A. Pendahuluan
Secara garis besar ilmu hadits dibagi atas ilmu hadits riwayat dan ilmu hadits dirayat. Jika ilmu hadits riwayat membahas materi hadis yang menjadi kandungan makna, maka ilmu hadits dirayat mengambil pembahasan mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungah dengan sanad atau matan hadits. Kedua pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak laku dan teladan Rasulullah , harus menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai ilmu yang kedua, setiap muslim dan siapapun yang mempelajari dengan baik akan mendapatkan informasi yang akurat dan akuntabel tentang hadits Nabi/ Rasulullah saw. Di bawah ini akan dibahas tentang pengertian ilmu hadits, sejarah yang dilalui, dan cabang-cabang ilmu hadits, terurama ilmu hadits yang berkaitan dengan kegiataan takhrij dan penelitian sanad hadit Nabi saw.
1. Makna Istilah Ilmu Hadits Dan Kegunaannya
Banyak macam istilah yang digunakan para ulama untuk menyebut ilmu hadits. Di antaranya adalah Ilmu Ushul al-Hadits, Ilmu Mushthalah Hadits, Ilmu Mushthalahi ahli al-Atsar, Ilmu Mushthalahi Ahli al-Hadits. Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi, sebagaimana dikutib Syuhudi Ismail dan Nur Sulaiman, mengartikan ilmu Hadits sebagai segala pengetahuan yang berhubungan dengan hadits Nabi.[1] Dari definisi ini, maka cakupan (obyek) ilmu hadits itu sangat luas. Ia tidak saja menyangkut matan dan sanad hadits, tetapi juga menyangkut setting social-budaya, pilitik dan social ekonomi yang melingkupi hadits Nabi. Berangkat dari pengertian ini, maka ilmu hadits bisa mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu itu sendiri. Misalnya ilmu sosiologi Hadits, Ilmu Pilitik Hadits dan sebagaimnya.
Definisi ini senada dengan pengertian yang dirumuskan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani [2]:
معرفة القواعد التى يتوصل بها الى معرفة الراوي والمروي
“Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kaadaan para perawi dan apa yang diriwayatkan(matan hadits)”
Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah).
Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang membahas segala perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat Nabi Saw. Jadi ilmu ini titik tekannya pada materi hadits itu sendiri. Wilayah dan ruang lingkup pembahasan Ilmu ini tidak menyinggung apakah hadits itu mutawatir atau ahad, dan juga tidak mempersoalkan apakan hadits tersebut shaih atau tidak, maqbul atau mardud, tetapi pembahasannya lebih pada apa saja penuturan yang berasal dari nabi saw. Hal ini dilakukan kerena ditujukan agar supaya mengetahui apa saja sikap dan prilaku nabi yang dapat dicontoh dan diteladani. Dengan demikian maka obyek Ilmu hadits Riwayat adalah pribadi Nabi, baik dari segi perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi saw. Dintara kitab-kitab yang mebahas ilmu riwayat adalah kitab Shahih al-Bukhari, shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatha’ Malik, Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi dan lain se bagainya.
Sedang Ilmu hadis Dirayat berkisar pada kaidah-kaidah untuk mengetahui kaadaan matan dan sanad hadits, bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain, tentang sifat-sifat rawi, bagaimana cara memahami hadits dan sebagainya. Dari dua pokok asasi ini, terbitlah berbagai-bagai berbagai ilmu hadits, seperti ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Tarih al-Rawi, Ilmu al-Jarhi wa al-Ta’dil, Ilmu Asbab al-Nuzul, Ilmu Musykilat al-Hadits dan sebagainya.
Adapun kegunaan mempelajari ilmu hadits antara lain :
1. Dapat meneladani akhlak Nabi saw, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, secara benar.
2. Menjaga dan memelihara hadits Nabi dari segala kesalahan dan penyimpangan
3. Menjaga kemurnian syariat Islam dari berbagai penyimpangan
4. Melaksanakan Syari’at sesuai dengan sunnah Nabi saw.
5. Mengetahu upaya dan jerih payah para ulama dalam menjaga dan melestarikan hadits Nabi
6. Dapat mengetahui istilah-istilah yang dipergunakan para ulama hadits
7. Mengetahui kriteria yang dipergunakan para ulama dalam mengklasifikasikan kaadaan hadist, baik dari sisi kuantitas / jumlah sanad maupun dari sisi kualitas sanad dan matannya.
8. Dapat mengetahui periwayatan yang maqbul (diterima) dan yang mardud (tertolak)
9. Dapat melakukan penelitian hadits sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang disepakati para ulama
10. mampu bersikap kritis dan proporsional terhadap periwayatan hadits Nabi saw.[3]
2. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu ini sebenarnya telah tumbuh sejak zaman Rasulullah saw masih hidup. Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah saw masih hidup ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, yang merupakan emberio bagi pertumbuhan ilmu hadits dikemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap setiap berita yang didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6 menyatakan:
ياأيها الذين ءامنوا إن جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Demikian pula dalam surat al-Thalaq : 2
وأشهدوا ذوي عدل منكم وأقيموا الشهادة لله ذلكم يوعظ به من كان يؤمن بالله واليوم الآخر ومن يتق الله يجعل له مخرجا
“persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.”
Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang dating, khususnya berita yang dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya orang terpercaya dan adil , maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya, jika mereka tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak.[4]
Sepeninggal Rasulullah saw , para sahabat Nabi sangat hati-hati dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik , yang memicu munculnya firqah di kalangan kaum muslimin ; Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi. Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori tentang periwayatan. Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini telah dilakukan antara lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpin hadits dari para ulama.[5]
Ketika para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan / daya ingat para perawi (dhabit), membahas bagaimana system penerimaan dan penyampaian yang dipergunakan (tahammul wa ada’ al-hadits), bagaimana cara menyelesaikan hadits yang tampak kotradiktif, bagaimana memahami hadits yang musykil dan sebagainya, maka perkembangan ilmu hadits semakin meningkat. Ketika Imam al-Syafi’i (w. 204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu hadits telah mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan haadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain, belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Sesudah generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w. 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada abad III H ini, maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan sempurna.
Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (w. 360 H) menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’[6].
C. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
1. IImu Rijalil Hadis
علم يبحث فيه عن رواة الحديث من الصحابة والتابعين ومن بعدهم
Artinya:
"Ilmu yang membahas tentang kaadaan para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi'in, maupun dari angkatan sesudahnya[7] ."
Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi menerima hadis dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis.
Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudlu'. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan.
Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadis disebut Mu'talif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. lni dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Mutasyabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat.
Di samping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdapat dalam satu-satu kitab saja, atau: beberapa kitab saja. Dalam semua itu para ulama telah berusaha menyusun kitab-kitab yang dibutuhkan. Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para sahabat, ialah Al-Bukhari (256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad Ibnu Saad, sesudah itu terdapat beberapa ahli lagi, di antaranya, yang penting diterangkan ialah Ibnu Abdil Barr (463 H). Kitabnya bernama AI-Istiab.
Pada permulaan abad ketujuh Hijrah, Izzuddin ibnul Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang dinamai Usdul Gabah. Ibnu Atsir ini adalah saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang An-Nihayah fi GaribiI Hadis. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Ai-Dzahabi (747 H) dalam kitab At-Tajrid.
Sesudah itu pada abad kesembilan Hijrah, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqali menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama AI-Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan Al-Istiab dengan Usdul Gabah dan ditambah dengan yang tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut. Kitab ini telah diringkaskan oleh As-Sayuti dalam kitab Ainul Ishabah.
Al-Bukhari dan muslim telah, menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan suatu hadis saja yang dinamai Wuzdan. Kemudian, dalam bab ini Yahya ibnu abdul Wahab ibnu Mandah Al-Asbahani (551 H) menulis sebuah kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.
Ilmu Rijal al-Hadits ini dibagi menjadi beberapa bagian. Antara lain adalah Ilmu Tarih al-Rawi dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil. Titik tekan kedua ilmu ini berbeda. Ilmu Tarih al-Rawi memfokuskan pembahasannya pada sejarah perjalanan hidup perawi, misalnya kapan seorang rawi itu dilahirkan, di mana, kepada siapa dia berlajar hadits, siapa saja gurunya, memiliki berapa murid hadits, siapa saja mereka itu, pernah melakukan perlawatan untuk mencari hadits ke mana saja, dimana ia tinggal dan sebagainya. Sedangkan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, lebih menfokuskan kepada kritik perawi; apakan seorang perawi itu adil, kapasitas intelektualnya sehat apa tidak , Jadi titik tekannya pada kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya.[8]
2. Ilmul Jarhi Wat Takdil
Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah:
علم يبحث فيه عن جرح الرواة وتعديلهم بألفاظ مخصوصة وعن مراتب تلك الألفاظ
Artinya:
"Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu[9]. "
Yang menjadi pembahasan ilmu ini pada prinsipnya adalah melakukan telaah terhadap keadilan dan kedhabitan para perawi hadits. Jadi intinya membicarakan kualitas pribadi perawi dan kapasitas intelektualnya
Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat. Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H).
Sedangkan dari kalangan tabi'in antara lain ialah Asy Sya’bi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadis, adakalanya karena me-rafa-kan hadits yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).
Sesudah berakhir masa tabi'in, yaitu pada kira-kira tahun 150 Hijrah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi, menta’dil(menilai adil) dan menajrihkan(menilai cacat) mereka. Di antara ulama besar yang memberikan perhatian pada urusan ini, ialah Yahya. ibnu Said Al-Qattan (189H), Abdur Rachman ibnu Mahdi (198 H)", sesudah itu, Yazid Ibnu Harun(189 H), Abu Daud At-Thayalisi (204 H), Abdur Razaq bin Human (211 H).Sesudah itu, barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarah dan ta’dil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.
Di antara pemuka-pemuka al-jarah dan al-ta’dil ialah Yahya ibnu Main (233 H), Ahmad ibnu Hanbal (241 H), MUhammad ibnu Saad (230 H),Ali Ibnul Madini (234 H), Abu Bakar ibnu Syaibah (235 H), Ishaq ibnu Rahawaih (237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (255 H),Al-Bukhari (256 H), Al-Ajali(261 H), Muslim (251 H), Abu Zurah (264 H), Baqi ibnu Makhlad (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H).
Kemudian pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampai pada ibnu Hajar Asqalani (852 H).
Kitab-kitab yang disusun mengenai al-Jarh wa al-Ta’dil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang menadlieskan hadis. dan ada pula yang melengkapi semuanya. Di samping itu, ada yang menerangkan perawi-perawi suatu kitab saja atau beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab.
Di antara kitab yang melengkapi semua itu ialah: Kitab Tabaqat Muhammad ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (23Q H). Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sahabat nama-nama tabi'in dan orang-orang sesudahnya. Kemudian berusaha pula beberapa ulama besar lain, di antaranya Ali ibnul Madini(234 H), Al-Bukhari, Muslim; Al-Hariwi (301 H) dan ibnu Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna bagi ahli hadis dan fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam ibnu Katsir.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercayai saja ialah Kitab As-Siqat, karangan Al-Ajaly (261 H) dan kitab As-Siqat karangan Abu Hatim ibnu Hibban Al-Busty. Masuk dalam bagian ini adalah kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghapal-penghapal hadis. Banyak pula ulama yang menyusun kitab ini, di antaranya, Az-Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan As-Sayuti.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja ialah: Kitab Ad-Dhuafa, karangan Al-Bukhari dan kitab Ad- Dhu’afa karangan ibnul Jauzi (587 H)
Kitab yang menggabungkan antara ilmu tarih al-Rawi dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, antara lain ialah kitab Tahdzib al_kamal fi Asma al-Rijal karya Abu Al-Hajjaj Yusuf bin al-Zaki al-Mizzi, dan kitab Tahdzib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Atsqalani
Sedangkan lambing-lambang yang dipergunakan untuk menta’dil adalah :
ثقة ثقة , ثقة ثبت , ثبت ثبت , ثقة , ثبت , حجة , صدوق , متقن , صالح الحديث , حسن الحديث , مأمون , شيخ , وسط , لا بأس به
Adapun lafadz/ lambing yang diginakan mentajrih adalah sebagai berikut :
أوضع الناس , أكذب الناس , كذاب, دجال, متهم بالكذب, فلان ساقط, متروك الحديث, ضعيف, مردود الحديث, فلان لين, ليس بقوي,
Selanjutnya, jika dalam penilaian para ulama terdapat perbedaan, artinya ketika terjadi penilaian yang berbeda di kalangan para ulama terhadap seorang perawi, maka ada beberapa teori[10] :
1. التعديل مقدم على الجرح
2. الجرح مقدم على التعديل
3. إذا تعارض الجارح والمعدل فالحكم للمعد ل الا اذا ثبت الجرح المقسر
4. لا يقبل الجرح الا بعد التثبت خشية الاشباه في المجروحين
3. IImu Illail Hadis[11]
علم يبحث فيه من اسباب غامضة خفية قادحة في صحة الحديث
Artinya:
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis.
Yakni menyambung yang munqati’, merafa’kan yang mauqu memasukkan satu hadis ke dalam hadis yang lain dan yang serupa itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadis.
Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalus-halusnya. Cacat hadits yang demikian ini tidak dapat diketahui melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadis.
Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.
4. Ilmun nasih wal mansuh[12]
علم يبحث فيه عن الناسخ والمنسوخ من الحديث
Artinya:
"ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya. "
Apabila didapati suatu hadis yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadis tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadis yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadis itu dinamai Mukhatakiful Hadis. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh.
Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam'uh ini, di antaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H) .
5. Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis, ialah[13]:
علم يعرف به السبب الذي ورد لأجله الحديث والزمان الذي جاء فيه
Artinya:
"Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menurunkan itu."
Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadis, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran. UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H
6. Ilmu Talfiqil Hadis
عام يبحث فيه عن التوفيق بين الأحاديث المتناقضة ظاهرا
Artinya: "Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan(mempertemikan) hadis-hadis yang(secara lahiriyah) isinya tampak berlawanan. "
Secara umum metode penyelesaian dengan cara ini mirip dengan metode al-Jam'u yang telah berkembang di kalangan ulama hadis. Metode ini meliputi :
a. Penyelesaian berdasar pemahaman dengan pendekatan kaedah ushul fiqh. Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang 'amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan mentafsil yang mujmal
b. Penyelesaian berdasar pemahaman kontekstual.
c. Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif.
d. Penyelesaian dengan menggunakan pendekatan ta'wil.
e. Penyelesaian berdasarkan pemahaman tanawu' al-ibadah[14]
Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
REFERENSI
[1]Lihat Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits ( Bandung : Angkasa, 1991), hal. 61; Bandingkan pula dengan Prof. Dr. H. M. Nur Sulaiman (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008) hal. 76
[2]Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits ( Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 68
[3]Lihat ibid, hal 71-72 dan 77. Bandingkan dengan Utang Ranuwijaya, Drs, dan Mundzir Suparta, Drs. Ilmu Hadits (Jakarta : Raja Grafindo, 1993) hal. 24
[4]Sbd. Majid Khon. Dr. Op.cit, hal. 78-79
[5]Ibid, hal. 80
[6]Ibid, hal. 82
[7]Bandingkan dengan Fathur Rahman, Drs. Ikhtisar Musthalah hadits (Bandung : al-Ma’arif, 1985) hal. 245
[8]Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. Ibid , hal . 258-273
[9]Bandingkan dengan penjelasan Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 85
[10]Syuhudi Ismail, Dr. Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 77-80
[11] Lihat lebih rinci dan bandingkan dengan Fathur Rahman, Drs. Op.cit, hal . 298-304
[12] Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 291-293
[13] Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 286-289
[14]Lihat Edi Safri, Al-Imam al-Syafi'i, Metode penyelesaian Hadis Mukhtalif (Disertasi: IAIN Jakarta, 1990) h. 152-206.