Peran Pemerintah Daerah Dalam Upaya Menyukseskan Tujuan Pembangunan Milenium
(Millennium Development Goals)
Agoes Soehardjono MD
I. PENDAHULUAN
Di negara yang sangat luas dan beragam seperti Indonesia, pengumpulan data merupakan pekerjaan yang sulit dilakukan. Meskipun data yang ditampilkan dalam artikel ini dapat menggambarkan pencapaian di tingkat nasional, dan dalam beberapa aspek mencapai juga di tingkat provinsi, namun belum menggambarkan capaian pada tingkat kabupaten. Padahal, banyak dari keputusan terpenting yang dapat mempengaruhi kemajuan pencapaian MDGs diambil pada tingkat kabupaten. Karena itu, artikel ini diharapkan bisa membantu memperkenalkan latar belakang MDGs kepada pembaca yang lebih luas, terutama para pengambil keputusan di tingkat daerah.
Untuk beberapa tujuan, di antaranya kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan perlindungan terhadap lingkungan, Indonesia bersama negara-negara lainnya, menetapkan target-target yang ambisius tetapi sangat mungkin untuk dicapai. Kebanyakan dari target tersebut mesti dicapai pada 2015. Oleh karena itu, tahun 2010 menjadi penting, karena tahun ini adalah pertengahan dari target 2015. Melihat pencapaian sampai saat ini, Indonesia sepatutnya berbangga hati.
Pemerintah telah berusaha mengurangi kemiskinan, dan hampir semua anak laki-laki dan perempuan dapat masuk ke sekolah dasar. Namun, masih menuntut kerja keras dalam bidang yang lain. Tingginya angka kematian ibu melahirkan dan belum cukupnya usaha untuk melindungi lingkungan merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secara sungguh-sungguh. Walaupun sudah mencapai banyak kemajuan tetapi masih diperlukan kerja keras untuk mencapai semua sasaran MDGs.
Millenium Development Goals (MDGs) atau tujuan pembangunan milenium adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan pembangunan, yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian lingkungan hidup, serta membangun kemitraan global dalam pembangunan.
Sebagai salah satu anggota PBB, Indonesia memiliki dan ikut melaksanakan komitmen tersebut dalam upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Pemerintah Daerah sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga ikut serta mendukung komitmen pemerintah tersebut, dengan melaksanakan program dan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai target MDG’s.
Penanggulangan kemiskinan di Pemerintah Daerah (Pemda) selaras dengan “Grand Strategy” dilaksanakan melalui 5 (lima) pilar yaitu :
- Perluasan kesempatan, ditujukan menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan.
- Pemberdayaan masyarakat, dilakukan untuk mempercepat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat dan memperluas partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin kehormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar.
- Peningkatan kapasitas, dilakukan untuk pengembangan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan.
- Perlindungan sosial, dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan (perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, kemampuan berbeda (penyandang cacat) dan masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial.
- Kemitraan regional, dilakukan untuk pengembangan dan menata ulang hubungan dan kerjasama lokal, regional, nasional dan internasional guna mendukung pelaksanaan keempat strategi di atas.
Strategi penanggulangan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan, perlindungan sosial serta kemitraan regional dan antar daerah telah menjadi agenda dan prioritas utama pembangunan serta telah dilaksanakan dalam kurun waktu yang panjang. Pembangunan bidang pendidikan di daerah selama ini telah dilakukan melalui upaya pengembangan dan relevansi pendidikan sesuai dengan tuntutan perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan kebutuhan pasar kerja, dengan memerhatikan sistem pendidikan nasional yang berjalan dan juga sasaran komitmen-komitmen internasional di bidang pendidikan seperti Sasaran Pembangunan Milenium (MDG’s).
Angka kematian bayi mendapat perhatian secara khusus melalui berbagai program dan kegiatan untuk menekan terjadinya gizi buruk pada balita, beberapa indikator keberhasilan bidang kesehatan ditunjukkan dengan indikator mortalitas yaitu Angka Kematian Bayi (AKB). Sedangkan meningkatnya angka kesehatan ibu ditandai dengan semakin turunnya angka kematian ibu karena proses persalinan serta masih tetap dilaksanakannya program keluarga berencana, hal tersebut tercermin dengan menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI).
Berbagai upaya untuk memerangi merebaknya HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya terus dilaksanakan, antara lain dengan mengoptimalkan peran dan fungsi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dengan mengintegrasikan lintas sektor dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Peduli AIDS, mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA), mempercepat pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pada kelompok resiko tertular, ibu dan anak, memudahkan ODHA untuk memperoleh obat Anti Retroviral (ARV) melalui pelayanan di Klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan perawatan, dukungan serta pengobatan (Care, Support and Treatment), baik di rumah sakit maupun di komunitas.
Kerjasama sinergis pengelolaan potensi merupakan tantangan pembangunan perwilayahan ke depan yang secara konsisten terus dilaksanakan, hal tersebut mengingat semakin terbatasnya sumber daya alam dan adanya arus perdagangan bebas yang semakin kuat sehingga kawasan strategis perlu didorong dan diperkuat eksistensinya.
II. PEMBAHASAN
Dalam Upaya Menyukseskan Tujuan Pembangunan Milenium
a. Pengertian MDGs
Sebuah keluarga pastilah menginginkan masa depan yang sehat dan bahagia, juga pendidikan bermutu bagi anak-anaknya. Selain itu, sebuah keluarga tentu saja berharap mampu menyediakan sandang dan pangan berkecukupan serta memiliki rumah idaman. Seseorang dipastikan mendambakan kebebasan, yaitu hidup dalam sebuah negeri bernama Indonesia yang demokratis, di mana kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan mengatur kehidupan, dijamin oleh undang-undang.
Menggembirakan bahwa saat ini semakin banyak orang Indonesia menjadi lebih makmur, dibandingkan dengan sekitar 60 tahun lalu ketika republik ini didirikan. Bangsa Indonesia telah mengalami kemajuan pesat, menjadi lebih kaya dengan rata-rata penghasilan lima kali lipat penghasilan saat itu.
Sebagian dari kita memang lebih beruntung jika dibandingkan dengan yang lain. Namun, saat ini, sudah lebih banyak orang yang menjadi semakin sejahtera. Bukan sekadar dari ukuran penghasilan. Coba perhatikan berbagai kemajuan di kabupaten/kota, kini tersedia lebih banyak jalan, sekolah, pusat kesehatan dan tempat-tempat hiburan yang membuat sesuatu menjadi mudah.
Memang tidak semuanya menjadi lebih baik. Terkadang, situasinya malah memburuk. Mungkin saja seseorang kehilangan pekerjaan, anak jatuh sakit atau rumah yang dilanda banjir. Situasi pun bisa berubah menjadi buruk bagi negara secara keseluruhan. Sepuluh tahun lalu, misalnya, terjadi krisis moneter. Tiba-tiba banyak yang jatuh miskin. Meskipun demikian, dalam menapaki periode panjang sejak kemerdekaan, nampaknya Indonesia telah menuju arah yang tepat, terlihat dengan capaian ‘pembangunan manusia’ berupa peningkatan penghasilan dan perbaikan pendidikan. Orang Indonesia saat inipun hidup lebih lama dan lebih sehat.
Sebenarnya, Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara “berpenghasilan menengah”. Hal ini dikarenakan penghasilan masyarakat Indonesia berdasarkan Gross National Index (GNI), yang dihitung dari nilai pasar total dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu, penghasilan per kapita Indonesia tahun 2007 adalah $ 1.650. Nilai ini setara dengan Rp. 1.250.000 per bulan. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masuk urutan ke 142 dari 209 negara di dunia (World Bank GNI, 2008).
Akan lebih baik kalau Indonesia di urutan yang lebih tinggi. Namun, urutan tidak terlalu penting. Terkadang ada negara yang berkembang cepat, sementara yang lain lebih lambat, yang perlu dicermati adalah apa yang terjadi di Indonesia. Apakah semakin banyak yang mampu membaca dan menulis? Atau, apakah semakin banyak anak yang diimunisasi sehingga kebal campak, cacar air atau polio? Selanjutnya, apakah rata-rata kita berumur lebih panjang?
Dibandingkan dengan 60 tahun yang lalu, mereka yang lahir tahun 1960-an rata-rata hanya punya harapan hidup 41 tahun. Namun, anak-anak yang lahir pada 2007, bisa berharap untuk hidup sepanjang 68 tahun. Dulu, pada tahun 1960-an, hanya sekitar 30% penduduk yang tidak memiliki keterampilan dasar baca tulis. Namun, tentu saja masih banyak yang harus dilakukan. Jutaan penduduk masih hidup dalam kemiskinan. Sekitar seperempat dari anak-anak Indonesia masih kekurangan gizi. Juga, terlalu banyak sekolah di negara ini yang kekurangan buku, peralatan atau guru yang kompeten. Indonesia pun masih tetap sebuah negara berkembang dan masih butuh waktu untuk mencapai standar yang telah dicapai banyak negara kaya.
Bagi pemerintah, biasanya lebih mudah memperbaiki bidang pendidikan ketimbang kesehatan. Kemajuan dalam bidang pendidikan umumnya dicapai berkat peran sekolah. Sementara, untuk perbaikan di bidang kesehatan, diperlukan lebih dari sekadar pelayanan yang efektif. Faktor lain, seperti apakah seseorang merokok, atau apakah ia memiliki pola makan baik, berperan cukup signifikan. Meskipun demikian, apapun bidangnya, sangat mungkin untuk menetapkan target dan mengupayakan pencapaiannya. Misalnya, seseorang dapat menetapkan target bahwa setiap orang bisa mendapatkan air minum yang bersih pada tahun tertentu. Begitu pula dalam pemberantasan malaria, demam berdarah atau mengatasi banjir dan kemacetan. Tentu saja, ada hal yang pencapaiannya memerlukan waktu lebih lama dibandingkan yang lain.
Seseorang dapat menetapkan target untuk komunitas, sekolah, atau Puskesmas di sekitarnya. Begitu pula, pemerintah daerah dapat menetapkan target pembangunan pusat kesehatan baru, atau ruang kelas sekolah. Pemerintah pusat juga dapat melakukan hal yang sama. Sebenarnya, selama ini keduanya melakukan hal tersebut. Sebagai contoh, ada target untuk mewujudkan pendidikan dasar 9 tahun pada 2009. Dan hal yang sama juga terjadi di tingkat global, khususnya melalui kesepakatan internasional. Sejak sekitar 20 tahun terakhir, telah banyak pertemuan internasional di mana Indonesia bergabung dengan negara-negara di dunia untuk menetapkan target global terkait produksi pangan, “pendidikan untuk semua” serta pemberantasan penyakit seperti malaria dan HIV/AIDS. Boleh jadi, seseorang belum pernah mendengarnya, tetapi masih banyak target yang sepantasnya menjadi sasaran bersama masyarakat dunia.
Mungkin seseorang merasa semua itu bukan urusannya. Sementara negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia, berupaya mengusung sekian banyak tujuan dan sasaran pembangunan yang belum tersosialisasikan. Pada September 2000, para pemimpin dunia bertemu di New York mengumumkan ”Deklarasi Milenium” sebagai tekad untuk menciptakan lingkungan “yang kondusif bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan”. Dalam rangka mewujudkan hal ini, kemudian dirumuskan 8 (delapan) Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals).
Hanya ada delapan tujuan umum, seperti kemiskinan, kesehatan, atau perbaikan posisi perempuan. Namun, dalam setiap tujuan terkandung “target-target” yang spesifik dan terukur. Terkait perbaikan posisi perempuan, misalnya, ditargetkan kesetaraan jumlah anak perempuan dan laki-laki yang bersekolah. Begitu pula berapa banyak perempuan yang bekerja atau yang duduk dalam parlemen. Delapan tujuan umum tersebut, mencakup kemiskinan, pendidikan, kesetaraan gender, angka kematian bayi, kesehatan ibu, beberapa penyakit (menular) utama, lingkungan serta permasalahan global terkait perdagangan, bantuan dan utang. Jadi, pemerintah sedang berupaya memberantas kemiskinan dan penyakit. Memang, rasanya tidak mungkin tercapai. Namun, perlu pemerintah ketahui, bahwa semua target yang ditetapkan cukup realistis. Memang ada tujuan jangka panjang untuk memberantas kemiskinan sampai tuntas. Namun, tujuan MDGs hanya mematok target pengurangan kemiskinan menjadi separuh. Sementara, untuk HIV/AIDS, tujuannya adalah meredam persebaran epidemik. Sedangkan untuk pendidikan, targetnya lebih ambisius yaitu memastikan bahwa 100% anak memperoleh pendidikan dasar 9 tahun.
Sebagian besar ditargetkan pada 2015, dengan patokan tahun 1990. Sebagai contoh, di Indonesia, proposi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada 1990 berjumlah sekitar 15,1%. Pada 2015, pemerintah harus mengurangi angka tersebut menjadi separuh, yaitu 7,5%.
Terkait kemiskinan, belum banyak kemajuan yang dicapai. Pada tahun 2008, angka kemiskinan Indonesia (15,4%) masih lebih tinggi dibandingkan tahun 1990. Jadi, dalam delapan tahun ke depan, banyak yang harus pemerintah lakukan. Sementara, untuk beberapa tujuan MDGs yang lain, pemerintah lebih berhasil. Sebagai contoh, angka partisipasi anak di sekolah dasar, telah mencapai 94,7%. Namun, bila dicermati lebih rinci seperti terbaca dalam uraian pada bagian berikut, kondisi kemiskinan sebenarnya tidak seburuk angka yang ditampilkan. Sebaliknya, kondisi pendidikan tidak sebaik yang terungkap dalam angka tadi.
Menurut pemerintah, isu-isu yang diusung MDGs sangat penting, meskipun terkesan sederhana karena terkonsentrasi pada hal-hal yang sifatnya kuantitatif. Sebagai contoh, di sektor pendidikan, adalah baik bahwa 94,7% anak-anak terdaftar di sekolah dasar. Namun, ketika sekolah mereka bocor, atau hanya memiliki buku dalam jumlah yang terbatas serta guru-guru yang kurang kompeten, maka bersekolah tidak akan membuat anak-anak mendapatkan pendidikan bermutu. Sayangnya, tujuan pendidikan dalam MDGs tidak mengkaji aspek kualitas.
Mengukur kualitas memang lebih sulit, meskipun tidak mustahil. Pemerintah mungkin bisa menilai kualifikasi para guru, atau hasil-hasil ujian, tetapi sulit untuk mengukur dan mendapatkan informasi tentang kualitas. Hal ini membawa pemerintah ke masalah besar berikutnya. Di negara yang sangat besar dan beragam seperti Indonesia, angka nasional saja tidak terlalu bermanfaat. Ambil contoh, usia harapan hidup secara nasional adalah 68 tahun. Namun, bervariasi antara 73 tahun di Yogyakarta hingga 61 tahun di Nusa Tenggara Barat. Selain itu, meskipun ada angka provinsi, belum juga mengungkapkan kondisi kabupaten. Karena itu, secara keseluruhan, data-data MDGs memiliki keterbatasan.
Baiknya, jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. MDGs bukan sekadar soal ukuran dan angka-angka, tetapi lebih untuk mendorong tindakan nyata. Mencegah terjadinya kematian ibu lebih penting daripada sekadar menghitung berapa banyak perempuan meninggal sewaktu melahirkan. Yang penting tidak hanya menghitung berapa banyak anak Indonesia yang kekurangan gizi, tetapi juga memastikan bahwa semua anak memperoleh asupan gizi yang cukup. Salah satu manfaat dari MDGs adalah berbagai persoalan yang diusung menjadi perhatian berbagai pihak termasuk masyarakat secara luas. Namun, laporan tentang kemajuan MDGs di tingkat kabupaten juga sangat diperlukan.
Anggaplah ini sebagai titik awal, yaitu cara untuk memperkenalkan berbagai masalah tersebut secara umum, sehingga masyarakat di seluruh negeri yang luas ini dapat mulai berpikir tentang penyelesaiannya. Sebuah laporan nasional juga bisa dimasukkan ke dalam sistem internasional yang mencatat pencapaian-pencapaian MDGs di seluruh dunia.
B. Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs)
1. Memberantas Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrem
Seandainya tidak ada orang miskin, hampir semua masalah kita praktis terselesaikan. Tujuan pertama dalam MDGs adalah mengurangi jumlah penduduk miskin. Tujuan pertama ini, memang merupakan tujuan paling penting. Namun, jangan melihatnya sebagai hal yang terpisah dari tujuan MDGs yang lain. Pada dasarnya, semua tujuan berkaitan satu sama lain.
Ada berbagai cara untuk mengatasi kemiskinan secara langsung, misalnya menciptakan lapangan kerja yang lebih baik, atau menyediakan jaring pengaman sosial bagi penduduk termiskin. Namun, sebelumnya perlu mengetahui jumlah penduduk miskin lebih dulu. Biro Pusat Statistik (BPS) menghitung berapa biaya 32 keperluan dasar, mulai dari pakaian, rumah, hingga tiket bis. Pada 2008, misalnya, BPS menyimpulkan bahwa untuk bisa membayar semua itu, seseorang memerlukan Rp. 182.636 per bulan. Jika pengeluaran Anda kurang dari jumlah tersebut, berarti Anda berada di bawah “garis kemiskinan.” BPS melakukan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) terhadap sampel rumah tangga. Pada 2008, sekitar 35 juta penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Namun, itu merupakan jumlah nasional. Situasinya berbeda-beda, dari satu daerah ke daerah lain. Hidup di perkotaan, umumnya membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.
Tinggal di sebuah kota besar, seseorang juga punya kemungkinan untuk mendapat penghasilan lebih besar. Untuk 2008, sebagai tahun paling akhir yang memiliki informasi per propinsi, angka kemiskinan untuk Jakarta hanya sekitar 4,3%, tetapi di Papua angkanya sekitar 37.1%. Selain itu, masih banyak variasi di setiap propinsi dan kabupaten. Pada 2008, angka kemiskinan nasional adalah 15,4%, atau terdapat hampir 35 juta penduduk miskin. Berdasarkan angka tersebut, artinya pencapaian MDGs Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti. Untuk kemiskinan, target yang dipatok adalah 7,5% berdasarkan separuh angka kemiskinan tahun 1990 yang berjumlah 15,1%. Sebenarnya, kondisi saat ini bahkan lebih parah. Meski angkanya cukup tinggi, tetapi kecenderungannya menurun. Menyusul krisis moneter pada 1998, terjadi kenaikan tajam angka kemiskinan menjadi 24,2%. Sejak itu, angka kemiskinan terus turun untuk kemudian naik pada 2006, kemungkinan akibat melonjaknya harga-harga bahan makanan dan bahan bakar minyak.
Bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Pemerintah mungkin akan terhibur mengetahui bahwa menggunakan ukuran kemiskinan yang lain, wajah Indonesia terlihat lebih baik. Garis kemiskinan nasional yang dirumuskan oleh BPS didasarkan pada jenis pangan yang dikonsumsi, serta berbagai produk lain yang biasanya dibeli masyarakat. Namun, tentu saja, garis kemiskinan nasional ini mempersulit perbandingannya dengan negara-negara lain.
Mungkin saja pemerintah tidak merasa perlu membandingkan, tetapi ada saja yang melakukannya. Mereka menggunakan ”garis kemiskinan internasional” yang ditetapkan pada angka 1 dollar AS per hari. Pada pertengahan 2008, nilai rata-rata satu dollar setara dengan sekitar Rp. 9.400. Dengan demikian, anda mungkin mengira bahwa garis kemiskinan untuk Indonesia sekitar Rp. 288.000 per bulan. Namun, di sini, ada dua kerumitan yaitu:
- Pertama, nilai dollar di sebuah negara bisa lebih tinggi dibandingkan nilainya di negara lain. Menyewa rumah, misalnya, lebih murah di Bandung dibandingkan di New York. Selain itu, nilai dollar sendiri berubah dari waktu ke waktu.
- Kedua, dalam kenyataannya, nilai dollar saat ini jauh berkurang dibandingkan nilainya beberapa tahun lalu. Jadi jika Anda ingin menggunakan 1 dollar per hari sebagai patokan angka kemiskinan, anda perlu mempertimbangkan dua hal tersebut.
Bank Dunia telah menjelaskan hal tersebut. Jika ingin membuat orang lain terkesan, seseorang dapat mengatakan bahwa ini adalah “garis kemiskinan 1 dollar per orang/hari, sebanding daya beli dollar tahun 1993”. Jika tidak, seseorang cukup melihat hasilnya. Pada 2006, disimpulkan bahwa garis kemiskinan 1 dollar per hari di Indonesia setara dengan Rp. 97.000 per bulan, atau kurang dari separuh garis kemiskinan nasional versi BPS. Berdasarkan angka kemiskinan sekitar 20,6% pada 1990 dan 7,5% pada 2006. Artinya, menggunakan garis kemiskinan ini Indonesia telah mencapai sasaran MDGs – meskipun belum ada peningkatan.
Garis kemiskinan tersebut kurang pas diterapkan pada kondisi Indonesia. Karena yang ditunjukkan hanyalah apa yang terjadi pada penduduk termiskin. Hal ini memang penting dan sangat menggembirakan bahwa pemerintah telah mengentaskan kemiskinan ekstrem. Meskipun demikian, bagi Indonesia yang dikategorikan PBB sebagai negara berpenghasilan menengah, garis kemiskinan yang lebih pas mungkin 2 dollar per hari, atau sekitar Rp 195.000 per bulan. Menggunakan ukuran ini, maka hampir separuh penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan.
Ternyata, banyak dari kita masih hidup di sekitar garis kemiskinan. Hanya perlu sedikit menaikkan garis tersebut maka akan banyak orang yang berada di bawahnya dan tergolong miskin. Sebenarnya, hal ini sangat rentan, misalnya ketika kehilangan pekerjaan atau ketika harga hasil panen beranjak turun. Seseorang bisa tiba-tiba berada di bawah garis kemiskinan akibat meningkatnya pengeluaran karena melonjaknya harga bahan pokok, atau transportasi. Kenaikan tajam angka kemiskinan pada 1998, misalnya, terjadi karena dua hal. Pertama, akibat banyak orang kehilangan pekerjaan. Kedua, karena terjadi lonjakan harga beras. Semua itu, menimbulkan “pergerakan”, ada yang jatuh miskin, lainnya terbebas dari kemiskinan. Artinya, meskipun kemiskinan menunjukkan angka yang sama dari tahun ke tahun, angka itu tidak mengacu pada orang-orang yang sama.
Karena yang dibahas disini hanyalah “kemiskinan yang diukur dari penghasilan (income poverty)”, sementara harga-harga bisa berubah secara tiba-tiba. Meskipun miskin, boleh jadi seseorang tidak merasa sedang jatuh atau sebaliknya terbebas dari kemiskinan dari waktu ke waktu. Lebih realistis, seseorang merasa miskin karena banyak alasan selain pendapatan, misalnya rumah yang buruk dan kumuh, kekurangan air bersih, pendidikan atau informasi. Itulah sebabnya kemiskinan kadang-kadang disebut “memiliki banyak dimensi”.
Namun, pemerintah juga perlu memikirkan tentang isu-isu lain ketika membahas pengurangan kemiskinan akibat kurangnya penghasilan. Ketika menginginkan generasi muda berpenghasilan lebih baik, pemerintah harus memberikan mereka pendidikan yang lebih baik. Namun, pemerintah juga bisa langsung berpikir tentang penghasilan masyarakat, dimulai dengan lapangan pekerjaan dan upah. Secara keseluruhan, pemerintah perlu mempertimbangkan dan memastikan tumbuhnya ekonomi yang bermanfaat pada daerah dan penduduk termiskin. Pemerintah harus memberi perhatian lebih pada kawasan perdesaan karena sekitar dua pertiga dari rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian. Contohnya, membantu petani meningkatkan penghasilan dengan cara beralih ke tanaman berharga jual lebih, atau dengan memperbaiki sistem irigasi dan akses jalan.
Saat ini, pekerja sektor informal jumlahnya sangat banyak. Seseorang sering merasa kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, seharusnya pemerintah mempunyai tujuan baru mengenai pekerjaan yang layak dan produktif untuk semua. Tidak semua pekerjaan dapat membawa seseorang keluar dari kemiskinan.Yang dibutuhkan adalah pekerjaan yang layak.
Jenis pekerjaan yang produktif dan memberikan penghasilan yang cukup adalah pekerjaan yang layak. Lebih dari itu, pekerjaan seyogyanya membuat keluarga lebih kuat secara ekonomi, memiliki suasana kerja yang sehat dan memungkinkan seseorang untuk turut serta mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan penghidupannya. Sederhananya, pekerjaan yang layak akan mengeluarkan seseorang dari kemiskinan.
Pemerintah juga harus memikirkan bagaimana cara membantu kaum termiskin dengan memberikan subsidi bidang kesehatan dan pendidikan, atau dalam beberapa kasus, memberikan uang tunai. Skema terakhir pernah dilakukan ketika harga bahan bakar naik dan pemerintah melaksanakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu masyarakat miskin. Saat ini, pemerintah sedang melaksanakan program Keluarga Harapan untuk membantu anggota keluarga miskin membayar pengeluaran terkait pendidikan dan kesehatan. Namun, dalam jangka waktu panjang, solusi terbaik menanggulangi kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi dan pendapatan–terutama bagi kaum miskin.
Sebenarnya, banyak sekali yang bisa pemerintah lakukan untuk memperbaiki berbagai persoalan dengan cepat. Salah satunya ialah terkait dengan makanan. Karena, ada satu ukuran penting MDGs tentang kemiskinan terkait gizi, yaitu apakah masyarakat mengkonsumsi makanan berkecukupan. Jika tidak, mereka tergolong ”kekurangan gizi”. Tidak semua anak Indonesia memperoleh asupan makanan yang layak. Dengan asupan makanan yang tepat dan dalam jumlah mencukupi, anak-anak akan mempunyai berat badan pada kisaran yang sama. Jadi ketika menimbang anak, Anda dapat memeriksa apakah “berat badannya sesuai usia” atau tidak. Jika lebih rendah, berarti mereka “kekurangan gizi”. Memang ada cara lain mengukur kekurangan gizi, tetapi ini merupakan cara paling lazim.
Jika rutin membawa anak ke Posyandu, si anak bisa ditimbang disana. Untuk mendapatkan gambaran nasional, pada Susenas 2006 dilakukan penimbangan sejumlah anak sebagai sampel. Hasilnya mencemaskan, karena lebih dari seperempat anak-anak Indonesia kekurangan gizi. Mencermati situasi tersebut, kenyataannya belum membaik sepanjang beberapa tahun terakhir. Target kedua MDGs adalah mengurangi jumlah anak-anak yang kekurangan gizi hingga separuhnya. Pada 1990, angka kekurangan gizi pada anak-anak sekitar 35,5%, jadi harus ditekan menjadi sekitar 17,8%. Melihat kecenderungan sejak 1990, tampaknya tidak terlalu sulit mencapai target tersebut. Sayangnya, beberapa tahun terakhir sejak 2000, angkanya naik kembali.
Memang terasa aneh. Logikanya, ketika orang memiliki lebih banyak uang, seharusnya mereka memiliki makanan yang cukup – apalagi anak-anak hanya makan dalam porsi yang kecil. Persoalannya, banyak bayi yang tidak mendapatkan makanan tepat dalam jumlah yang cukup. Awalnya, pilihan ideal adalah memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif hingga usia bayi sekitar 6 bulan. Sayangnya, di Indonesia, setelah sekitar empat bulan, jumlah bayi yang memperoleh ASI eksklusif kurang dari seperempatnya. Masih banyak masalah lain, seperti kesehatan ibu. Biasanya, ibu yang kekurangan gizi cenderung melahirkan bayi yang juga kekurangan gizi. Pada dasarnya, persoalannya bukan karena minimnya penghasilan.
Penyebabnya, lebih karena kurangnya perhatian. Mungkin juga terkait kemiskinan. Bisa saja ibu yang miskin kurang memiliki informasi tentang perawatan anak atau hanya memiliki sedikit waktu untuk mengurus bayi. Namun, yang membesarkan hati, dengan sedikit perubahan perilaku di rumah dapat dengan cepat menurunkan angka kekurangan gizi. Bukan hanya pada anak. Salah satu indikator kemiskinan lain dalam MDGs, melihat apakah seluruh penduduk cukup makan. Dengan menggunakan kriteria FAO dalam mengukur kebutuhan konsumsi minimum, maka hanya 6% dari penduduk Indonesia yang konsumsi hariannya kurang dari standar. Di masa lalu, standar yang digunakan untuk mengukur kecukupan konsumsi ini sedikit terlalu tinggi, sehingga terindikasi bahwa hampir 70% penduduk Indonesia tidak mengkonsumsi cukup makanan. Proporsi penduduk tersebut juga relatif tidak berubah sejak 1990.
2. Mewujudkan Pendidikan Dasar Untuk Semua
Tampaknya, di bidang pendidikan, Indonesia lebih berhasil. Tujuan kedua MDGs ini adalah memastikan bahwa semua anak menerima pendidikan dasar. Mencermati angka partisipasi di sekolah dasar tercatat bahwa dengan angka 94,7% Indonesia hampir mewujudkan target memasukkan semua anak ke sekolah dasar. Meski dengan catatan bahwa ini adalah angka nasional dengan perbedaan antar daerah yang masih cukup tinggi, yaitu dari 96.0% untuk Kalimantan Tengah hingga 78,1% untuk Papua. Terlihat pula bahwa angka partisipasi di sekolah lanjutan pertama meningkat secara stabil.
Pemerintah harus berkutat agak lebih lama di sini. Dalam hal angka partisipasi di sekolah pemerintah memang cukup berhasil. Namun, tujuan kedua MDGs ini bukanlah sekadar semua anak bisa sekolah, tetapi memberikan mereka pendidikan dasar yang utuh. Kenyataannya, banyak anak yang tidak bisa bersekolah dengan lancar di sekolah dasar. Ada yang tidak naik kelas atau bahkan terpaksa berhenti. Saat ini misalnya, sekitar 9% anak harus mengulang di kelas 1 sekolah dasar. Sementara pada setiap jenjang kelas, sekitar 5% putus sekolah. Akibatnya, sekitar seperempat anak Indonesia tidak lulus dari sekolah dasar. Pada 2004/2005, hanya 77% bersekolah hingga kelas 6 dan pada akhir tahun tersebut, hanya 75% yang lulus.
Pemerintah dapat melihat bahwa proporsi anak yang lulus sekolah mengalami peningkatan. Namun, akhir-akhir ini, kecenderungan tersebut berubah. Jadi pemerintah hampir mencapai target meskipun masih perlu meningkatkan upaya untuk mencapai 100% pada 2015. Tingkat kelulusan sekolah dasarpun hanyalah langkah pertama. Bahkan anak-anak yang telah lulus bisa saja terhenti pendidikannya.
Ternyata, hanya 67% anak yang mendaftar ke sekolah lanjutan pertama. Ini merupakan tantangan yang besar mengingat pemerintah bertekad mencapai target yang lebih tinggi daripada target global MDGs. Target Indonesia adalah ”wajib belajar 9 tahun”, terdiri dari 6 tahun SD dan 3 tahun SMP, sementara target global MDGs yaitu pendidikan setara 6 tahun. Target waktu pencapaiannya adalah 2008-2009. Ini terbilang ambisius. Target pencapaiannya, membutuhkan loncatan besar. Pemerintah harus lebih giat dalam upaya mempertahankan anak-anak agar tetap bersekolah.
Sebagian karena orang tua memerlukan mereka untuk bekerja. Mungkin di lahan pertanian keluarga. Lainnya, karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Sekitar sepertiga keluarga termiskin mengatakan bahwa mereka memiliki masalah untuk membayar uang sekolah dan biaya lainnya. Orang tua memang harus membayar dalam jumlah yang besar, baik untuk uang sekolah ataupun seragam, untuk transportasi, makanan, buku atau perlengkapan tambahan.
Di samping itu, sekolah juga dapat menimbulkan masalah jika tidak bisa memberikan sesuatu yang bernilai bagi anak-anak. Sekolah, misalnya, bisa saja tidak memiliki buku atau peralatan yang memadai. Sementara, bangunannya tidak layak digunakan. Kurang dari separuh sekolah dasar memiliki apa yang disebut oleh Kementerian Pendidikan Nasional “ruang kelas yang baik.” Faktor lainnya, anak bungsu dalam keluarga mungkin tidak disiapkan bersekolah.
Idealnya semua anak memperoleh pendidikan prasekolah agar terbiasa dengan lingkungan belajar yang baru. Dalam hal ini, pemerintah telah membuat banyak kemajuan. Hampir separuh anak usia prasekolah yang memperoleh pembelajaran dini dan sekitar separuhnya di Tempat Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Sisanya, di taman kanak-kanak, kelompok bermain atau pusat penitipan anak. Semua kegiatan tersebut bisa tetap menstimulasi anak bersekolah dan mengembangkan otak mereka. Hal tersebut mempermudah mereka memulai sekolah dasar. Tentu saja, di semua jenjang sekolah, isu terpenting adalah kualitas pengajaran.
Sebenarnya di jenjang sekolah dasar, gurunya sudah cukup. Banyak SD di mana satu guru hanya untuk 19 murid. Meskipun demikian, mungkin saja mereka tidak berada di tempat yang tepat. Karena, banyak sekolah di daerah terpencil, masih kekurangan guru. Selain itu, para guru juga tidak meluangkan waktu yang cukup di ruang kelas. Jam kerja mereka juga pendek. Karena gaji rendah, mereka biasanya bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pada 2004, sebuah survei di lebih dari 2.000 sekolah menemukan seperlima dari para guru tidak hadir. Artinya, lebih baik memiliki guru dalam jumlah lebih kecil tetapi dibayar lebih baik agar bisa meluangkan lebih banyak waktu di kelas. Hal tersebut semakin penting ketika anak-anak bertambah usia dan melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama. Seperti diuraikan di atas, sekitar sepertiga anak-anak berhenti usai sekolah dasar. Sekali lagi, alasan utamanya mungkin terkait biaya. Mengirimkan anak ke sekolah lanjutan bahkan lebih mahal, apalagi jika mereka diminta bekerja menambah penghasilan keluarga. Seorang anak dari keluarga miskin memiliki kesempatan 20% lebih kecil untuk melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama ketimbang seorang anak dari keluarga tidak miskin. Kenyataannya, terdapat perbedaan besar antar propinsi, terkait partisipasi di pendidikan lanjutan pertama. Di Nanggroe Aceh Darussalam, misalnya, angkanya 78%, sedangkan di Nusa Tenggara Timur hanya 43%.
Pemerintah dapat mengeluarkan anggaran lebih banyak sehingga orang tua murid tidak perlu menanggung biaya sekolah yang terlalu mahal. Sebelumnya, pemerintah kurang menyalurkan dana publik untuk pendidikan. Namun, beberapa tahun terakhir, alokasi untuk pendidikan termasuk untuk gaji guru, meningkat. Saat ini, jumlahnya sekitar 17% dari total pengeluaran pemerintah. Sebagai perbandingan, jumlah tersebut adalah separuh pengeluaran Malaysia. Pemerintah pun bertekad untuk tetap meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan. Sebenarnya, Undang-Undang Dasar dan UU tentang Pendidikan Nasional mensyaratkan belanja negara yang cukup besar. Peraturan tersebut menyebutkan, pada tahun 2009 paling tidak 20% dari anggaran pusat maupun daerah, harus digunakan untuk pendidikan. Dan ini tidak termasuk gaji para guru, yang proporsinya lebih dari separuh anggaran saat ini. Tanpa gaji guru, proporsi tahun 2007 hanyalah sekitar 9%, sehingga untuk mencapai 20% perlu kenaikan yang luar biasa.
Pada tahun 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemerintah wajib memenuhi kewajiban memenuhi 20% alokasi APBN untuk pendidikan. Namun, selain pemerintah pusat, banyak hal tergantung pada pemerintah kabupaten. Saat ini, pemerintah kabupaten bertanggung jawab terhadap sekitar dua per tiga pengeluaran publik untuk pendidikan dan menggunakan hampir seluruhnya untuk gaji guru. Pemerintah pusat masih mengendalikan hampir seluruh dana untuk sekolah dan ruang kelas baru. Selain itu, pemerintah pusat juga memberikan beasiswa untuk membantu murid-murid paling miskin. Menyusul kenaikan harga bahan bakar pada 2005, pemerintah memulai program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). BOS yang diberikan berjumlah 25 dollar per anak/tahun di jenjang sekolah dasar dan 35 dollar per anak/ tahun di sekolah lanjutan pertama (atau setara dengan Rp. 340.000)
Uang tersebut tidak diberikan kepada keluarga murid, tetapi untuk sekolah agar tidak menarik biaya dari para murid. Meskipun terdapat banyak masalah dalam memastikan bahwa dana BOS disalurkan ke sekolah-sekolah yang tepat, program BOS, yang mencakup seperempat dari pengeluaran pendidikan pada 2006, nampaknya dapat membawa perubahan yang berarti dalam hal pendanaan sekolah. Jadi dalam hal ini, tercapai kemajuan yang cukup baik. Selain itu, terkait gender, ada hal positif karena sekarang semakin banyak anak perempuan yang bersekolah. Coba kita telaah tujuan ketiga MDG berikut ini. Terdapat dua indikator yang relevan. Pertama, untuk tingkat partisipasi di sekolah dasar, Indonesia telah mencapai angka 94,7%. Berdasarkan kondisi ini, kita dapat mencapai target 100% pada 2015. Indikator kedua berkaitan dengan kelulusan, yaitu proporsi anak yang memulai kelas 1 dan berhasil mencapai kelas 5 sekolah dasar. Untuk Indonesia, proporsi tahun 2004/2005 adalah 82%.
Namun, sekolah dasar berjenjang hingga kelas enam. Karena itu, untuk Indonesia lebih pas melihat pencapaian hingga kelas enam. Jumlahnya adalah 77% dengan kecenderungan terus meningkat. Artinya, pemerintah bisa mencapai target yang ditetapkan. Data kelulusan yang digunakan dalam artikel ini berasal dari Kementerian Pendidikan Nasional berdasarkan data pendaftaran sekolah. Berbeda dengan Susenas (2004), yang menghitung angka yang jauh lebih besar, yaitu sekitar 95%. Indikator ketiga untuk tujuan ini adalah angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Dalam hal ini, nampaknya kita cukup berhasil dengan pencapaian 99,4%. Meskipun demikian, kualitas melek huruf yang sesungguhnya mungkin tidak setinggi itu karena tes baca tulis yang diterapkan oleh Susenas terbilang sederhana.
Namun, sekolah dasar berjenjang hingga kelas enam. Karena itu, untuk Indonesia lebih pas melihat pencapaian hingga kelas enam. Jumlahnya adalah 77% dengan kecenderungan terus meningkat. Artinya, pemerintah bisa mencapai target yang ditetapkan. Data kelulusan yang digunakan dalam artikel ini berasal dari Kementerian Pendidikan Nasional berdasarkan data pendaftaran sekolah. Berbeda dengan Susenas (2004), yang menghitung angka yang jauh lebih besar, yaitu sekitar 95%. Indikator ketiga untuk tujuan ini adalah angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Dalam hal ini, nampaknya kita cukup berhasil dengan pencapaian 99,4%. Meskipun demikian, kualitas melek huruf yang sesungguhnya mungkin tidak setinggi itu karena tes baca tulis yang diterapkan oleh Susenas terbilang sederhana.
3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
Ada baiknya pemerintah meluruskan satu hal; kesetaraan gender bukan melulu mengenai perempuan, tetapi mengenai perempuan dan laki-laki. Namun, karena target ini menekankan pada pemberdayaan perempuan, kita akan membahas lebih banyak mengenai hal ini dan isu terkait lainnya. Dalam banyak hal, perempuan di Indonesia telah mencapai kemajuan pesat, meskipun, masih cukup jauh dari pencapaian kesetaraan gender. Data tujuan ketiga MDGs menunjukkan hal tersebut dengan cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target. Pertama, menyangkut pendidikan. Untuk hal ini, nampaknya pemerintah cukup berhasil. Namun, terkait target kedua dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan keterwakilan dalam parlemen, kesempatan yang dimiliki perempuan Indonesia masih kurang.
Saat ini, semakin banyak anak perempuan yang bersekolah. Bahkan terjadi kemajuan yang cukup mengejutkan, yang menunjukkan rasio antara anak laki-laki dan perempuan di berbagai jenjang pendidikan. Pada sekolah dasar jumlah antara anak perempuan dan laki-laki terbilang seimbang, di mana rasio yang ditunjukkannya mendekati 100% sejak 1992. Sekarang di jenjang sekolah lanjutan pertama, garisnya berada diatas 100%, artinya terdapat lebih banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.
Meskipun ada penurunan pada tahun lalu, anak perempuan sepertinya berada di depan pada sekolah lanjutan pertama. Ini mungkin karena kakak laki-laki mereka meninggalkan sekolah untuk bekerja. Biasanya terdapat lebih banyak kesempatan kerja bagi anak laki-laki daripada untuk anak perempuan. Namun, di sekolah menengah atas, situasinya kembali lebih seimbang. Cara lain mengukur kemajuan adalah dengan melihat berapa banyak anak putus sekolah. Kenyataannya, di sekolah dasar, jumlah anak putus sekolah antara anak laki-laki dan perempuan sama. Namun, di sekolah lanjutan, terlihat bahwa lebih sedikit anak perempuan yang putus sekolah. Hal tersebut, lagi-lagi mungkin karena anak laki-laki memiliki lebih banyak kesempatan kerja. Menariknya, baik keluarga miskin maupun kaya, sama giatnya menyekolahkan anak perempuan mereka ke sekolah dasar.
Dalam hal ini, tampaknya tidak banyak perbedaan. Ketika anak tumbuh dewasa, keluarga miskin memiliki kesempatan lebih kecil untuk memasukkan anak mereka ke sekolah lanjutan, baik anak perempuan maupun laki-laki. Namun yang paling mengesankan, adalah apa yang terjadi di perguruan tinggi. Sepanjang sepuluh tahun terakhir, jumlah perempuan dengan cepat mengejar jumlah laki-laki dan sekarang berada di depan. Sekitar 15% remaja yang beranjak dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, mendapatkan pendidikan tinggi. Kemajuan yang dicapai anak perempuan juga terlihat dalam hal tingkat melek huruf. Tahun 2006 tingkat melek huruf adalah 91,5% untuk lakilaki, namun hanya 88,4% untuk perempuan. Ini karena di masa lalu lebih sedikit anak perempuan yang bersekolah. Sekarang situasi sudah semakin setara. Untuk mereka yang berusia 15 hingga 24 tahun, tingkat melek huruf baik untuk laki-laki dan perempuan hampir mendekati 100%.
Terkait kesempatan untuk masuk sekolah atau perguruan tinggi, ini terkesan benar. Namun, ketika anak perempuan bersekolah, banyak ketimpangan atau ketidaksetaraan yang harus dihadapi. Panutan pertama mereka adalah para guru. Di sekolah dasar, terdapat lebih banyak guru perempuan dibandingkan laki-laki. Namun, siapa yang memimpin? Jumlah laki-laki yang menjadi kepala sekolah, misalnya, empat kali lipat dibandingkan dengan perempuan. Anak perempuan juga akan melihat ketimpangan ketika mereka membuka buku teks. Sebuah buku teks utama sekolah dasar tentang kewiraan, misalnya, membahas tanggung jawab dalam keluarga. Buku tersebut menjelaskan bahwa aktivitas utama ayah adalah mencari nafkah sementara ibu bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga. Dan ilustrasi tentang tanggung jawab anak-anak dengan gambar anak perempuan yang sedang mencuci dan menyeterika.
Kesenjangan lainnya, anak perempuan sepertinya juga memilih bidang yang berbeda dari anak laki-laki. Hal ini tampak jelas pada murid yang mengambil sekolah kejuruan. Dari semua anak tersebut, anak perempuan jarang memilih sains (science) dan teknologi. Banyak yang memilih sekolah pariwisata. Namun, situasinya lebih seimbang bagi mereka yang mengambil sekolah lanjutan umum. Terdapat jumlah yang sama antara anak laki-laki dan perempuan yang mempelajari sains. Selain melihat bidang studi yang diambil, juga dapat ditelaah apa yang terjadi ketika anak perempuan putus sekolah untuk bekerja–dengan melihat berapa banyak yang bekerja di luar rumah atau di luar lahan pertanian. Target Pembangunan Milenium melihat hal ini dengan membandingkan jumlah laki-laki dan perempuan yang bekerja di “pekerjaan upahan non-pertanian”. Jika laki-laki dan perempuan dipekerjakan secara setara di jenis pekerjaan tersebut, perbandingannya haruslah 50%. Namun, kenyataannya dapat dilihat bahwa angka untuk perempuan hanyalah sekitar 33,5%.
Pada tahun 1998, saat itu adalah puncak krisis ekonomi, ketika mungkin lebih banyak laki-laki yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan dibandingkan perempuan. Setelah itu, situasi perempuan terus memburuk, dan hanya sedikit berubah selama beberapa tahun terakhir. Informasi lebih lanjut diperoleh dari berbagai survei tentang proporsi penduduk dewasa dalam angkatan kerja. Misalnya, pada tahun 2004, proporsi laki-laki adalah 86% namun perempuan hanya 49% 11. Selain kurang mendapatkan lapangan pekerjaan, perempuan juga cenderung mendapatkan pekerjaan tidak sebaik laki-laki. Di pabrik-pabrik industri tekstil, pakaian dan alas kaki, misalnya, banyak perempuan muda yang bekerja dengan upah rendah – seringkali dengan penyelia laki-laki. Demikian pula halnya di pemerintahan. Perempuan hanya menduduki 9,6% jabatan tinggi dalam birokrasi pemerintahan. Perempuan juga kurang terwakili di bidang politik.
Ibu Megawati Soekarnoputri pernah menjadi Presiden RI, hal itu menunjukkan Indonesia lebih maju dibandingkan banyak negara lain. Namun, dalam jenjang jabatan politik di bawahnya, perempuan kurang terlihat. Hanya sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen. Demikian juga yang menjadi bupati atau gubernur. Indikator MDG untuk ini adalah proporsi perempuan yang menjadi anggota DPR. Angka rata-rata dunia untuk hal ini cukup rendah, yaitu sekitar 15%. Proporsi Indonesia bahkan lebih rendah, yaitu 13% (1992), 9% (2003), dan 11,3% (2005).
Undang-Undang tahun 2003 tentang Pemilihan Umum mewajibkan Partai Politik untuk sedikitnya memiliki 30% calon perempuan. Tidak semua partai politik bisa mewujudkan hal tersebut. Bahkan umumnya menaruh perempuan di urutan terbawah dalam daftar calon legislatif (caleg), posisi di mana caleg tidak akan terpilih. Meskipun demikian, kewajiban tersebut ada dampaknya. Yang menarik, dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di mana para calon tidak mewakili partai politik, perempuan menduduki sepertiga dari kursi yang ada–dan lebih dari 30% perempuan yang mencalonkan diri, terpilih dalam pemilihan anggota DPD. Tampaknya, pemilih cukup mendukung terpilihnya perempuan. Masalahnya, bagaimana agar bisa menjadi calon salah satu partai politik besar. Perempuan juga kurang terwakili di tingkat daerah, terutama karena harus memikul tanggung jawab rumah tangga. Karena itu, terkait kesetaraan gender, secara menyeluruh kita telah cukup berhasil dalam pendidikan tetapi anak perempuan dan perempuan masih banyak menghadapi hambatan budaya dan ekonomi.
4. Menurunkan Angka Kematian Anak
Umumnya, semua orang ingin menikmati usia panjang dan hidup sehat. Kenyataannya, orang sekarang memang hidup lebih lama. Antara 1970 dan 2005, usia harapan hidup di negeri ini rata-rata meningkat sekitar 15 tahun. Anak-anak yang lahir di Indonesia saat ini dapat mengharapkan hidup hingga usia 68 tahun. Seseorang dapat memilih usia harapan hidup sebagai satu indikator kesehatan. Namun, ada satu ukuran lainnya yang sangat penting, yaitu jumlah anak-anak yang meninggal. Anak-anak, terutama bayi, lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Itulah sebabnya tujuan keempat MDGs adalah mengurangi jumlah kematian anak.
Bayi adalah anak berusia di bawah satu tahun. Ketika melihat pada angka kematian anak, pemerintah biasanya merujuk pada anak di bawah usia lima tahun (balita). Ini merupakan pembedaan yang bermanfaat, yang menunjukkan proporsi anak yang meninggal, baik ketika masih bayi ataupun sebelum mencapai usia lima tahun. Jelas bahwa pemerintah mencapai kemajuan karena proporsi balita yang meninggal kurang dari separuh angka tahun 1990. Pada 2007, angkanya sekitar 44 per 1.000 kelahiran hidup. MDGs menargetkan pengurangan angka tahun 1990 menjadi duapertiganya. Artinya, harus menurunkan dari 97 kematian menjadi 32.
Namun, pemerintah juga harus melihat pada angka kematian bayi. Laju kematian bayi juga menurun, namun lebih lambat dibandingkan penurunan kematian balita. Dengan demikian proporsi kematian yang lebih besar terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan. Pada tahun 1990, 70% kematian terjadi pada bayi, namun pada 2005 proporsinya meningkat hingga 77%.
Salah satu yang paling penting adalah berkurangnya tingkat kemiskinan. Artinya, anak-anak tumbuh berkembang di lingkungan yang lebih sejahtera dan sehat. Semakin sejahtera seseorang, semakin mungkin anak-anak bertahan hidup. Karena itu, tidak mengejutkan bahwa angka kematian juga lebih tinggi di propinsi-propinsi termiskin.
Ada satu pengaruh besar lain yaitu layanan kesehatan, khususnya program imunisasi. Saat ini pemerintah memang memberikan imunisasi untuk hampir semua anak-anak di republik ini. Namun, belum untuk semuanya. Pada 2007, anak-anak yang menerima imunisasi difteri, batuk rejan dan tipus adalah 84.4% 12, meskipun hanya separuh dari mereka yang menerima imunisasi lengkap. Selain itu 82% anak-anak menerima imunisasi Tubercolosis (TBC), dan 80% imunisasi hepatitis. Namun, ini harus menjadi satu proses berkesinambungan. Hal yang mencemaskan adalah turunnya angka imunisasi terhadap polio dan campak Jerman (rubella), yaitu dari sekitar 74% beberapa tahun lalu menjadi 70%. Campak juga menjadi kekhawatiran karena angka imunisasi hanya 72% untuk bayi dan 82% untuk anak hingga 23 bulan, sementara target pemerintah adalah 90%. Diperkirakan 30.000 anak meninggal setiap tahun karena komplikasi campak13 dan baru-baru ini ada beberapa KLB (kejadian luar biasa) polio dimana 303 anak menjadi lumpuh.
Imunisasi tidak hanya tergantung pada para orang tua untuk memastikan bahwa anak-anak mereka memperoleh vaksinasi, tapi diperlukan sistem kesehatan yang terkelola dengan baik. Telah banyak yang dibelanjakan untuk kesehatan, namun diperlukan lebih banyak anggaran karena saat ini belanja negara untuk kesehatan hanya sekitar 5% dari APBN. Penduduk miskin, khususnya yang tergantung pada layanan publik, akan menderita jika investasi untuk puskesmas berikut staf kurang memadai. Sebuah survei, misalnya, menemukan bahwa tingkat ketidakhadiran staf puskesmas mencapai 40%. Seringkali, karena mereka sedang berada di tempat praktek pribadi. Kini, cukup tinggi ketergantungan pada pemerintah kapubaten yang mengalokasikan 4-11% anggaran untuk kesehatan. Sekitar 80% dari anggaran tersebut digunakan untuk membayar gaji pekerja medis. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bahwa proporsi gaji seharusnya hanya 15%.
Dana memang membantu. Bukan hanya untuk upaya penyembuhan, tetapi juga pencegahan penyakit. Kematian anak bukan terjadi hanya pada tahun pertama, tetapi juga cukup banyak terjadi pada minggu atau bahkan hari-hari pertama kehidupan mereka. Artinya, seseorang harus memperbaiki kualitas layanan kesehatan ibu dan anak, khususnya sepanjang kehamilan dan segera setelah persalinan. Jika mereka bertahan hidup selama masa tersebut, resiko terbesar yang mereka hadapi adalah infeksi saluran pernafasan akut dan diare. Keduanya dapat disembuhkan jika penanganan dini dilakukan. Secara keseluruhan, kesehatan anak sangat terkait dengan kesehatan ibu mereka. Ini membawa pemerintah ke tujuan MDGs selanjutnya.
5. Meningkatkan Kesehatan Ibu
Setiap tahun sekitar 20.000 perempuan di Indonesia meninggal akibat komplikasi dalam persalinan. Melahirkan seyogyanya menjadi peristiwa bahagia tetapi seringkali berubah menjadi tragedi. Sebenarnya, hampir semua kematian tersebut dapat dicegah. Karena itu tujuan kelima MDGs difokuskan pada kesehatan ibu, untuk mengurangi “kematian ibu”. Meski semua sepakat bahwa angka kematian ibu terlalu tinggi, seringkali muncul keraguan tentang angka yang tepat.
Pemerintah, misalnya, tidak mungkin hanya mengacu pada informasi dalam laporan kematian yang bisa saja disebabkan oleh berbagai alasan, terkait ataupun tidak terkait dengan persalinan. Metode yang biasa digunakan adalah dengan bertanya pada para perempuan apakah ada saudara perempuan mereka yang meninggal sewaktu persalinan. Perkiraannya, menunjukkan bahwa “tingkat kematian ibu” telah turun dari 390 menjadi sekitar 307 per 100.000 kelahiran. Artinya, seorang perempuan yang memutuskan untuk mempunyai empat anak memiliki kemungkinan meninggal akibat kehamilannya sebesar 1,2%. Angka tersebut bisa jauh lebih tinggi, terutama di daerah-daerah yang lebih miskin dan terpencil. Satu survei di Ciamis, Jawa Barat, misalnya, menunjukkan bahwa rasio tersebut adalah 56117. Target MDGs adalah untuk menurunkan rasio hingga tiga perempatnya dari angka tahun 1990. Dengan asumsi bahwa rasio saat itu adalah sekitar 450, target MDGs adalah sekitar 110.
Biasanya, mereka meninggal akibat kondisi darurat. Sebagian besar kelahiran berlangsung normal, namun bisa saja tidak, seperti akibat pendarahan dan kelahiran yang sulit. Masalahnya, persalinan merupakan peristiwa (kesehatan) besar, sehingga komplikasinya dapat menimbulkan konsekuensi sangat serius. Sejumlah komplikasi sewaktu melahirkan bisa dicegah, misalnya komplikasi akibat aborsi yang tidak aman. Komplikasi seperti ini menyumbang 6% dari angka kematian. Sebagian besar sebenarnya bisa dicegah kalau saja perempuan memiliki akses terhadap kontrasepsi yang efektif. Saat ini hanya sekitar separuh perempuan usia 15 hingga 24 yang menggunakan metode kontrasepsi modern. Metode yang paling umum dipakai adalah suntik, diikuti oleh pil. Proporsi perempuan (usia 15-49) yang menggunakan alat kontrasepsi mengalami peningkatan dan prosentasenya pada tahun 2006 adalah 61% (SDKI, 2007). Berbagai potensi masalah lainnya bisa dicegah apabila para ibu memperoleh perawatan yang tepat sewaktu persalinan.
Sekitar 60% persalinan di Indonesia berlangsung di rumah. Dalam kasus seperti ini, para ibu memerlukan bantuan seorang ”tenaga persalinan terlatih”. Untungnya banyak perempuan yang mendapatkan bantuan tersebut. Seperti pada 2007 proporsi persalinan yang dibantu oleh tenaga persalinan terlatih, baik staf rumah sakit, pusat kesehatan ataupun bidan desa, telah mencapai 73%. Sekali lagi angka ini sangat bervariasi di seluruh Indonesia, mulai dari 39% di Gorontalo hingga 98% di Jakarta.
Pemerintah pusat telah melatih banyak bidan, dan mengirim mereka ke seluruh penjuru Indonesia. Namun, sepertinya, pemerintah daerah tidak menganggap hal tersebut sebagai prioritas, dan tidak memperkerjakan para bidan setelah berakhirnya kontrak mereka dengan Kementrian Kesehatan. Selain itu, ada masalah terkait kualitas. Para bidan desa mungkin tidak mendapatkan pelatihan yang cukup atau mungkin kekurangan peralatan. Jika mereka bekerja di komunitas-komunitas kecil, mereka mungkin tidak menghadapi banyak persalinan, sehingga tidak mendapat pengalaman yang cukup. Namun salah satu dari masalah utamanya adalah jika disuruh memilih, banyak keluarga yang memilih tenaga persalinan tradisional.
Salah satu alasan memilih tenaga tradisional, biasanya lebih murah dan dapat dibayar dengan beras atau barang-barang lain. Keluarga juga lebih nyaman dengan seseorang yang mereka kenal dan percaya. Mereka yakin bahwa tenaga persalinan tradisional akan lebih mudah ditemukan dan beranggapan bahwa mereka bisa lebih memberikan perawatan pribadi. Dalam kasus-kasus persalinan normal, ini mungkin benar. Namun, jika ada komplikasi, tenaga persalinan tradisional mungkin tidak akan dapat mengatasi dan mungkin akan segan untuk meminta bantuan bidan desa. Hal ini dapat mengakibatkan penundaan yang membahayakan jiwa karena tidak secepatnya memperoleh perawatan kebidanan darurat di pusat kesehatan atau rumah sakit. Keterlambatan dapat juga terjadi karena kesulitan dan biaya transportasi, khususnya di daerah-daerah yang lebih terpencil.
Kenyataannya, perempuan manapun dapat mengalami komplikasi kehamilan, kaya maupun miskin, di perkotaan atau di perdesaan, tidak peduli apakah sehat atau cukup gizi. Ini artinya pemerintah harus memperlakukan setiap persalinan sebagai satu potensi keadaan darurat yang mungkin memerlukan perhatian di sebuah pusat kesehatan atau rumah sakit, untuk penanganan cepat. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa sekitar separuh dari kematian ibu dapat dicegah oleh bidan terampil, sementara separuhnya lainnya tidak dapat diselamatkan akibat tidak adanya perawatan yang tepat dengan fasilitas medis memadai.
Tidak semua kelahiran adalah darurat, namun berpotensi menjadi keadaan darurat. Ini artinya akan baik kalau ada seseorang yang mengamati dan dapat mengenali adanya tanda-tanda bahaya. Jika ada bidan desa pada saat persalinan atau sang ibu melahirkan di sebuah pusat kesehatan atau rumah sakit, semestinya perawat, bidan atau dokter dapat melakukan tindakan yang diperlukan. Sayangnya, ketika sang ibu sampai di rumah sakit, belum tentu ia akan mendapatkan bantuan yang diperlukan karena banyak rumah sakit kabupaten kekurangan staf dan tidak memiliki layanan 24 jam. Jika kita hendak mewujudkan tujuan yang berkaitan dengan angka kematian ibu, perlu memperbaiki perawatan di pusat-pusat kesehatan. Lebih dari itu, kita juga perlu memikirkan tentang apa yang terjadi sebelum dan selama kehamilan. Bahkan jika kita tidak dapat meramalkan keadaan darurat, kita bisa mencoba untuk memastikan bahwa para ibu berada dalam kondisi terbaik dan tetap bertahan, dengan gizi yang cukup. Saat ini, sekitar seperlima perempuan hamil kekurangan gizi dan separuhnya menderita anemia.
Anemia adalah rendahnya kadar zat besi dalam darah. Ini dapat terjadi selama kehamilan ketika tubuh ibu memerlukan lebih banyak zat besi. Anemia membuat perempuan jauh lebih rentan untuk sakit dan meninggal. Namun demikian, mereka dapat mengganti kekurangan zat besi tersebut jika mereka mendatangi klinik pra persalinan dimana mereka menerima suplemen zat besi. Perempuan yang secara rutin mendatangi klinik pra persalinan biasanya mengetahui apa yang harus mereka lakukan apabila terjadi keadaan darurat. Selain melindungi kesehatan ibu, perawatan pra dan pasca persalinan juga memberi manfaat pada anak-anak serta dapat menyelamatkan nyawa mereka. Pemerintah mungkin masih ingat dalam tujuan MDGs sebelumnya bahwa saat ini kebanyakan anak meninggal segera setelah kelahiran.
Ini adalah salah satu contoh tentang keterkaitan antara semua tujuan-tujuan MDGs. Bila terjadi kemajuan di satu tujuan, sangat mungkin untuk mencapai tujuan lain. Perlu diketahui bahwa perempuan juga punya kecenderungan anemia jika mereka terkena malaria, yang membawa pemerintah ke tujuan berikutnya.
6. Memerangi HIV dan AIDS, Malaria serta Penyakit Lainnya
Tujuan keenam dalam MDGs menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya. Pada urutan teratas adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu virus penyebab Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)–terutama karena penyakit ini dapat membawa dampak yang menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara keseluruhan. Indonesia beruntung bahwa HIV belum mencapai kondisi seperti yang terjadi di Afrika dan beberapa negara Asia Tenggara. Jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar adalah laki-laki19. Jumlah itu merupakan 0,1% dari jumlah penduduk. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), sejak 1987 sampai Juni 2008, tercatat 12.686 kasus AIDS – 2.479 diantaranya telah meninggal.
HIV masih menjadi ancaman utama, seperti yang dapat kita amati terjadi di tempat lain. Di negara-negara lain, penularan awalnya menyebar dengan cepat di antara dua kelompok beresiko tinggi, yaitu para pengguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya (napza) suntik (penasun) dan pekerja seks. Dari sana HIV menyebar ke penduduk lainnya sehingga menyebabkan ”epidemi yang menyebar ke populasi umum (generalised epidemy)”. Di Indonesia, penularan memang masih terkonsentasi pada dua kelompok tersebut, namun di beberapa wilayah sudah terlihat kecenderungan bahwa epidemi ini akan menyebar ke populasi umum, yaitu penyebaran dari pengguna napza suntik ke pasangan seksnya. Bahkan di Papua-dianggap sudah memasuki kondisi generalised epidemic. Epidemi yang lebih luas lagi sebenarnya sangatlah mungkin untuk dicegah, karena penularan HIV tidaklah semudah penularan virus lain, misalnya influenza.
HIV tidak menyebar melalui sentuhan. Seseorang tidak akan positif tertular HIV hanya dengan hidup bersama atau bekerja bersama seseorang yang hidup dengan HIV. Virus HIV tidak menular melalui sentuhan, bahkan ciuman dengan orang yang tertular HIV. Dalam kenyataannya, stigma tentang HIV muncul karena orang tidak memahami bagaimana cara penularannya dari satu orang ke orang lain.
Resiko terbesar adalah melalui kontak langsung dengan darah yang tertular atau melalui hubungan seks tanpa pelindung. Para pengguna narkoba beresiko tinggi karena mereka sering tukar menukar jarum, sehingga memungkinkan penularan dari sisa darah pada alat suntik yang baru digunakan dari satu orang ke orang lain. Di Indonesia terdapat sekitar setengah juta penasun dan sekitar setengah dari mereka diperkirakan telah tertular. Kelompok utama beresiko tinggi lainnya adalah pekerja seks (PS–dulu: Pekerja Seks Komersial, PSK). Di Indonesia terdapat sekitar 200.000 PSK perempuan. Di Jakarta, misalnya, sekitar 6% dari para pekerja tersebut diperkirakan telah tertular. Hal ini berarti para pengguna jasa PSK pun termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi. Laki-laki yang berhubungan seks secara tidak aman dengan laki-laki juga beresiko tinggi. Selain itu, para ibu hamil yang terinfeksi HIV juga dapat menularkannya ke anak yang baru mereka lahirkan, melalui pemberian air susu ibu (ASI) kepada bayinya. Walaupun di kebanyakan wilayah Indonesia HIV belum menyebar ke populasi umum, namun tanpa penanganan yang tepat ia dapat menyebar dengan sangat cepat. Memang, dalam beberapa hal Indonesia sangat rentan terhadap epidemi yang meluas.
Salah satu masalah paling penting adalah rendahnya penggunaan kondom. Hanya sekitar 1,3% pasangan yang menggunakan kondom sebagai alat keluarga berencana. Bahkan, di antara para PSK, hanya sekitar setengah dari mereka yang menggunakan kondom. Oleh sebab itu, HIV berpotensi menyebar dengan cepat–dari para pengguna narkoba suntik dan para PSK, kepada para pelanggan pekerja seks dan kemudian kepada penduduk. Ini dapat terjadi dengan cukup cepat. Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) telah menunjukkan betapa cepatnya virus tersebut menyebar. Di Papua saat ini sudah terjadi epidemi yang menyebar ke masyarakat luas, di mana 2,5% penduduk di dua propinsi Papua hidup dengan HIV. Di Tanah Papua hanya sedikit orang yang menggunakan napza jarum suntik, namun lebih banyak orang yang menggunakan jasa PSK dan juga pada tingkat hubungan seks pranikah yang lebih tinggi. Seperti yang terjadi di Papua, ini menggambarkan Indonesia menghadapi resiko penyebaran HIV yang lebih cepat melalui penularan seksual. Menurut Kementrian Kesehatan, pada tahun 2010 jumlah penduduk yang tertular HIV diperkirakan mencapai setengah juta orang, bahkan satu juta, bila tidak ada tindakan efektif.
Prioritas pertama, masyarakat harus mengetahui semua fakta. Kebanyakan orang sadar tentang penyakit tersebut tetapi memiliki pandangan yang keliru. Banyak PSK, misalnya, mengaku bisa mengetahui pelanggannya tertular atau tidak hanya dengan melihat pelanggan tersebut. Padahal faktanya adalah tidak dapat mengetahui seseorang terinfeksi HIV secara fisik jika memang belum muncul gejala penyakit ketika sistem kekebalan tubuh mereka sudah menurun (tahapan AIDS). Masyarakat juga perlu mengetahui bagaimana penularan terjadi serta cara melindungi diri sendiri. Sebuah survei terhadap para remaja yang beranjak dewasa yang dilakukan selama 2002-2003, misalnya, menunjukkan bahwa 40% tidak mengetahui bagaimana menghindari infeksi HIV. Selain itu, kesadaran saja tidak cukup. Seseorang yang telah memiliki informasi dasar (sekitar 66%; 61% wanita dan 71% pria—dari mereka dalam usia reproduktif, SDKI 2007) mungkin tidak akan mengubah perilaku mereka. Banyak orang mungkin terlalu malu untuk membeli atau membawa-bawa kondom. Atau, lebih memilih berhubungan seks tanpa kondom karena alasan tidak nyaman. Masih cukup banyak laki-laki yang telah berhubungan seks dengan PSK tanpa kondom, kemudian dengan tanpa rasa bersalah ataupun khawatir, melakukan hubungan seks, juga tanpa kondom, dengan istrinya di rumah.
Boleh jadi tanpa sepengetahuannya. Hanya sekitar satu dari dua puluh orang yang tertular HIV telah melakukan tes. Oleh sebab itu, menjadi penting bahwa siapa pun seharusnya berkesempatan menjalani tes serta memperoleh konseling yang tepat. Jika seseorang mengetahui bahwa mereka positif terinfeksi HIV, mereka harus mengurangi kemungkinan menularkannya kepada pasangan. Dan meskipun belum dapat disembuhkan, saat ini ada obat-obatan yang disebut antiretroviral yang dapat membantu mengendalikan laju penyakit tersebut. Seyogyanya antiretroviral gratis, namun dalam prakteknya ada biaya pendaftaran dan biaya-biaya lain, dan saat ini antiretroviral hanya tersedia di rumah sakit kota besar. Namun, alasan lain mengapa orang enggan untuk menjalani tes atau pengobatan adalah karena stigma yang melekat pada HIV dan AIDS. Ini terutama karena kekurangtahuan. Bahkan sebagian dokter dan perawat, kelihatannya, tidak mengetahui fakta-fakta dasar HIV dan AIDS serta enggan untuk merawat orang yang terkena HIV. Jika pemerintah ingin mencegah meluasnya epidemi, perlu membahas penyakit tersebut secara terbuka dan jujur serta mengambil langkah-langkah praktis, meskipun kelihatannya akan banyak ditentang.
Banyak yang berpendapat, perlu membagikan kondom gratis di kawasan pekerja seks atau jarum suntik gratis kepada para pengguna narkoba. Sementara yang lain menentang hal ini karena seakan membiarkan atau mendorong perilaku tak bermoral atau berbahaya. Namun, HIV dan AIDS menghadapkan pemerintah pada pilihan keras dan sulit. Selain kelompok beresiko tinggi, pemerintah juga harus beranggapan bahwa pada akhirnya semua orang beresiko dan berarti pendekatan yang digunakan pun akan berbeda. Memang komunikasi perlu ditingkatkan antara yang mendukung dan menolak pendekatan penurunan dampak buruk, bahwa mereka memiliki kelompok sasaran masing-masing, tanpa menghujat atau merendahkan kelompok lain. Jadi setiap orang perlu untuk mengambil langkah perlindungan yang diperlukan. Beruntung bahwa pemerintah sekarang memiliki Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang aktif sehingga dapat membantu pemerintah mewujudkan tujuan ini.
Target MDGs untuk HIV dan AIDS adalah menghentikan laju penyebaran serta membalikkan kecenderungannya pada 2015. Saat ini, kita belum dapat mengatakan telah melakukan dua hal tersebut karena di hampir semua daerah di Indonesia keadaannya tidak terkendalikan. Pemerintah bisa saja mencapai target ini, namun untuk itu diperlukan satu upaya besar-besaran dan terkoordinasi dengan baik di tingkat nasional. Masalah utama pemerintah saat ini adalah rendahnya kesadaran tentang isu-isu HIV dan AIDS serta terbatasnya layanan untuk menjalankan tes dan pengobatan. Selain itu, kurangnya pengalaman pemerintah untuk menanganinya dan anggapan bahwa ini hanyalah masalah kelompok resiko tinggi ataupun mereka yang sudah tertular. Stigma yang masih kuat menganggap bahwa HIV hanya akan menular pada orang-orang tidak bermoral. Menjadi sebuah tantangan untuk mengajak semua pihak merasakan ini sebagai masalah yang perlu dihadapi bersama. Kondisi ini dapat terlihat secara jelas jika dibandingkan dengan respon terhadap penyakitpenyakit lain seperti malaria dan Tuberculosis (TBC), dimana lebih mudah melibatkan masyarakat karena tidak ada stigma dan diskriminasi terhadap penyakit-penyakit tersebut.
Dibandingkan HIV dan AIDS,TBC sudah ada lebih lama, dan saat ini, berdampak pada lebih banyak orang yaitu sekitar 582.000. Angka penduduk yang “BTA (Batang Tahan Asam) positif” TBC diukur per 100.000 orang. Angka ini bervariasi, mulai dari 64 di Jawa dan Bali, hingga 160 di Sumatera dan 210 di propinsi-propinsi bagian Timur. Setiap tahun sekitar 100.000 orang meninggal karena TBC, yang merupakan penyebab kematian ketiga terbesar. TBC, yang utamanya menggerogoti paru-paru, sangat menular. Setiap tahun satu orang dapat menulari sekitar 10-15 orang dengan melepas bakteri TBC ke udara yang dapat dihirup oleh orang lain.
Memang demikian, tetapi tidak seburuk itu. Pertama, karena kebanyakan orang yang terinfeksi tidak segera menunjukkan gejala-gejala aktif. Yang paling mungkin menderita adalah mereka yang sistem kekebalannya melemah, jadi ada keterkaitan yang kuat antara virus HIV yang dampak utamanya adalah melemahkan sistem kekebalan. Kedua, TBC dapat disembuhkan. Strategi standar penyembuhan TBC adalah apa yang disebut strategi penyembuhan jangka pendek dengan pengawasan langsung (Directly-Observed Treatment Short-course/DOTS). Penyembuhan ini mencakup pemberian tiga atau empat obat dosis tinggi selama enam bulan. Indonesia telah menggunakan DOTS sejak 1995. Saat ini pemerintah mendeteksi lebih dari tiga perempat kasus, di mana tingkat penyembuhan sekitar 91%.
Seringkali karena orang berhenti meminum obat ketika mereka merasa lebih sehat. Namun ini tidak berarti bahwa mereka sudah sembuh. Untuk sembuh total, mereka harus menjalani proses penuh. Berhenti meminum obat tidak baik untuk mereka dan untuk orang lain, karena hal itu akan mendorong timbulnya turunan (strain) TBC yang kebal terhadap obat-obatan yang ada saat ini. Ini adalah kasus di mana pengobatan yang tidak tuntas lebih buruk daripada tidak diobati. Namun kebanyakan orang, yaitu 91%, betul-betul sembuh dan berkat DOTS pemerintah telah memenuhi target MDGs untuk membalikkan kecenderungan penyebaran penyakit tersebut. Di Jawa dan Bali, misalnya, sejak 1990 prevalensi penyakit TBC telah berkurang setengahnya, meskipun di tempat lain penurunan tersebut terjadi lebih lambat.
TBC masih merupakan masalah sangat besar. Lebih dari setengah juta penduduk masih terinfeksi setiap tahun. Tantangan utamanya adalah memperluas program DOTS - yang saat ini lebih banyak dikonsentrasikan di pusat-pusat kesehatan—dengan melibatkan lebih banyak komunitas, LSM dan pihak lain. Juga penting untuk memastikan bahwa kita tetap menyimpan pasokan obat-obatan yang diperlukan dan bahwa pasien terus menjalani proses penyembuhan secara penuh. Secara khusus, kita harus lebih banyak menjangkau daerah-daerah terpencil. Pelayanan di daerah-daerah terpencil sulit untuk hampir semua penyakit, bukan hanya TBC tetapi juga malaria.
Malaria memang menurunkan kesehatan, khususnya anak-anak dan ibu-ibu hamil. Malaria membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit lain, dan memiliki dampak ekonomi yang sangat besar. Malaria dapat membuat orang tidak bisa bekerja—yang diperkirakan menimbulkan kerugian sekitar 60 juta dollar karena hilangnya pendapatan. Hampir separuh dari penduduk Indonesia, atau sekitar 90 juta orang, tinggal di daerah-daerah dengan nyamuk pembawa malaria. Dan setiap tahun, ditemukan 18 juta kasus malaria (Kemenkes, 2005).
Pemerintah tidak punya informasi yang cukup untuk bisa memberikan gambaran yang lengkap. Kebanyakan orang yang menderita malaria tidak melaporkannya. Hanya sekitar 20% orang yang mencari pengobatan, dan survei terperinci hanya di daerah-daerah yang paling parah terkena dampak, biasanya di berbagai kabupaten kawasan Timur. Di Jawa dan Bali, prevalensi malaria sudah turun mencapai tingkat yang cukup rendah. Sebaliknya, di kabupaten-kabupaten Indonesia bagian Timur serta sejumlah tempat lain terjadi peningkatan jumlah kasus malaria. Namun demikian ini mungkin saja terjadi karena adanya survei-survei yang lebih baik. Secara menyeluruh, di Indonesia, pemerintah dapat mengatakan bahwa kita sudah membalikkan kecenderungannya, jadi pemerintah tepat sasaran untuk mencapai tujuan MDGs.
Di kabupaten-kabupaten di Indonesia bagian Timur, yang menjadi tugas utama adalah mencegah infeksi, dimulai dengan nyamuk Anopheles yang membawa parasit. Pertama, pemerintah harus mengurangi jumlah tempat-tempat di mana nyamuk dapat berkembang biak—biasanya di sungai-sungai dan anak-anak sungai yang tidak beriak selama musim kemarau atau di cekungan-cekungan air hujan di hutan-hutan selama musim hujan. Kemudian, seseorang perlu melindungi diri sendiri dari nyamuk dengan menyemprot rumah dengan insektisida atau dengan menggunakan kelambu yang sudah dicelup insektisida, khususnya untuk anak-anak.
Sebagian dana berasal dari anggaran kesehatan, ditambah dukungan dari Dana Global (Global Fund) untuk AIDS, TBC dan Malaria. Namun, kebanyakan orang harus membayar untuk melindungi diri mereka sendiri. Seperti yang dapat anda bayangkan, yang paling parah terkena adalah keluarga termiskin. Mereka tinggal di rumah-rumah dengan standar buruk dan tidak mampu membeli kelambu. Termasuk penduduk miskin yang karena ingin mendapatkan lahan lebih luas, berpindah ke pinggiran hutan. Begitu pula bila terjadi bencana alam, seperti tsunami di Aceh, banyak yang mengungsi ke tempat-tempat yang membuat mereka lebih mudah terserang. Bagi semua kelompok ini, prioritas utama adalah pencegahan. Namun mereka juga perlu untuk memperoleh pengobatan. Sekarang ini, pengobatan utama adalah dengan terapi kombinasi obat artemisin (artemisin combination therapy), yang sangat efektif. Kenyataannya, di tempat-tempat di mana kasusnya lebih sedikit, terapi pengobatan juga menjadi sebuah bentuk pencegahan yang penting.
Jika tidak ada manusia yang terinfeksi, nyamuk tidak dapat membawa parasit. Ini memutus siklus infeksi. Jadi tahap akhir dalam perjuangan melawan malaria adalah pemberantasan. Daripada menunggu pasien mendatangi pusat-pusat kesehatan, atau para pekerja kesehatan pergi berkeliling mencari kasus dan mengobatinya. Seperti halnya dengan penyakit-penyakit menular lainnya, dalam hal malaria pemerintah dapat mencapai kemajuan yang cukup besar, yaitu dengan menciptakan lingkungan alam dan manusia yang lebih sehat. Ini membawa pemerintah ke tujuan ketujuh.
7. Memastikan Kelestarian Lingkungan
Pembangunan di Indonesia telah banyak mengorbankan lingkungan alam. Pemerintah menebang pohon, merusak lahan, membanjiri sungai-sungai dan jalur air serta atmosfer dengan lebih banyak polutan. Tujuan MDGs ketujuh adalah untuk menghalangi kerusakan ini. Tujuan ini menelaah seberapa besar wilayah Indonesia yang tertutup oleh pohon. Ini penting bagi Indonesia karena Indonesia memiliki sejumlah hutan yang paling kaya dan paling beragam di dunia. Namun, tidak untuk jangka waktu yang terlalu lama lagi. Selama periode 1997-2000, pemerintah kehilangan 3,5 juta ha hutan per tahun25, atau seluas propinsi Kalimantan Selatan.
Namun demikian, menurut Kementrian Kehutanan, Indonesia memiliki 127 juta hektar “kawasan hutan”, yaitu sekitar dua pertiga luas wilayah. Kawasan ini dibagi menjadi berbagai kategori dengan tingkat perlindungan yang berbeda. Kawasan yang paling terlindungi adalah ”kawasan konservasi” dan ”hutan lindung”. Kawasan dengan tingkat perlindungan lebih rendah adalah dua jenis ”hutan produksi” yang digunakan untuk mendapatkan kayu atau hasil hutan lainnya—tetapi dengan keharusan penanaman kembali. Yang paling rentan adalah kawasan yang digolongkan “hutan konversi”, yang sesuai namanya bisa digunakan untuk tujuan-tujuan lain.
Dua pertiga wilayah Indonesia adalah kawasan hutan. Citra satelit menunjukkan bahwa pada 2005, sepertiga dari ”kawasan hutan” tersebut hanya memiliki sedikit populasi pohon. Wilayah yang sebenarnya berhutan hanyalah sekitar 94 juta hektar, atau sekitar 50% wilayah Indonesia. Saat ini kawasan hutan hanya tersisa sedikit pohon dalam dua perlima area hutan produksi. Sebaliknya, citra satelit juga menunjukkan bahwa sebagian dari lahan yang tidak diperuntukkan sebagai hutan pada kenyataannya adalah hutan.
Salah satu masalah utama adalah penebangan liar. Kayu sangat berharga sehingga banyak perusahaan siap mencurinya, kadang-kadang lewat kolusi dengan pejabat setempat. Kenyataannya, separuh kayu Indonesia diperkirakan dihasilkan lewat pembalakan liar. Dalam beberapa kasus, lahan juga dibuka untuk tujuan-tujuan lain seperti perkebunan kelapa sawit. Selain itu, sebagian komunitas pedesaan yang kekurangan lahan juga telah merambah hutan lebih jauh. Situasinya semakin rumit ketika pemerintah daerah mempunyai definisi peruntukan lahan yang bertentangan dengan defenisi nasional.
Semua ini menimbulkan masalah besar bagi penduduk yang menggantungkan penghidupan pada hutan, khususnya sekitar 10 juta penduduk miskin, termasuk kelompok masyarakat adat. Penggundulan hutan juga seringkali disertai dengan kebakaran hutan yang menimbulkan masalah kesehatan yang serius selain memproduksi gas rumah kaca yang dilepaskan dalam jumlah besar ke atmosfer. Penggundulan hutan juga mengurangi keragaman hayati kita. Seperti yang sudah anda bayangkan, untuk indikator MDGs ini, Indonesia masih jauh dari target.
Di tingkat nasional, pemerintah mempunyai niat yang benar. Pemerintah telah berikrar untuk melindungi lingkungan. Namun pemerintah memiliki pengelolaan yang buruk dan kesulitan dalam menegakkan peraturan. Pemerintah harus berbuat lebih banyak untuk memberantas kejahatan dan korupsi di bidang kehutanan. Yang juga perlu dilakukan adalah pengalihan pengendalian hutan kepada komunitas setempat sehingga mereka bisa hidup dari hutan dan mendapatkan insentif untuk mengelola dan melindungi hutan tersebut. Namun Indonesia juga memiliki banyak sumber daya alam lain yang dengannya penduduk miskin bisa bertahan hidup, khususnya lautan yang menjadi lapangan pekerjaan bagi 3 juta orang. Kenyataannya, sumber daya kelautan di Indonesia juga telah terkena dampak penggundulan hutan.
Penggundulan hutan dan kerusakan lahan menyebabkan erosi berupa pengikisan lapisan tanah oleh air hujan. Tanah tersebut mengalir bersama sungai ke laut sehingga menghancurkan terumbu karang. Laut kita pun menghadapi resiko polusi lainnya, khususnya tumpahan minyak. Sementara itu, di daratan kita dihadapkan pada polusi limbah beracun, kimia dan pestisida—begitu pula polusi udara, khususnya yang berasal dari industri dan semburan asap kendaraan bermotor. Secara keseluruhan, lingkungan hidup Indonesia telah cukup tercemar. MDGs tidak memiliki indikator untuk polusi, namun memonitor seberapa besar penggunaan energi kita, karena banyak dari energi tersebut merupakan hasil industrialisasi yang biasanya ikut berperan mengkonsumsi lebih banyak energi.
Tinggal satu tujuan MDGs lagi yang akan dibahas. Tentu saja energi yang sedang kita bahas ini tidak berasal dari makanan namun dari berbagai jenis bahan bakar. Konsumsi minyak bumi, Indonesia berada di titik yang rendah pada 1998 menyusul krisis ekonomi. Sejak itu, “intensitas energi” pemerintah meningkat terus hingga saat ini mencapai 95,3 kg setara minyak per 1,000 $ (Kem. ESDM, 2006). Namun demikian, menggunakan lebih banyak energi tidak serta-merta berarti lebih banyak pencemaran, khususnya jika kita beralih menggunakan bahan bakar yang lebih bersih. Dalam kenyataannya, salah satu indikator MDG lainnya jelas mencerminkan hal ini. Indikator tersebut melihat pada proporsi penduduk yang menggunakan bahan bakar padat. Ini artinya menggunakan kayu atau batubara, misalnya, dan bukan menggunakan minyak tanah, atau LPG (Liquified Pertoleum Gas). Memang proporsi penduduk yang menggunakan bahan bakar padat sudah turun secara tajam, dari 70,2% pada 1989 menjadi 47,5% pada 2004.
Bahan bakar padat biasanya lebih kotor karena menghasilkan uap dan asap. Ini beresiko jika digunakan di rumah, khususnya bagi perempuan dan anak-anak karena bisa terkena dampak buruknya. Tentu saja pemerintah juga perlu mengkhawatirkan emisi bahan bakar lain yaitu “gas rumah kaca”, khususnya CO2 yang naik ke lapisan atas atmosfer dan memanaskan planet ini.
Kebanyakan gas rumah kaca berasal dari negara-negara kaya, dan negara-negara maju paling banyak menghasilkan emisi industri. Namun banyak negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, juga menghasilkan banyak karbon dioksida (CO2). Pada tahun 2000 setiap orang mengeluarkan rata-rata 1,15 metrik ton karbon dioksida ke atmosfer. Lebih dari separuhnya berasal dari industri, rumah tangga atau transportasi, sementara sisanya berasal dari kehutanan dan pertanian. Pada tahun 2005, tingkat emisi naik menjadi 1,34 metrik ton. Namun, angka-angka tersebut bisa menjadi sangat besar bila memasukkan kebakaran hutan dan kehancuran lahan gambut.
Gambut adalah satu kandungan bahan-bahan organik yang membusuk. Di Indonesia memiliki banyak hutan rawa di mana pembusukan tanaman berjalan sangat lambat. Selama ribuan tahun, bahan-bahan tersebut menjadi satu lapisan gambut yang tebal, bermeter-meter ke dalam tanah dan menyimpan milyaran ton karbon dioksida. Ketika rawa dikeringkan atau gambut terbakar, banyak dari karbon dioksida tersebut lepas ke atmosfer. Sejumlah LSM berpendapat bahwa kerusakan lahan gambut dengan cepat mengubah Indonesia menjadi salah satu penghasil emisi karbon dioksida terbesar di dunia.
Pada saat ini, pemerintah tidak memiliki angka yang pasti. Pemerintah sedang mengkaji isu tersebut dan akan memberikan perkiraan tentang apa yang sedang terjadi. Apa pun cakupan kerusakanannya, jelas bahwa kerusakan hutan bukan saja merusak lingkungan, tetapi juga menyumbang pada pemanasan global. Namun ini bukan satu-satunya emisi yang harus di khawatirkan.
Kenyataan yang sesungguhnya mungkin tidak terlalu dramatis. Ini merujuk pada penggunaan bahan-bahan yang mengurangi “lapisan ozon”. Ozon membentuk satu lapisan perisai yang melindungi bumi dari radiasi matahari yang merusak. Namun, lapisan ozon dapat hilang oleh bahan-bahan seperti chlorofiuorocarbons (CFC) yang telah digunakan dalam produk penyemprot aerosol dan lemari pendingin. Indonesia tidak dapat menghasilkan bahan-bahan kimia ini, namun kita menggunakannya, sehingga tugas pertama adalah mengurangi impor bahan-bahan tersebut dan berhenti menggunakan persediaan yang ada.
Selama periode 1992-2002, dengan bantuan internasional Indonesia telah berhasil menghapuskan 3.696 ton bahan-bahan perusak lapisan ozon. Sebaliknya, pemerintah masih mengimpor secara ilegal bahan-bahan tersebut. Meskipun di satu sisi, pemerintah makin mengurangi penggunaan sejumlah bahan yang merusak, pada saat yang sama pemerintah menggunakan bahan-bahan lainnya lebih banyak lagi. Seringkali masalahnya terletak pada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Seperti halnya regulasi tentang hutan, pemerintah memiliki regulasi berkaitan dengan bahan-bahan tersebut, namun pemerintah juga kesulitan untuk menjalankannya.
Dari hutan dan gas, sekarang saatnya untuk beralih ke cairan dan khususnya air minum. Tujuan MDG ketujuh antara lain menetapkan target untuk menurunkan separuh dari proporsi penduduk yang tidak memiliki “akses yang berkelanjutan terhadap air minum yang aman.”
Jika seseorang mempunyai pendapatan rutin, seseorang dapat membeli air kemasan. Indonesia merupakan konsumen air kemasan terbesar ke delapan di dunia dengan konsumsi lebih dari 7 milyar liter per tahun pada 2004 dan dengan penjualan yang semakin meningkat pesat. Namun demikian, sangatlah sulit untuk dapat memahami bagaimana masyarakat mendapatkan akses dengan cara-cara seperti itu. Dan MDGs tidak menganggap air kemasan sebagai sumber yang berkelanjutan bagi kebanyakan orang. Jadi untuk itu indikator yang digunakan adalah proporsi penduduk yang memiliki akses berkelanjutan terhadap satu ”sumber air yang terlindungi (improved water source)”.
Itu bisa saja sebuah sumur, misalnya, yang sudah diberi pembatas atau memiliki pagar atau tutup untuk melindunginya dari kontaminasi hewan. Atau bisa saja air sungai yang telah disaring oleh perusahaan air untuk menghilangkan hampir semua sumber kontaminasi dan kemudian menyalurkannya melalui pipa. Air seperti itu dapat dikatagorikan sebagai “air yang bersih” meskipun tidak bisa disebut air minum yang aman. Bahkan ada berbagai standar yang berbeda tentang “kebersihan” air. Satu standar, mensyaratkan bahwa sumber air paling tidak harus berjarak minimal 10 meter dari tempat yang digunakan untuk pembuangan tinja.
Dengan menggunakan standar tersebut, Susenas telah memberikan perkiraan. Angka rata-rata nasional untuk Indonesia adalah 52,1%, meskipun angka ini bervariasi dari 34% di Sulawesi Barat hingga 78% di Jakarta. Kecenderungan terkini di tingkat nasional menunjukkan bahwa satu peningkatan yang perlahan namun pasti. Untuk mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses pada 2015 berarti harus mencapai angka sekitar 80%.
Dengan kemajuan yang dicapai hingga saat ini, nampaknya pemerintah hampir memenuhi target. Namun, dalam kenyataannya, untuk dapat mencapai target minimal “air bersih” akan sulit. Penyebabnya berbeda-beda antara kawasan perkotaan dengan perdesaan. Di kawasan perdesaan sistem yang telah terpasang mencapai 50%, tetapi tidak terpelihara dengan baik. Artinya, angka 50% pun bisa jadi hanya perkiraan optimistis karena mencakup sistem yang tidak bekerja dengan baik.
Di komunitas-komunitas yang menyebar, sistem yang didanai publik seringkali bersumber pada sumur atau mata air. Namun, setelah sistem dipasang, mungkin tidak jelas siapa yang bertanggung jawab untuk memeliharanya. Atau mungkin tenaga ahli yang awalnya ditugaskan untuk pemeliharaan sudah pindah. Di perdesaan, pendekatan yang lebih baik bermula dari kebutuhan.
“Berdasar kebutuhan” artinya komunitas harus memutuskan untuk diri mereka sendiri apa yang mereka inginkan dan meminta bantuan dalam merencanakan dan membangun pasokan air mereka. Karena mereka akan membayar bahan-bahan atau perlengkapan yang digunakan, di masa mendatang mereka harus diberikan insentif untuk memelihara sistem mereka tersebut. Pendekatan ini berjalan baik namun bisa makan waktu lama. Sebaliknya, situasi di kota-kota besar dan kecil berbeda. Di pedesaan harus lebih jelas siapa yang menjalankan sistem.
Tanggung jawab keseluruhan dipegang oleh pemerintah daerah. Namun, tugas mereka menjadi lebih sulit karena tidak efisiennya perusahaan daerah air minum (PDAM) yang menyediakan air baik melalui jaringan pipa ke rumah tangga-rumah tangga atau kepada penduduk secara umum melalui hidran air. PDAM tidak efisien antara lain karena mereka tidak punya biaya untuk melakukan investasi. Biasanya mereka tidak diijinkan untuk menaikkan harga sesuai dengan kebutuhan mereka dan sering menyalurkan air dengan harga di bawah semestinya. Beberapa bupati juga menganggap PDAM sebagai satu sumber pemasukan yang mudah. Tidak mengherankan jika banyak PDAM yang mempunyai banyak utang. Selain itu, banyak dari infrastruktur yang rusak. Di Jakarta, misalnya, sekitar separuh dari air PDAM bocor keluar dari pipa-pipa bawah tanah. Penduduk yang mendapat akses ke jaringan pipa adalah penduduk yang beruntung. Saat ini sekitar sepertiga dari rumah tangga di perkotaan mendapatkan akses jaringan pipa air ke rumah mereka dan jumlahnya tidak bertambah dengan cepat. Antara 1990 dan 2005, cakupan air pipa hanya meningkat 3%.
Kebanyakan dari mereka, tergantung pada hidran air, menggunakan air sumur atau air sungai. Yang paling tidak beruntung adalah komunitas termiskin yang tidak mampu membayar pemasangan jaringan pipa air, yang juga dipastikan tidak akan menjangkau mereka yang hidup di permukiman kumuh. Ini berarti pada akhirnya mereka harus membayar dari pedagang keliling dengan harga 10 hingga 20 kali lipat dibandingkan harga yang harus dibayar bila mendapatkan pasokan air dari jaringan pipa air minum.
Jelas, pemerintah harus lebih banyak menanamkan investasi untuk pemasokan air. Namun, pemerintah juga membutuhkan sistem pendanaan yang layak yaitu dengan mendapat pemasukan dari penduduk yang lebih kaya sementara memberikan subsidi yang tepat sasaran kepada yang miskin. Pasokan air yang terlindungi juga harus disertai dengan sistem sanitasi yang lebih baik karena dua hal tersebut saling berkaitan, seringkali bahkan sangat dekat.
Sebagian besar karena sistem sanitasi yang buruk mencemari pasokan air. Seperti yang sudah diperkirakan, ada satu target MDGs untuk sanitasi. Target tersebut adalah untuk mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses ke sanitasi yang aman.
Seseorang dapat memiliki sebuah toilet sistem guyur (flush) di rumah yang terhubungkan dengan saluran pembuangan utama. Namun, hanya sedikit saja yang bisa memilikinya. Kebanyakan orang tergantung pada jamban dengan tangki septik atau bisa juga menggunakan toilet umum. “Sanitasi yang tidak aman”, yang ditanyakan, dapat berupa penggunaan kolam, sawah, sungai atau pantai. Seseorang mungkin terkejut mengetahui bahwa Indonesia telah memenuhi target sanitasi. Pada 1990, proporsi rumah tangga yang memilki sanitasi yang aman sekitar 30%. Jadi target untuk tahun 2015 adalah 65%. Pada 2006, rata-ratanya adalah 69,3%.
Sayangnya, banyak sistem tersebut di bawah standar. Banyak sistem yang didasarkan pada tangki septik yang sering bocor dan mencemari air tanah. Jadi meskipun sistem tersebut mungkin lebih aman bagi para pengguna toilet, mereka sangat tidak aman untuk pasokan air. Seseorang mungkin sadar bahwa pada 1990 pemerintah memulai dengan tingkat yang rendah sehingga target yang ditetapkan tidak terlalu tinggi. Nampaknya, pemerintah mungkin cukup berhasil namun bisa jadi itu hanya ilusi. Pemerintah perlu menanamkan investasi lebih banyak.
Satu perkiraan menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun ke depan, biaya keseluruhan mencapai sekitar $10 milyar. Investasi tersebut diharapkan berasal dari rumah tangga maupun pemerintah dan harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Hasilnya akan terjadi penghematan biaya yang besar, mulai dari berkurangnya biaya pengobatan hingga penghematan waktu untuk tidak perlu mengantri di toilet umum. Sejumlah ahli ekonomi memperkirakan bahwa, untuk setiap rupiah yang diinvestasikan oleh pemerintah dapat menghasilkan keuntungan sepuluh kali lipat.
Di pedesaan, orang biasanya memulai dengan sesuatu yang sederhana, misalnya sebuah jamban cemplung dan kemudian berganti menjadi jamban dengan tangki septik. Di kawasan perkotaan, situasinya lebih sulit karena lebih terbatasnya ruang. Penduduk termiskin pada awalnya paling tidak akan terus menggunakan toilet umum. Dalam jangka lebih panjang pemerintah perlu mencari cara untuk menyediakan sistem saluran air limbah umum sehingga semakin banyak orang dapat mengaksesnya. Seperti halnya pasokan air, peningkatan tidak akan terjadi tanpa keterlibatan masyarakat. Orang harus menyadari betapa pentingnya sanitasi yang baik dan merencanakan bersama sistem mereka sendiri. Sementara, pemerintah dapat memberikan dukungan. Namun demikian, menanamkan investasi dalam satu sistem sanitasi mungkin akan sama maknanya dengan investasi untuk memiliki rumah.
Membuat satu sistem sanitasi yang baik akan menambah nilai rumah itu sendiri. Ini juga akan membawa pemerintah lebih dekat ke target terakhir dalam tujuan ini yang berkaitan dengan perumahan, dan khususnya dengan peningkatan hidup para penghuni kawasan kumuh. Setidaknya, Indonesia telah mengalami banyak kemajuan. Sekitar 15 tahun lalu, hanya 20% dari rumah tangga mempunyai kepemilikan tanah yang sah. Sekarang hampir semua orang memiliki hak milik yang sah berkat kampanye besar-besaran dari Badan Pertanahan Nasional untuk meningkatkan kepemilikan lahan. Dan seperti yang sudah dikatakan orang, seseorang juga cenderung untuk memiliki rumah sendiri. Paling tidak empat per lima dari orang memiliki atau menyewa rumah.
Antara 1999 dan 2004, lahan yang digunakan untuk kawasan kumuh meningkat dari 47.000 menjadi 54.000 hektar. Secara keseluruhan, sekitar 15 juta rumah masuk kategori di bawah standar. Masalah utamanya, semakin banyak manusia berdesakan di kota-kota, yaitu 42% penduduk negeri ini. Kementrian Pekerjaan Umum memperkirakan bahwa pemerintah memiliki tunggakan pembangunan sebanyak 6 juta rumah dan memerlukan 1 juta rumah baru setiap tahunnya. Untuk sebagian besar orang, yang menjadi masalah adalah kemiskinan. Seseorang hanya dapat membangun sebuah rumah apabila orang tersebut memiliki tabungan yang memadai atau dapat meminjam dari keluarga atau teman-teman. Hanya sedikit orang yang dapat memperoleh pinjaman dari bank. Untuk itu orang perlu pekerjaan tetap, yang hanya dimiliki oleh seperempat dari bangsa Indonesia.
Namun, jika seseorang bisa mendapatkan dana yang diperlukan, orang tersebut mestinya mampu membangun rumah di tempat yang memiliki layanan seperti air, listrik dan sanitasi. Untuk itu, diperlukan investasi publik, yang seringkali mengandalkan pada pinjaman luar negeri. Tujuan MDGs yang terakhir melihat ke luar Indonesia untuk menelaah bagaimana hubungan pemerintah dengan dunia luar.
8. Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan
Tujuan MDGs terakhir ini, terkait dengan kerjasama internasional, yaitu menelaah isu-isu seperti perdagangan, bantuan dan utang internasional. Namun, dalam kenyataan, sebagian besar target dan indikator ditujukan untuk negara-negara maju agar membantu negara-negara termiskin dalam mencapai tujuan-tujuan MDGs lainnya.
Kenyataannya, beberapa negara berkembang di kawasan Asia Pasifik saat ini menawarkan bantuan kepada negara-negara berkembang lainnya. Dan Indonesia juga dapat mengupayakan berbagai cara untuk membantu negara-negara tetangganya yang masih miskin. Namun yang paling utama, kepentingan Indonesia yang sebenarnya adalah mencermati apa saja dampak kebijakan negara-negara yang lebih kaya pada Indonesia. Misalnya di bidang perdagangan, khususnya ekspor. Memroduksi barang untuk ekspor, akan menghasilkan lebih banyak lapangan pekerjaan dan membantu orang untuk keluar dari kemiskinan. Di masa lalu, sebagian besar ekspor Indonesia adalah bahan-bahan mentah seperti minyak bumi, kayu dan minyak kelapa sawit. Namun, sejak 1980-an, banyak usaha yang mulai menanamkan investasi dalam pabrik-pabrik yang membuat barang-barang manufaktur sederhana untuk diekspor, seperti pakaian dan alas kaki. Sekarang ini, lebih dari separuh ekspor Indonesia merupakan produk industri. Itulah caranya Indonesia bergabung dalam gelombang globalisasi mutakhir.
Tidak semua globalisasi perlu didukung. Mereka yang menolak, berpendapat bahwa semua aliran barang dan uang internasional serta informasi, hanya memungkinkan negara-negara kaya untuk mengeksploitasi negara-negara miskin. Pihak lain berpendapat bahwa mereka harus menerima globalisasi, tetapi globalisasi dengan cara-cara yang benar. Artinya, harus dipastikan bahwa perdagangan internasional dilakukan seadil mungkin sehingga semua negara memiliki peluang yang sama. Perdagangan juga harus adil bagi para pekerja. Oleh karena itu, mereka yang diperkerjakan di industri-industri untuk ekspor harus memperoleh gaji dan kondisi kerja yang layak. Kenyataannya, Indonesia menunjukkan minatnya yang besar untuk meningkatkan perdagangan internasional, baik ekspor maupun impor. Hasilnya, ada yang beruntung, ada yang merugi.
Perusahaan-perusahaan yang tidak mampu bersaing dengan produk impor berharga rendah. Beras, sebagai contoh. Impor beras murah dipastikan akan menurunkan harga beras di pasar Indonesia. Ini baik bagi mayoritas konsumen, tetapi pada saat yang sama dapat mengurangi penghasilan petani.
Harus ada keputusan pemerintah seberapa “terbuka” sebaiknya perekonomian Indonesia. Terbuka sambil sedikit mengontrol impor, tidak otomatis merugikan perusahaan-perusahaan dalam negeri. Bahkan seringkali, hal ini dapat membuat mereka menjadi lebih efisien. Perusahaan-perusahaan tersebut akan terdorong untuk berkonsentrasi pada produk terbaiknya. Namun, bisa jadi, pemerintah masih ingin melindungi sejumlah industri dengan tarif dan langkah-langkah lain. Paling tidak untuk sementara. Mungkin pemerintah ingin melindungi industri kebutuhan dasar agar bisa bersaing di tingkat internasional.
Hampir semua kebutuhan jasa masyarakat Indonesia, dilayani oleh pihak dalam negeri. Tetapi, ada juga yang dibeli dari perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di sini. Banyak juga perusahaan ingin berinvestasi di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya dalam hal pelayanan listrik dan air. Sebagai contoh, Indonesia sudah memiliki dua pemasok air swasta di tingkat kotamadya di Jakarta. Dalam perundingan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), banyak negara meminta agar diberi lebih banyak peluang untuk menjual jasa kepada pihak asing. Banyak orang yang menentang hal ini. Mereka percaya bahwa layanan tertentu, seperti air atau sanitasi, harus disediakan oleh negara dan tidak boleh dijalankan oleh perusahaan-perusahaan swasta, baik asing maupun dalam negeri. Karena hal ini akan mengurangi akses penduduk miskin.
Umumnya, perusahaan-perusahaan swasta hanya memusatkan pada pelanggan kaya dan mengabaikan pelangggan miskin. Sebaliknya, gabungan penyediaan layanan publik dan swasta dapat menghasilkan layanan yang lebih efisien. Bahkan penduduk miskin mungkin akan bersedia untuk membayar jika mereka merasa akan mendapatkan layanan yang baik. Pemerintah perlu memastikan akses bagi semua orang, tidak perduli siapa pun penyedia layanan tersebut. Seberapa terbuka pemerintah dalam perdagangan barang dan jasa sebagian besar merupakan pilihan pemerintah, namun masalah ini juga menjadi bagian perundingan dalam WTO. Perundingan-perundingan tersebut juga mencakup hal-hal tentang apakah pemerintah bisa menggunakan turunan obat “generik” yang murah untuk HIV dan penyakit-penyakit lain, atau apakah pemerintah harus membeli obat-obatan dengan harga mahal dari perusahaan-perusahaan internasional.
Salah satu target yang menjadi bagian tujuan ke-8 MDGs adalah ”lebih jauh mengembangkan sistem perdagangan dan keuangan yang terbuka, berbasis peraturan, mudah diperkirakan, dan tidak disriminatif.” Singkat kata, ini berarti perdagangan yang berkeadilan dan WTO adalah tempat di mana masalah-masalah tersebut semestinya ditangani. Sayangnya, perundingan putaran terakhir, yang disebut “Putaran Doha (Doha Round)”, gagal terutama karena negara-negara maju ingin memberikan proteksi terlalu banyak pada petani mereka sendiri. Ke depan, perundingan-perundingan tersebut mungkin bisa berlanjut. Namun Indonesia, serta banyak negara-negara berkembang lainnya, yakin bahwa pemerintah sudah cukup banyak memberikan konsesi. Kini, gilirannya negara-negara kaya untuk merespon. Selain itu, negara-negara kaya didorong untuk memberikan bantuan luar negeri. Hal ini, sesuai dengan janji mereka untuk memberikan bantuan sebesar 0,7% dari total pendapatan nasional dalam bentuk “bantuan pembangunan resmi” (ODA; Official Development Assistance) untuk negara-negara miskin.
Di masa lalu, banyak ”pengeluaran pembangunan” negeri ini, tergantung pada bantuan luar negeri, yang digunakan untuk membangun infrastruktur seperti jalan raya. Pemerintah biasanya menerima bantuan setara dengan 40% pengeluaran pembangunan. Bahkan, di tahun-tahun tertentu, bantuan yang di terima lebih besar dari angka tersebut.
Penyandang dana terbesar adalah Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan Jepang. Kebanyakan bantuan tersebut dalam bentuk utang. Orang mungkin berpikir bantuan tersebut terutama digunakan untuk mengentaskan kemiskinan atau untuk meningkatkan kesehatan dan pendidikan. Ternyata tidak. Sebagian besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan, yang bisa mengentaskan kemiskinan, meskipun tidak langsung. Selama beberapa tahun terakhir, banyak bantuan yang digunakan untuk pembangunan kembali pascabencana, pasca tsunami dan gempa bumi di Yogyakarta. Untuk 2006-2007, misalnya, pemerintah dijanjikan memperoleh bantuan, baik berupa utang dan hibah, sebesar 5,4 milyar dollar. Kebanyakan penyandang dana memusatkan hibah mereka untuk negara-negara yang lebih miskin. Indonesia tidak masuk kualifikasi penerima hibah, kecuali ketika dilanda bencana.
Pemerintah perlu mempertimbangkan beban utang. Pada 2007, pemerintah Indonesia memutuskan tidak lagi membutuhkan pertemuan tahunan para penyandang dana untuk Indonesia yang disebut Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (Consultative Group on Indonesia). Pemerintah ingin lebih banyak memegang kendali dalam proses dan langsung berunding dengan para penyandang dana. Selain itu, pemerintah yakin harus lebih banyak menggalang dana dari pasar keuangan lewat penjualan obligasi ketimbang dari para penyandang dana.
Baik utang yang berasal dari pinjaman maupun lewat penjualan obligasi, pemerintah harus membayar bunganya dan akhirnya harus siap untuk membayar kembali pokok utang. Kenyataannya, satu masalah besar dalam mencapai MDGs karena pengeluaran Indonesia saat ini, terlalu banyak dipakai untuk pembayaran kembali utang, sehingga tak cukup anggaran bagi kesehatan atau pendidikan. Pasca krisis moneter, terjadi peningkatan sangat tajam. Tetapi, kebanyakan dari utang tersebut bukan utang internasional melainkan utang dalam negeri berupa pinjaman dari lembaga-lembaga domestik, meskipun sebenarnya pemerintah tidak ”meminjam” uang tersebut dengan cara konvensional.
Yang terjadi adalah bahwa setelah krisis ekonomi pada 1997, banyak bank di Indonesia yang mempunyai kredit macet pada perusahaan-perusahaan lokal berada dalam ambang kebangkrutan. Pemerintah sangat cemas bahwa sistem perbankan akan runtuh sehingga mereka campur tangan untuk menyelamatkan beberapa bank tersebut. Untuk melakukan itu, pemerintah menerbitkan obligasi pemerintah bernilai milyaran dolar dan memberikannya kepada bank-bank tersebut untuk digunakan sebagai modal. Ini artinya mereka menjadi sehat lagi. Biasanya, pemerintah menerbitkan obligasi dan kemudian menjualnya untuk mendapatkan dana. Namun, dalam hal ini mereka tidak mendapatkan uang sebagai gantinya. Yang pemerintah peroleh adalah bank-bank yang lebih sehat. Namun, pemerintah masih tetap terjebak dalam utang dan harus membayar bunga obligasi tersebut kepada bank atau siapa pun yang memilikinya. Biaya yang dipikul terbilang mahal.
Saat ini, ’pelunasan’ utang mencapai sekitar 26% dari pengeluaran pemerintah. Memang pemerintah sekarang lebih banyak mengeluarkan dana untuk membayar bunga pinjaman daripada untuk pendidikan, atau kesehatan. Jadi orang dapat mengatakan bahwa pemerintah membayar ketidakmampuan para pemilik bank yang kaya dengan mengorbankan orang miskin. Namun, pemerintah berpendapat bahwa mereka tidak mempunyai pilihan. Runtuhnya sistem perbankan akan membuat segala sesuatu lebih buruk bagi siapapun, miskin atau kaya. Terlepas dari apakah keputusan tersebut benar atau salah, sekarang pemerintah harus menanggung akibatnya. Pada 2006, pemerintah masih berutang $144 milyar.
Hampir separuh utang pemerintah merupakan utang dalam negeri, dari bank-bank yang menggunakannya sebagai modal. Sisanya, yaitu sekitar 67,7 milyar dollar, merupakan utang kepada lembaga-lembaga luar negeri. Sebagian diantaranya merupakan utang kepada para penyandang dana bilateral yang meminjamkan uang kepada Indonesia sebagai bagian dari program bantuan mereka atau untuk membantu Indonesia membeli sebagian ekspor mereka. Sisanya adalah utang kepada para penyandang dana “multilateral” seperti Bank Dunia (World Bank) atau Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB).
Pemerintah Indonesia tak mungkin ”ngemplang” utang dalam negeri karena akan mengakibatkan tumbangnya banyak bank dalam negeri. Pemerintahpun tidak bisa begitu saja ”mogok” membayar utang internasional karena akan membuat Indonesia terputus dari pasar keuangan dunia dan mungkin akan memicu krisis keuangan baru. Namun, pemerintah bisa menawar. Pemerintah bisa meminta “penghapusan utang” kepada para penyandang dana multilateral dan bilateral. Pemerintah melakukannya beberapa dasawarsa lalu dan mereka menghapus sebagian utang Indonesia. Namun, saat ini, semuanya menjadi lebih sulit. Para penyandang dana internasional masih memberikan penghapusan utang, namun hanya kepada negara-negara yang sangat miskin. Saat ini, Indonesia adalah negara berpenghasilan menengah sehingga tidak masuk kategori layak memperoleh penghapusan utang. Ketika meminta penghapusan utang, kita juga harus mau dikaji oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
Dalam kenyataannya, pemerintah telah sengaja membayar semua utangnya kepada IMF agar Indonesia tidak harus mengikuti persyaratan IMF. Namun, masih ada hal-hal yang dapat Indonesia lakukan untuk mengurangi utang, paling tidak, sedikit. Salah satu pilihan adalah dengan mendorong para penyandang dana bilateral untuk melibatkan diri dalam pertukaran atau ”konversi utang” (debt swaps).
Namun, sejumlah penyandang dana bilateral siap untuk menghapuskan sebagian utang pemerintah jika pemerintah membelanjakan jumlah yang sama untuk pembangunan. Jerman, misalnya, sepakat dengan Indonesia untuk menghapuskan utang bilateral bernilai sekitar 135 juta dollar AS jika pemerintah Indonesia menggunakan dana tersebut untuk proyek-proyek pendidikan dan lingkungan. Sayangnya, skema seperti itu biasanya hanya dalam jumlah kecil (jumlah keseluruhan utang kita kepada Jerman adalah 1,3 milyar dollar AS). Sekali lagi, aturan-aturan internasional tidak memungkinkan Indonesia untuk menukarkan utang dalam jumlah yang sangat besar.
Bersama dengan negara-negara berkembang lainnya, Indonesia harus menyatakan bahwa tingkat utang yang tinggi menghambat pencapaian MDGs, jadi semestinya negara seperti Indonesia layak untuk mendapatkan semacam penghapusan utang. Kenyataannya, untuk banyak isu di Tujuan 8, baik tentang perdagangan, bantuan atau utang, pemerintah maupun masyarakat sipil harus melawan status quo di tingkat internasional. Pemerintah cukup bangga untuk melaporkan upaya-upaya pemerintah sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang sudah di sepakati. Namun, negara-negara maju juga perlu memantau aktivitas-aktivitas mereka. Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium juga merupakan tanggung jawab internasional.
C. Target MDGs
A. Tujuan : Memberantas Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrem
1: Menurunkan proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi setengahnya antara 1990-2015.
Menggunakan garis kemiskinan nasional, angka kemiskinan Indonesia pada 1990 adalah 15,1%. Dasar penghitungan berubah pada 1996, sehingga sebenarnya data setelah itu tidak bisa begitu saja dibandingkan dengan data-data dari tahun-tahun sebelumnya. Seandainya kita menggunakan dasar penghitungan saat ini, angka pada 1990 akan sedikit lebih tinggi dari 15,1%. Namun, karena belum ada perhitungan ulang, artikel ini menggunakan angka 15,1%. Pada 2006, terjadi peningkatan kemiskinan yang kemudian sedikit menurun pada 2008 menjadi 15,4%. Mencermati berbagai kecenderungan akhir-akhir ini, seharusnya masih mungkin untuk mengurangi kemiskinan menjadi 7,5% pada 2015. Sementara, menggunakan garis kemiskinan 1 dollar per hari, situasi sepenuhnya berbeda. Berbasiskan ukuran tersebut, Indonesia telah mencapai target karena berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dari 21% (1990) menjadi7,5% pada 2006. Dua indikator lain memberikan informasi pelengkap. Indikator yang lebih rumit adalah ”rasio kesenjangan kemiskinan (poverty gap ratio)” yang mengukur perbedaan antara penghasilan rata-rata penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Pada 1990 rasio-nya adalah 2,7% dan 2,8% pada 2008, menunjukkan bahwa situasi penduduk miskin belum banyak mengalami perubahan. Indikator yang lebih sederhana adalah indikator penyebaran penghasilan: total jumlah konsumsi penduduk termiskin secara nasional adalah 20%. Inipun belum banyak berubah. Antara tahun 1990 dan 2008, angkanya berada pada sekitar 9%.
2: Menyediakan seutuhnya pekerjaan yang produktif dan layak, terutama untuk perempuan dan kaum muda.
Untuk mengukur kemajuan pencapaian target ini, empat buah indikator digunakan; yaitu: (i) pertumbuhan PDB per proporsi jumlah pekerja/ produktivitas pekerja, (ii) rasio pekerja terhadap populasi, (iii) proporsi pekerja yang hidup dengan kurang dari $1 per-hari/ pekerja miskin dan (iv) proporsi pekerja yang memiliki rekening pribadi dan anggota keluarga bekerja terhadap Kemajuan pencapaian target ini diindikasikan dengan semakin tingginya rasio, yang artinya semakin tingginya angkatan kerja yang mendapatkan pekerjaan. Data terakhir terkait pekerja miskin di Indonesia adalah 8,2% (2006), dan belum beranjak jauh dari pencapaian tahun 2002. Pekerja renran di Indonesia mengalami sedikit penurunan semenjak tahun 2003, meskipun mayoritas pekerja (62%) masih tergolong sebagai pekerja yang rentan. Produktivitas pekerja juga mengalami peningkatan yang cukup baik, di mana rata-rata per-tahunnya mencapai 4,3% dalam periode tahun 2000 hingga 20072 .
3. Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990 dan 2015.
Indikator pertama adalah prevalensi anak usia di bawah lima tahun (balita) dengan berat badan kurang. Angka saat ini adalah 28% dan nampaknya akan meningkat. Dengan angka ini, jelas kita tidak (akan) mencapai target. Indikator kedua adalah proporsi penduduk yang mengkonsumsi kebutuhan minimum per-harinya. Dengan menggunakan perhitungan FAO, tampaknya Indonesia masih berada di jalur yang benar untuk mencapai target MDGs ini.
B. Tujuan : Mewujudkan Pendidikan Dasar untuk Semua
1: Memastikan bahwa pada 2015 semua anak di manapun, laki-laki maupun perempuan, akan bisa menyelesaikan pendidikan dasar secara penuh.
Terdapat dua indikator yang relevan. Pertama, untuk tingkat partisipasi di sekolah dasar, Indonesia telah mencapai angka 94,7%. Berdasarkan kondisi ini, kita dapat mencapai target 100% pada 2015. Indikator kedua berkaitan dengan kelulusan, yaitu proporsi anak yang memulai kelas 1 dan berhasil mencapai kelas 5 sekolah dasar. Untuk Indonesia, proporsi tahun 2004/2005 adalah 81%. Namun, sekolah dasar berjenjang hingga kelas enam. Karena itu, untuk Indonesia lebih pas melihat pencapaian hingga kelas enam. Jumlahnya adalah 77% dengan kecenderungan terus meningkat. Artinya, kita bisa mencapai target yang ditetapkan. Data kelulusan yang digunakan dalam artikel ini berasal dari Kementerian Pendidikan Nasional berdasarkan data pendaftaran sekolah. Berbeda dengan Susenas (2004), yang menghitung angka yang jauh lebih besar, yaitu sekitar 95%.
Indikator ketiga untuk tujuan ini adalah angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Dalam hal ini, nampaknya kita cukup berhasil dengan pencapaian 99,4%. Meskipun demikian, kualitas melek huruf yang sesungguhnya mungkin tidak setinggi itu karena tes baca tulis yang diterapkan oleh Susenas terbilang sederhana.
Donwload dalam Format DOC