Makalah: Konsep Pendidikan Murtadha Muthahhari
Pendidikan Menurut
Murtadha Muthahhari
Pendidikan adalah proses yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, setiap manusia belajar seluruh hal yang belum mereka ketahui. Bahkan dengan pendidikan, seorang manusia dapat menguasai dunia dan tidak terikat lagi oleh batas-batas yang membatasi dirinya. Pendidikan melahirkan seorang yang berilmu, yang dapat menjadi khalifah Allah di bumi ini. Seperti diungkapkan Muhammad ‘Abduh, seorang tokoh pembaharu Muslim terkenal, bahwa pendidikan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia dan dapat merubah segala sesuatu.[1]
Di satu sisi, Muthahhari adalah seorang tokoh intellektual Iran yang terkenal sangat produktif dalam menelurkan pemikiran-pemikiran baru mengenai ajaran Islam lewat karya-karyanya. Bisa dikatakan, bahwa beliau adalah kampiun bagi kebangkitan tradisi intellektual dan rasional di dunia Muslim. Namun, di sisi lain, kita belum mendapatkan sebuah karya khusus dari beliau mengenai pendidikan.
Ide-ide Muthahhari mengenai pendidikan masih belum dikumpulkan. Ia masih tersebar secara terpisah-pisah dalam karya-karya beliau yang sangat banyak, sehingga untuk mengetahui konsep pendidikan menurut Murtadha Muthahhari dirasakan cukup sulit. Bukan saja tidak ada kitab atau buku spesifik yang menguraikan tentang masalah tersebut, tetapi bahkan memang buah pemikirannya yang sangat brilian dan sangat luas ilmunya menyulitkan untuk disentuh secara menyeluruh. Tetapi melalui beberapa karyanya dapat dipahami bahwa sesungguhnya Muthahhari adalah seorang ‘alim yang memiliki konsep pendidikan yang khas.
Muthahhari menunjukkan bahwa pada diri manusia itu ada sifat kehewanan dan kemanusiaannya. Karakteristik yang khas dari kemanusiaannya ialah iman dan ilmu (sains). Manusia mempunyai kecenderungan untuk menuju “ke arah kebenaran-kebenaran dan wujud-wujud suci”. Manusia tidak bisa hidup tanpa mensucikan dan memuja sesuatu”.
Tetapi manusia juga memiliki kecenderungan untuk memahami alam semesta, untuk “menjelajah tempat-tempat yang berada di luar lingkungannya, seperti planet-planet lain dan juga tentang masa lampau dan masa depan”. Oleh karenanya, kita dapat menyimpulkan bahwa perbedaan yang paling penting dan mendasar antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya terletak pada iman dan ilmu (sains) yang merupakan kriteria kemanusiaannya.
Karena iman dan ilmu adalah karakteristik kemanusiaan, maka pemisahan keduanya akan menurunkan martabat manusia. Iman tanpa ilmu akan mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, takhayul dan kebodohan. Ilmu tanpa iman akan digunakan untuk memuaskan kerakusan, kepongahan, ekspansionisme, ambisi, penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan. Muthahhari menegaskan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang memadukan iman dan ilmu (sains).[2]
Keterkaitan antara iman dan ilmu dan pertalian keduanya yang tidak dapat dipisahkan selalu mewarnai pemikiran dan dasar konsep pendidikan Muthahhari. Lazimnya para ulama yang lain, Muthahhari menegaskan bahwa kewajiban menuntut ilmu tidak bisa tergantikan. “Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az Zumar:9).
Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, banyak sekali hadis-hadis yang mewajibkan menuntut ilmu. “Mencari ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim”. (Ushul al-Kafi, Jld. I, h. 30). Arti dari hadis ini adalah bahwa salah satu kewajiban Islam, yang sejajar dengan semua kewajiban lainnya adalah mencari dan menuntut ilmu. Mencari ilmu adalah wajib hukumnya bagi setiap orang muslim; tidak hanya dikhususkan bagi satu kelompok dan tidak bagi kelompok yang lain[3], seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, amar ma’ruf nahi munkar, dan sebagainya.
Kewajiban menuntut ilmu tidak memiliki pengkhususan, hanya untuk wanita atau lelaki saja, sebagaimana jihad dan shalat Jum’at hanya untuk kaum mukminin. Menuntut ilmu juga tidak memiliki batasan waktu atau masa tertentu, sebagaimana hadis Nabi saw, “Carilah Ilmu dari buaian sampai ke liang kubur” (Bukhari dan Muslim). Pada setiap zaman manusia haruslah menggunakan kesempatan yang ada untuk mencari ilmu. Keluasan kewajiban menuntut ilmu juga digambarkan dalam hadis, “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”. Artinya bahwa mencari ilmu tidak memiliki batasan tempat tertentu, sebagaimana juga tidak memiliki waktu tertentu seperti ibadah haji hanya di Mekah.
Masih dalam konsep kewajiban mencari ilmu, Muthahhari menukil salah satu hadis Rasulullah saw, “Seandainya engkau mengetahui apa yang terkandung di dalam mencari ilmu, maka niscaya mencarinya meskipun sampai harus mengalirkan darah dan menyelami lautan”. Dalam mengambil ilmu sebagai hikmah Muthahhari juga tidak membatasi pada satu golongan tertentu. Hal ini berdasarkan hadis Rasul saw, “Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, yang akan diambil di mana saja mereka menemukannya”. Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali kw juga menyatakan, “Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, maka ambillah hikmah itu meskipun dari orang munafik”. [4]
Jika Islam memerintahkan menuntut ilmu dengan tiada batasan golongan tertentu, waktu, tempat dan pengajarnya lalu mengapa Islam begitu mundur dan selalu berteman dengan kebodohan? Hal inilah yang sangat menyedihkan karena sesungguhnya perintah-perintah yang mulia ini telah ditinggalkan begitu saja oleh pengikut Islam itu sendiri.
Lebih jauh, tesis ini akan meneliti lebih dalam lagi mengenai buah pemikiran Murtadha Muthahhari mengenai pendidikan Islam. Hal ini, sebagaimana apa yang ada dalam pikiran penulis, adalah sangat penting diketahui oleh khususnya para pelajar/mahasiswa dalam bidang pendidikan Islam. Dan, lebih dikarenakan, seperti apa yang diutarakan di muka, bahwa pemikiran Muthahhari mengenai pendidikan masih belum dikumpulkan secara khusus dalam suatu konteks yang menyeluruh. Tentunya, penulis berharap, tesis ini merupakan sebuah usaha untuk secara serius mengumpulkan ide-ide Muthahhari mengenai pendidikan, yang diharapkan juga dapat berguna bagi perkembangan dunia pendidikan Islam Indonesia.
Footnote
_____________
[1] Muhammad ‘Ammarah, Al-Imam Muhammad ‘Abduh, Al-Imam Muhammad ‘Abduh: Mujaddid al-Islam (Beirut: Al-Muassassah al-Islamiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, 1981), h.207.
[2] Murtadha Muthahhari, Man and Universe (Qum: Ansariyan Publication, 1401 H) Cet. Ke-1, h. 11.
[3] Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999) Cet. Ke-1, h. 157-158
[4] Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999) Cet. Ke-1, h.158.
[5]Naskah primer adalah naskah yang memuat gagasan asli dari seseorang, seperti Tafsir Jalaludin al-Suyuthi dan yang sejenis, sedangkan naskah sekunder adalah naskah yang memuat gagasan seseorang yang diterbitkan oleh orang lain, seperti pendapat Ibn Taymiyah yang disadur oleh Abdullah Ibn Wahhab.
[6]Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan”, dalam M. Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 68-69.