A. DUALISME PENDIDIKAN
Sebelum menjelaskan bagaimana dualisme pendidikan yang berkembang di Indonesia, terlebih dahulu akan dijelaskan makna dari dualisme tersebut, sehingga dengan memberikan penjelasan makna dualisme tersebut diharapkan akan memberikan pemahaman yang utuh.
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa dualisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan[1]. Selanjutnya secara terminologi dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan. Selanjutnya kata dualisme sangat erat hubungannnya dengan kata dikotomi yang didefinisikan sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan[2], secara terminologi dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam[3].
Selanjutnya mengenai penjelasan dualisme pendidikan, Marwan Sarijo menyatakan bahwa istilah dualisme dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama[4].
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa dualisme dan dikotomi yang terjadi pada pendidikan adalah adanya pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, yang pada akhirnya melahirkan pemisahan antara sekolah umum dan sekolah agama (madrasah), antara mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama, yang masing-masing dianggap saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pada dasarnya dualisme yang terjadi di dalam sistem pendidikan Indonesia merupakan perjalanan panjang sistem pendidikan yang telah terjadi sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Hal ini dapat ditelusuri dari sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Belanda pada saat penjajahan berlangsung.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda, seperti sekolah kelas satu yang dikhususkan untuk anak-anak kaum bangsawan, dengan lama belajarnya lima tahun, sekolah kelas dua yang dirancang untuk mempersiapkan pegawai-pegawai rendah bagi kantor pemerintahan dan perusahaan Belanda, sekolah desa (Volksschool) yang memiliki kurikulum kelas 1 : membaca dan menulis bahasa melayu dengan huruf latin, latihan bercakap, berhitung 1-20, kurikulum kelas 2 : lanjutan membaca dan menulis , kurikukul kelas 3 : ulangan, berhitung diatas 100 dan pecahan sederhana.
Selain sekolah-sekolah[5] tersebut, terdapat juga sekolah-sekolah yang dibangun oleh Belanda yang dalam pelaksanaanya hanya memasukkan dan mementingkan mata pelajaran umum, seperti :
1. Europeesche Lagere School (ELS),yang kurikulumnya meliputi : mata pelajran memabaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata pelajaran lainnya.
2. Hollandsche Chineesche School (HCS), yang kurikulumnya sama seperti kurikulum ELS, Hollandsche Inlandsche School(HIS) yang merupakan sekolah yang diberikan kepada masyarakat elit Indonesia, yang kurikulum terpenting sekolah ini adalah bahasa Belanda.
3. Meer Unitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang merupakan sekolah lanjutan dari HIS, kurikulum sekolah ini menekankan kepada pengajaran bahasa Belanda, Prancis, Inggris, dan Jerman, dalam proses pembelajrannya setengah waktu digunakan untuk mempelajari bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu pengetahuan alam dan seperenam untuk ilmu pengetahuan sosial.
4. Hoogere Burger School (HBS), yang merupakan sekolah tingkat menengah, yang kurikulumnya sama seperti kurikulum HBS yang ada di Belanda.
5. Algeemene Middelbare School (AMS), sekolah yang merupakan menengah lanjutan dari MULO, yang dibagi kepada dua bagian yaitu bagian A : ilmu pengetahuan kebudayaan yang terdiri dari A1 bagian kesustraan timur dan A2 bagian klasik barat, dan bagian B : ilmu pengetahuan kealaman.
Dari gambaran pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah tersebut, maka terlihat jelas bahwa Belanda melaksanakan sistem pendidikan yang diskriminatif, yang tidak hanya membatasi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang merata sebagai mobilitas kehidupan, namun juga melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah tersebut yang hanya memberikan pengajaran ilmu-ilmu saja.
Mengenai larangan pelajaran agama untuk diajarkan di sekolah-sekolah tersebut Mulyanto Sumardi, sebagaimana yang dikutip oleh Haidar menjelaskan bahwa pemerintahan Belanda Memiliki sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah, ini dinyatakan dalam pasal 179 (2) IS (Indische Staatsregeling), dan dalam beberapa ordonasi, secara singkat dinyatakan sebagai berikut : pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing, pengajaran agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah[6].
Dari penjelasan Mulyanto tersebut menggambarkan bahwa kebijakan pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda pada waktu itu merupakan pendidikan yang menekan terutama terhadap masyarakat islam, yaitu penekanan yang dilakukan pemerintahan Belanda dengan memberlakukan ordonansi guru.
Pemerintahan Belanda mengeluarkan ordonansi yang pertama pada tahun 1905, dimana ordonansi tersebut mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan ordonansi yang kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri[7].
Kebijakan pendidikan Belanda yang memberlakukan ordonansi guru tersebut memberikan penekanan pada masyarakat muslim pada saat itu, hal ini dilakukan Belanda sebagai usaha untuk meredam perkembangan pemahaman agama Islam dan sepak terjang guru agama Islam yang memperluas pengembangan agama Islam melalui kegiatan pendidikan. Hal ini dilakukan pihak Belanda bukan tanpa alasan, melainkan kekhawatiran mereka jika pemahaman agama Islam berkembang maka ini akan dapat melahirkan sebuah gerakan sosial agama khususnya Islam yang menciptakan sikap sentimen anti penjajahan yang sekaligus mendorong sikap anti pemerintahan Belanda. Mengenai hal ini Nurhayati Djamas menjelaskan bahwa paranoid pemerintahan Belanda terhadap perkembangan Islam tentu saja sangat beralasan mengingat berbagai perlawanan yang muncul dari masyarakat Indonesia banyak dilatarbelakangi oleh hal-hal yang bersifat keagamaan, seperti perlawanan dari gerakan tarekat dalam peristiwa Cianjur, Cilegon, dan garut yang dianggap membahayakan bagi pemerintahan Belanda[8].
Pada saat masyarakat muslim Indonesia merasa tertekan dengan adanya kebijakan pemerintahan Belanda tersebut, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang selain mengajarkan ilmu-ilmu umum juga mengajarkan agama. Sekolah-sekolah tersebut dipelopori oleh organasasi Islam yang ada pada saat itu, seperti organisasi Jami’at Khair yang mendirikan sekolah dasar pada tahun 1905, walaupun sekolah tersebut bukanlah sekolah agama namun selain mengajarkan pelajaran umum juga mengajarkan pelajaran agama. Dikalangan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, seperti MULO met de Qur’an.
Dengan adanya sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi Islam pada saat itu yang tidak hanya memberikan pengajaran pelajaran-pelajaran umum saja melainkan juga mmberikan pengajaran pelajaran agama memberikan agin segar bagi sistem pendidikan Indonesia, setidaknya sekolah-sekolah tersebut merupakan cikal bakal lahirnya sekolah yang ingin keluar dari sistem dualisme pendidikan Belanda, walaupun diakui bahwa sekolah sekolah tersebut masih lebih banyak memberikan perhatiannya terhadap pelajaran umum dari pada pelajaran agama, namun terlepas dari hal itu, kita harus menyadari bahwa gebrakan yang dilakukan organisasi-organisasi Islam pada saat itu merupakan manuver yang luar biasa sehingga perlu diberikan apresiasi yang tinggi.
Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, kelihatannya kebijakan pendidikan tidak lagi mendiskriminasi pendidikan agama (Islam), pada saat itu ada upaya mengakui pendidikan agama (Islam) sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki hak mendapatkan perhatian dari pemerintahan.
Hal ini merupakan implementasi dari sila pertama Pancasila yang merupakan ideologi bangsa yang berbunyi ketuhanan yang maha Esa, untuk mengimplematasikan sila tersebut pemerintahan membentuk departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946, yang memiliki tugas utamanya adalah mengurusi masalah kehidupan beragama bagi seluruh masyarakat Indonesia, salah satu diantaranya adalah masalah pendidikan agama. Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh departemen agama ini tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah agama seperti pesantren dan madrasah, tetapi juga menyangkut sekolah-sekolah umum.
Selanjutnya Haidar mencatat upaya-upaya untuk melaksanakan pendidikan agama di sekolah umum telah dimulai sejak adanya rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), diantara usulan badan tersebut kepada kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan adalah termasuk masalah pengajaran agama madrsah dan pesantren[9].
Mengenai hal ini Haidar juga memaparkan usul badan pekerja tersebut, sebagaimana yang ia kutip dari Soegarda Poerbakawatja sebagai berikut :
Pengaajran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya, dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipilihnya. Tentang cara melakukan ini baiklah kementrian mengadakan perundingan dengan badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan penderdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan dari pemerintahan[10].
Dari penjelasan ini memperlihatkan adanya fakta bahwa pemerintahan Indonesia ingin mengeluarkan pendidikan agama dari belenggu sistem dualisme pendidikan, walaupun usaha tersebut belum sepenuhnya memberikan harapan yang pasti terhadap pengahpusan dualisme pendidikan, sehingga perlu beberapa kebijakan pemerintah lainnya terhadap pendidikan yang selanjutnya kebijakan pemerintah tersebut dari tahun ke tahun hingga saat ini mengalami perubahan dan perbaikan untuk melepaskan diri dari belenggu dualisme pendidikan yang begitu mengental sebelum kemerdekaan.
B. INTEGRASI PENDIDIKAN AGAMA DAN UMUM
Pasca kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemerintahan memberikan peluang untuk menghilangkan dualisme pendidikan. Hal ini berarti bahwa keberadaan pendidikan agama mendapat dukungan dari pemerintahan dalam pelaksanaan di sekolah-sekolah.
Dilain pihak sesungguhnya pendidikan agama di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, hal ini digambarkan dengan sikap hidup masyarakat Indonesia yang begitu kental dengan kehidupan yang agamis, terlebih pendidikan Islam yang telah berlangsung sejak masuknya agama tersebut di Indonesia, walaupun pada mulanya pendidikan islam tidaklah berlangsung secara institusional atau sifatnya yang masih nonformal, namun dikemudian hari pendidikan Islam tersebut berkembang dengan tumbuhnya lembaga-lembaga formal pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah.
Pendidikan agama pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pendidikan yang menumbuhkembangkan potensi akal, potensi hati (jiwa) dan juga potensi skill yang sesuai dengan tuntutan agama. Sehingga pendidikan agama tersebut haruslah diberikan pada kurikulum setiap sekolah. Usaha memasukkan kurikulum agama di dalam pendidikan sekolah pasca kemerdekaan dilaksanakan berkat usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
REFERENSI
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989
- Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991
- Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Amissco, 1996
- Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Pesantren, Yogyakarta : PT.Tiara Wacana Yogya,2000
- Nurhayati Jamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Jakarta : Rajawali Pers, 2008
________________
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), cet. 2, hlm. 214
[2]Ibid
[3] Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 104.
[4]Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), hlm. 22
[5] Untuk mengetahui informasi tentang sekolah-sekolah tersebut baca Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Pesantren, (Yogyakarta : PT.Tiara Wacana Yogya,2000).
[6] Haidar, Ibid, h.49
[7] Haidar, Ibid. Mengenai ordonansi guru Baca juga Nurhayati Jamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008). h.176-180.
[8] Nurhayati Djamas, Ibid, h. 178-179
[9] Haidar, Ibid, h. 52
[10] Ibid.