyeleksiannya dinilai dari kelayakan hadis untuk dijadikan hujjah, dan hasil penyeleksian tersebut dibukukan dengan tulisan tangan sebanyak 24 jilid, kemudian diterbitkan dalam edisi cetakan mesin menjadi enam jilad, tapi hadis yang tertampung dalam cetakan baru menjadi 40.000 hadis, dan jika dihitung ulang menjadi 30.000, sebab sisanya berupa hadis yang terulang-ulang.
Ahmad ibn hambal mengupayakan koleksi hadis yang berpotensi sebagai hujjah. Hal tersebut berbekal tekat pulan telah dilakukan penantian seksama, guna setiap hadis yang termuat dalam al-Musnad berkualitas sahih. Atas penegasan tersebut abu musa al-Madani optimis memandang setiap hadis dalam al-Musnad berkelayakan dijadikan hujjah, sehingga penilaian tersebut dinatakan oleh jalaluddin al-Sayuthi.
Syaikh abdul Quddus al-Hasyimi al-Nadawi menganggap tidak benar jika kumpulan besar dari hadis yang dikenal dengan al-Musnad dinisbahkan kepada imam ahmad bin hambal, dari sepanjang yang diketahui oleh imam ahmad ibn hambal hanya pernah menulis bahan hadis yang akan diajakkan dalam Al-Mudzakarat, bukan berbentuk kodifikasi al-Musnad. Koleksi tersebut dikerjakan oleh putra beliau yaitu abdullah.
REFERENSI
Makalah Musnad Ahmad ibn Hambal
- Sa’di Abu Jaib, Haulai Musnad Imam Ahmad, Majalah Rabithah Alamil-Islami, tahun ke XVII, Sya’ban 1399/Juli 1979
- Arifin Zainul, 2010, Studi Kitab Hadis, Surabaya, Al-Muna.
- Al-Ghazali Muhammad, 1993, Studi Kritis atas Hadis nabi,Bandung, Mizan.
- M. Syuhudi, 1992, Kidah Kesahihan Hadis, Jakarta, Bintang.
- M. Syuhudi, 1992, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta, Bintang.
- At-Thahhan, 1995, Ushul al-Takhrij wal Dirasyah al-Asanid, Ter, Ridwan Nasir, Surabaya, Bina Ilmu.
- Sa’di Abu Jaib, Haulai Musnad Imam Ahmad, Majalah Rabithah Alamil-Islami, tahun ke XVII, Sya’ban 1399/Juli 1979,Ibid,
- Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (2010, Surabaya, al-Muna)
- Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis nabi (1993, Bandung, Mizan)
- M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (1992, Jakarta, Bintang)
- M. Syuhhudi, Kaidah Kesahihan hadis (1995, Jakarta, Bulan Bintang)
- Mahmud At-Thahhan, Ushul al-Takhrij wal dirasyah al-Asanid, Ter. Ridwan Nasir (1995, Surabaya, Bina Ilmu