BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya setiap manusia diberikan kemampuan-kemampuan tertentu oleh Allah swt. Setiap anak yang telah diciptakan-Nya memiliki potensi dan bakat di dalam dirinya yang perlu dikembangkan. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran : “Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”. (QS.al-Qamar:49)
Setiap organisme, baik manusia maupun hewan pasti mengalami peristiwa perkembangan selama hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimilki oleh organisme tersebut, baik yang bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi, arti peristiwa bersifat perkembangan itu khususnya perkembangan manusia tidak hanya tertuju pasa aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis.
Pengertian perkembangan menunjuk pada suatu proses kearah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat di ulang kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali. Dalam ‘pertumbuhan” sementara ada ahli psikologi yang tidak membedakan antara perkembangan dan pertumbuhan, bahkan ada yang lebih mengutamakan pertumbuhan. Hal ini mungkin untuk menunjukkan bahwa orang yang berkembang tadi bertambah kemampuannya dalam berbagai hal, lebih mengalami diferensiasi dan pada tingkat yang lebih tinggi, lebih mengalami integrasi.
Namun pembahasan ini, penyusun hanya menguraikan batasan perkembangan manusia yang meliputi dimensi (cakupan dan ukuran) rohaniah dan jasmaniah, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan serta bagaimana ciri-ciri kematangan sebagai hasil dari perkembangan itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Menurut Konsep Aliran-Aliran Psikologi
Sebelum penulis memaparkan bagaimana sesungguhnya defenisi atau konsep perkembangan menurut aliran-aliran psikologi, terlebih dahulu penulis akan memberikan defenisi perkembangan secara umum.
Perkembangan merupakan terjemahan dari developmental. Yang secara singkat dapat didefenisikan sebagai suatu proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), “perkembangan”adalah perihal berkembang. Selanjutnya, kata “berkembang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini berarti mekar terbuka atau membentang, menjadi besar, luas, dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya. Dengan demikian, kata “berkembang” tidak saja meliputi aspek yang bersifat abstrak seperti pikiran dan pengetahuan, tetapi juga meliputi aspek yang bersifat konkret .
Dalam Dictionary of Psychology (1972) dan The Penguin Dictionary of Psychology (1988), arti perkembangan pada prinsipnya adalah tahapan-tahapan perubahan yang progressif yang terjdai dalam rentang kehidupan manusia dan organisme lainnya, tanpa membedakan aspek-aspek yang terdapat dalam diri organisme-organisme tersebut.
Selanjutnya, Dictionary of Psychology di atas secara Lebih luas merinci pengertian perkembangan manusia sebagai berikut:
The Progressive and continous change in the organism from birth to death, perkembangan itu merupakan perubahan yang progresif dan terus-menerus dalam diri organisme sejak sejak lahir hingga nanti
Growth, perkembangan itu berarti pertumbuhan
Change in the shape and integration of bodily parts, perkembangan berarti perubahan dalam bentuk penyatuan bagian-bagian yang fungsional
Maturation or the apperearence of fundamental pattern of unlearned behavior, perkembangan itu adalah kematangan atau kemunculan pola-pola dasar tingkah laku yang bukan hasil belajar.[1]
Dalam defenisi yang lain perkembangan itu ialah perubahan-perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam pasage waktu tertentu menuju kedewasaan.
Perkembangan adalah pola perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional yang dimulai sejak lahir dan terus berlanjut di sepanjang hayat.[2]
Perkembangan dapat pula diartikan sebagai proses transmisi dari konstitusi psiko-fisik yang herediter, dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan yang menguntungkan, dalam perwujudan proses aktif menjadi secara kontiniu.
Perkembangan itu berorientasi pada psikologis/kejiwaan atau mental. Dalam pengertian sempit bisa disebutkan sebagai: proses pematangan fungsi-fungsi yang non-fisik. Maka perkembangan anak itu sering kali diibaratkan dengan mekar-berkembangnya kuncup bunga yang belum ada gunanya, yang kemudian mekar membesar jadi sekuntum bunga, harum baunya, dan berwarna indah. Sekarang bunga berubah menjadi berguna, dan mempunyai daya tarik bagi binatang-binatang serangga tertentu, tidak lama kemudian bunga ini menjadi benih. Maka sesuai dengan pendapat diatas, seorang bai itu belum mempunyai daya dan belum berguna (belum mempunyai nilai pragmatis). Lama-kelamaan ia menjadi anak muda dan jadi dewasa, yang berdaya dan dapat melaksanakan sesuatu usaha. Juga menjadi berguna, sebab bisa bekerja dan mendatangkan hasil atau mata pencaharian.
Sepintas lalu memang ada persamaan lahiriah dari gejala perkembangan anak dan kuncup bunga tersebut. Namun janganlah perkembangan anak disamakan secara mutlak dengan berkembangnya kuncup bunga . Perbedaan penting dalam hal ini ialah: perkembangan bunga adalah akibat dari pertumbuhan organis, yang berlangsung secara mekanis –otomatis. Contohnya: jika cahaya matahari cukup, air dan makanan ada, serta hawa udara baik, bunga akan mekar dengan sendirinya.[3]
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa perkembangan adalah rentetan perubahan jasmani dan rohani manusia menuju ke arah yang lebih maju dan sempurna. Namun, perlu juga penulis mengemukakan bahwa sebagian orang menganggap perkembangan sebagai proses yang berbeda dari pertumbuhan. Menurut mereka berkembang itu tidak sama dengan tumbuh, begitupun sebaliknya.
Berikut ini dapat penulis paparkan bagaimana sebenarnya ciri-ciri perkembangan itu sehingga dapat terlihat perbedaannya dengan pertumbuhan.
Pertumbuhan
Perubahan kuantitatif yang mengacu pada jumlah, besar, dan luas yang bersifat konkret
Kenaikan dan penambahan ukuran yang berangsur-angsur seperti badan yang menjadi besar dan tegap, juga kaki dan tangan yang semakin panjang
Perkembangan
Proses perubahan kualitatif yang mengacu pada mutu fungsi organ-organ jasmaniyah, bukan organ-organ jasmaniyahnya itu sendiri. Dengan kata lain, penekanan arti perkembangan itu terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang disandang oleh organ-organ fisik.[4]
Konsep Perkembangan Menurut Sears
Sears merumuskan perkembangan sebagai berikut: Perkembangan adalah sesuatu yang berkesinambungan, urut-urutan yang teratur dari kondisi yang menciptakan perbuatan, dorongan baru untuk bertindak dan pola tingkah laku”.[5]
Konsep Perkembangan Teori Asosiasi Menurut Herbart
Herbart merumuskan teori perkembangan yang disebut dengan teori asosiasi. Disebut demikian oleh karena Herbart berpendapat bahwa seluruh proses perkembangan itu diatur dan dikuasai oleh kekuatan hukum sosial. Herbart berpendapat bahwa terjadinya perkembangan adalah oleh karena adanya unsur-unsur yang berasosiasi, sehingga sesuatu yang semula bersifat simple (unsur yang sedikit) makin lama makin kompleks dan banyak.
Herbart berpendapat demikian karena teorinya, bahwa anak baru lahir keadaan jiwanya masih bersih. Sejak alat inderanya dapat menangkap sesuatu yang datang dari luar, maka alat indera itu mengirimkan gambar, atau tanggapan ke dalam jiwa nya. Makin banyak tanggapan makin banyak pula tanggapan. Di dalam jiwa, tanggapan-tanggapan ini berasosiasi sesamanya, dengan kekuatan yang dapat diukur. Tanggapan yang sejenis berasosiasi dan tidak sejenis tolak menolak secara mekanis, dan makin lama makin banyak, makin kompleks. Dan inilah perkembangan itu.
Konsep Perkembangan Menurut Teori Gestalt (Wilhelm Wundt)
Teori ini lahir sebagai reaksi terhadap teori Herbart. Mereka berpendapat proses perkembangan bukan berlangsung dari sesuatu yang simple ke sesuatu yang kompleks, melainkan berlangsung dari sesuatu yang bersifat global (menyeluruh tapi samar-samar) ke makin lama makin dalam keadaan jelas, nampak bagian-bagian dalam keseluruhan itu. Jadi dari keadaan gestalt ke struktur. Bagian-bagian ini merupakan kesatuan-kesatuan tertentu yang baru berfaedah bila ia berada dalam gestalt tersebut. Ia berada di tempatnya yang spesifik dan akan merusak Gestalt bila ia dipisahkan.
Seperti halnya sepeda (yang dapat dinaiki), adalah sesuatu Gestallt dari bagian-bagian yang masing-masing merupakan kesatuan: setir, roda, rantai, gird an sebagainya. BIla salah satu bagian kesatuan itu (roda mislanya) dipisahkan, maka rusaklah gestalt sepeda itu (tidak dapat dinaiki lagi).
Jadi, dengan tegas mereka berpendapat bahwa perkembangan bukan proses-proses asosiasi melainkan proses differensiasi.
Neo gestalt (Kurt Lewin) menambahkan adanya proses stratifikasi dalam proses differensiasi. Tegasnya disamping adanya differensiasi yang berlangsung terus, kelanjutan differensiasi itu pun berkembang setahap demi setahap Se-strata demi se- strata.
Pada masa bayi, ia mengalami proses differensiasi kemudian naik ke tahap (strata) masa kanak-kanak. Dalam masa kanak-kanak ini proses differensiasi berjalan terus, kemudian naik ke strata masa anak. Demikian seterusnya.
Konsep Perkembangan Teori Sosialisasi Menurut James Mark Baldwin
Teori ini berpendapat bahwa proses perkembangan itu adalah proses sosialisasi dari sifat individualistis. Dalam hal ini Baldwin terkenal dengan teori : Circulair Reaction. Ia berpendapat bahwa perkembangan sebagai proses sosialisasi, adalah dalam bentuk imitasi yang berlangsung dengan adaptasi dan seleksi. Adaptasi dan seleksi berlangsung atas dasar hukum efek (law of effect) . Tingkah laku pribadi seseorang adalah hasil dari peniruan (imitasi).
Kebiasaan adalah imitasi terhadap diri sendiri, sedang adaptasi adalah peniruan terhadap orang lain. Oleh efeknya sendiri tingkah laku itu dipertahankan. Selanjutnya oleh efeknya sendiri tingkah laku itu dapat ditingkatkan faedah dan prestasinya. Dalam hal yang demikian inilah terkandung daya kreasi, sehingga manusia mampu menggunakan hasil peniruan itu sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Teori ini mendapat dukungan dari W. Stern
Konsep Perkembangan Teori Freuidism (Sigmund Freud)
Teori ini dikemukakan oleh seorang pemuka dalam Psikologi. Dalam yang bernama Sigmund Freud . Dalam mengemukakan teorinya, ia menggunakan sebagai contoh: Pada masa bayi manusia belum bermoral kemudian sesudah memiliki moral secara heterogen, dan akhirnya memiliki moral dengan norma yang ditetapkan sendiri secara autonom.
Proses pemilikan moral dari heterogen ke moral autonom ini disebut internalisasi. Sebab, norma moral tersebut ditentukan sendiri oleh manusia dengan menggunakan factor internnya.
Proses internalisasi ini berlangsung dengan identifikasi. Oleh karena proses ini menggunakan masyarakat sebagai faktor utama maka teori ini dapat dimaksudkan pula sebagai teori sosialisasi. Yang dapat dimaksudkan pula sebagai teori sosialisasi adalah teori Langeveld. Ia menyusun teorinya atas empat azas, yaitu: azas biologis, azas ketidakberdayaan, azas keamanan, azas eksplorasi.
Mula-mula perkembangan yang dialami manusia adalah perkembangan biologis. Yaitu dari telur ke janin, kemudian menjadi bunyi dan seterusnya, kemudian baru secara psikis. Yang bermula dari sifatnya yang tidak berdaya. Tetapi karena tidak berdaya inilah justru memungkinkan terjadinya perkembangan, bila ia berada dalam pergaulan antar manusia. Intuk itu, ia memerlukan rasa aman, rasa dilindungi, sehingga memungkinkan adanya kesempatan untuk berimitasi, beradaptasi, maupun identifikasi. Selanjutnya, karena perkembangan itu sendiri ada pada dirinya secara kodrat, maka si anak mengadakan eksplorasi untuk memungkinkan diri sebagai warga masyarakat. Demikianlah, proses perkembangan itu berlangsung sampai dewasa.[6]
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan
Adapun mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa, para ahli berbeda pendapat karena sudut pandang dan pendekatan mereka terhadap eksistensi siswa tidk sama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini penyusun paparkan aliran-aliran yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan:
a). Aliran Nativisme
Nativisme adalah sebuah doktrin filosofis yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini bernama Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filsof Jerman. Menurut aliran ini perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaannya, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa. Dalam ilmu pendidikan, pandangan seperti ini disebut “pesimisme pedagogis”.
Sebagai contoh: jika sepasang orang tua ahli musik, maka anak-anak yang mereka lahirkan akan menjadi pemusik pula. Jadi pembawaan dan bakat orang tua selalu berpengaruh mutlak terhadap perkembangan kehidupan anak-anaknya.
b). Aliran Empirisme
Kebalikan dari aliran nativisme adalah aliran empirisme dengan tokoh utamanya John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah “”The School of British Empiricism”(aliran empirisme Inggris). Namun aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama”enviromentalisme”(aliran lingkungan) dan psikologi bernama”enviromental Psychology” (psikologi lingkungan) yang masih relatif baru.
Doktrin empirisme yang amat masyhur adalah “tabula rasa”, sebuah istilah Latin yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong (blank slate/blank tablet). Doktrin tabula rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan, dan pendidikan dalam arti perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ini, para penganut empirisme menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa seorang anak kelak bergantung pada pengalaman/lingkungan yang mendidiknya.
Memang sukar dipungkiri bahwa lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap proses perkembangan dan masa depan siswa. Dalam hal ini lingkungan keluarga (bukan bakat bawaan dari keluarga) dan lingkungan masyarakat sekitar telah terbukti menentukan tinggi rendahnya mutu perilaku dan masa depan seorang siswa.
c). Aliran Konvergensi
Aliran ini merupakan gabungan antara aliran empirisme dengan aliran nativisme. Aliran ini menggambarkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tokoh utama konvergensi bernama Louis William Stern (1871-1938), seorang filosof dan psikolog Jerman.
Aliran filsafat yang dipeloporinya disebut”personalisme”, sebuah pemikiran filosofis yang sangat berpengaruh terhadap disiplindisplin ilmu yang berkaitan dengan manusia. Di antara disiplin ilmu yang menggunakan asas personalisme adalah “personologi” yang mengembangkan teori yang komprehensif (luas dan lengkap) mengenai kepribadian manusia.
Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia, Stern dan para hali yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada lingkungan/pengalaman juga tidak berpegang pada pembawaan saja, tetapi berpegang pada kedua faktor yang sama pentingnya itu, faktor pembawaan tidak berarti apa-apa jika tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor bakat pembawaan tak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.
Para penganut aliran ini berkeyakinan bahwa baik faktor bawaan maupun faktor lingkungan andilnya sama besar dalam menentukan masa depan seseorang. Jadi, seorang siswa yang lahir dari keluarga santri atau kiyai, umpamanya, kelak ia akan menjadi ahli agama apabila dididik di lingkungan pendidikan keagamaan.
Hasil proses perkembangan seorang siswa tak dapat dijelaskan hanya dengan menyebutkan pembawaan dan lingkungan. Artinya. Keberhasilan seorang siswa bukan karena pembawaan dan lingkungan saja, karena siswa tersebut tidak hanya dikembangkan oleh pembawaan dan lingkungannya tetapi juga oleh diri siswa itu sendiri. Setiap orang, termasuk siswa tersebut, memiliki potensi self-direction dan self discipline yang memungkinkan dirinya bebas memilih antara mengikuti atau menolak sesuatu (aturan atau stimulus) lingkungan tertentu yang hendak mengembangkan dirinya. Alhasil, siswa itu sendiri memiliki potensi psikologis tersendiri untuk mengembangkan bakat dan pembawaannya dalam konteks lingkungan tertentu.
Berdasarkan uraian mengenai aliran-aliran doktrin filosofis yang berhubungan dengan proses perkembangan di atas, penyusun berkesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya mutu hasil perkembangan siswa pada dasarnya terdiri atas dua macam.
1. Faktor Intern, yaitu faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri.
2. Faktor Eksternal, yaitu hal-hal yang datang atau ada di luar diri siswa yang meliputi lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi siswa tersebut dalam lingkungannya.[7]
C.Tahap-Tahap Perkembangan
Secara umum, proses dapat diartikan sebagai runtutan perubahan yang terjadi dalam perkembangan sesuatu. Adapun maksud kata proses dalam perkembangan siswa ialah tahapan-tahapan perubahan yang dialami seorang siswa, baik yang bersifat jasmaniah maupun yang bersifat rohaniah. Proses dalam hal ini juga berarti tahapan perubahan tingkah laku siswa, baik yang terbuka maupun yang tertutup.
Proses bias juga berarti cara terjadinya perubahan dalam diri siswa atau respon /reaksi yang ditimbulkan oleh siswa tersebut. Proses perkambangan dengan pengertian seperti ini menurut Hurlock (1980) merupakan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan (Developmental Changes). Manusia, menurut Elizabet B. Hurlock, tak pernah statis atau mandek, karena perubahan-perubahan senantiasa terjadi dalam dirinya dalam berbagai kapasitas (kemampuan) baik yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis.
Secara global, seluruh proses perkembangan individu sampai menjadi “person”(dirinya sendiri) berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu:
1) Tahapan proses konsepsi (pembuahan sel ovum ibu oleh sel sperma ayah)
2) Tahapan proses kelahiran (saat keluarnya bayi dari rahim ibu kea lam dunia bebas)
3) Tahapan proses perkembangan individu bayi tersebut menjadi seorang pribadi yang khas (development or selfhood)[8]
D. Tahap-Tahap Perkembangan Menurut Konsep Aliran-Aliran Psikologi
Tahap-tahap atau fase perkembangan menurut para tokoh psikologi dibedakan atas dasar biologis, psikologis, dan pendidikan. Secara rinci fase-fase perkembangan adalah sebagai berikut:
1. Fase –fase perkembangan berdasarkan biologik
a. Menurut Aristoteles
Aristoteles menggambarekan perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa itu dalam dalam tiga tahap, yang masing-masing lamanya tujuh tahun.
· Fase I dari 0,0 sampai 7,0 (masa anak kecil atau masa bermain)
· Fase II dari 7,0 sampai 14,0 (masa anak, masa belajar,atau masa sekolah rendah)
· Fase III dari 14,0 sampai 21,0 (masa remaja atau pubertas , masa peralihan dari anak menjadi remaja)
b. Menurut Kretschmer
Kretschmer berpendapat bahwa sejak lahir sampai dewasa anak melewati empat fase, yaitu:
· Fase I: dari umur 0,0 sampai 3,0 tahun. Pada tahap ini anak nampak pendek dan gemuk
· Fase II : dari umur 3,0 sampai 7,0 tahun. Pada tahap ini nampak langsing (memanjang dan meninggi)
· Fase III : dari umur 7,0 sampai 13 tahun. Pada tahap ini anak nampak pendek dan gemuk seperti pada tahap awal
· Fase IV : dari umur 13 tahun sampai 20 tahun. Pada tahap ini anak nampak langsing seperti tahap II.
c. Menurut Freud
Tahap-tahap perkembangan manusia ini menurut Freud membagi menjadi empat fase, yaitu:
· Fase Oral : dari umur 0,0 sampai 1,0 tahun. Pada tahap ini mulut merupakan daerah utama dari aktifitas yang dinamika pada manusia
· Fase Anal : dari umt 0,0 samapi 3,0 tahun. Pada tahap ini dorongan dan aktivitas gerak berpusat pada fungsi pembuangan kotoran (anus)
· Fase Falis : dari umur 3,0 tahun sampai 5,0 tahun. Pada tahap ini alat-alat kelamin merupakan daerah erogen yang penting dan pendorong aktifitas.
· Fase Laten : dari umur 5,0 tahun sampai 12 tahun. Pada tahap ini dorongan-dorongan aktifitas cenderung untuk istirahat dalam arti tidak meningkatkan kecepatan pertumbuhan
· Fase Pubertas : dari umur 12 tahun sampai 20 tahun. Pada tahap ini dorongan-dorongan mulai aktif kembali.Kelenjar-kelenjar endoktrin tumbuh pesat dan berfungsi mempercepat pertumbuhan ke arah kematangan.
· Fase Genital : setelah umur 20 tahun dan seterusnya, maka dalam tahap ini pertumbuhan genital merupakan dorongan yang penting bagi tingkah laku seseorang dan telah siap untuk terjun ke dalam kehidupan masyarakat dewasa.
2. Fase Perkembangan Berdasarkan Didaktik/Pedagogik
a. Pendapat Johan Amos Comenius
Fase-fase perkembangan jiwa berdasarkan didaktik menurut Comenius dibedakan menjadi empat fase, yaitu:
· Fase I : umur 0,0 sampai 6,0 tahun. Pada tahap ini anak masuk Scola Materna (sekolah ibu)
· Fase II : umur 6,0 samapi 12 tahun. Pada tahap ini anak masuk scola Vermacula (sekolah bahasa ibu)
· Fase III : umur 12 tahun sampai 18 tahun. Pada tahap ini anak masuk Scola Latina (sekolah latin)
· Fase IV : Umur 18 tahun sampai 24 tahun. Pada tahap ini anak masuk academica (akademia)
Comenicus berpendapat bahwa tingkat perkembangan jiwa anak digunakan sebagai dasar dalam pembagian sekolah, sehingga terjadi bermacam-macam sekolah yang digunakan tempat pendidikan anak sesuia dengan umurnya
b. Pendapat J.J. Rousseau
Fase-fase perkembangan manusia adalah:
· Fase I : dari umur 0,0 sampai 2,0 tahun. Tahap ini disebut tahap asuhan
· Fase II : dari umur 2,0 sampai 12 tahun. Tahap ini dinamakan tahap pendidikan jasmani dan latihan-latihan panca indera
· Fase III : dari umur 12 sampai 15 tahun. Tahap ini disebut tahap pendidikan akal pikiran
· Fase IV : dari umur 15 sampai 20 tahun. Tahap ini disebut tahap pembentukan watak dan pendidikan agama.
Berdasarkan fase perkembangan tersebut maka masing-masing tingkat pendidikan sekolah, harusnya memberikan pelajaran dan mendidik sesuai dengan perkembangan peserta didik. Keduanya yaitu apa yang diberikan dan cara mengajar dan mendidik harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik.
3. Fase Perkembangan Berdasarkan Psikologis
a). Pendapat Oswald Kroch
Selama perkembangannya individu mengalami masa trotz (kegoncangan dua kali, perkembangan itu dapat dilukiskan sebagai proses evolusi, maka pada masa kegoncangan itu, perkembangan individu dapat digambarkan melewati tiga periode, yaitu:
- Dari lahir sampai dengan masa trotz pertama yang biasanya disebut masa kanak-kanak
- Dari masa trotz pertama sampai dengan trotz kedua, biasanya disebut masa keserasian bersekolah’
- Dari trotz kedua sampai dengan akhir remaja, biasanya disebut masa kematangan
b). Pendapat Khosntam
0-2 tahun (masa vital)
2-7 tahun (masa estetis)
7-13/4 tahun (masa intelektual)
3/14 tahun 20/21 tahun (masa sosial)[9]
Menurut Kartini Kartono dalam bukunya Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), ada beberapa tokoh dalam aliran lainnya yang mengemukakan tentang tahap atau konsep perkembangan anak diantaranya:
a). Pendapat Charlotte Buhler
Buhler membagi masa perkembangan sebagai berikut:
Fase Pertama, 0-1 tahun: masa menghayati obyek-obyek di luar diri sendiri, dan saat melatih fungsi-fungsi. Terutama melatih fungsi motorik, yaitu fungsi yang berkaitan dengan gerakan-gerakan dari badan dan anggota badan
Fase kedua, 2-4 tahun: masa pengenalan dunia obyektif di luar diri sendiri, disertai penghayatan subyektif. Mulai ada pengenalan pada AKU sendiri, dengan bantuan bahasa dan kemauan sendiri. Anak tidak mengenal dunia luar berdasarkan pengamatan obyektif, melainkan memindahkan keadaan batinnya pada benda-bemda di luar dirinya. Karena itu ia bercakap-cakap dengan bonekanya, bergurau dan berbincang-bincang dengan kelincinya. Seperti kedua binatang dan benda permainan itu betul-betul memilki sifat-sifat yang dimilikinya sendiri. Fase ini disebut pula sebagai fase bermain, dengan subyektivitas yang sangat menonjol.
Fase ketiga, 5-8 tahun: masa sosialisasi anak. Pada saat ini anak mulai memasuki masyarakat luas (misalnya taman kanak-kanak, pergaulan dengan kawan-kawan sepermainan, dan sekolah rendah). Anak mulai belajar mengenal dunia sekitar secara obyektif. Dan ia mulai belajar mengenal arti prestasi pekerjaan, dan tugas-tugas kewajiban.
Fase keempat, 9-11 tahun: masa sekolah rendah. Pada periode ini anak mencapai obyektifitas tertinggi. Masa penyelidik, kegiatan mencoba dan bereksperimen, yang distimulir oleh dorongan-dorongan meniliti dan rasa ingin tahu yang besar. Merupakan masa pemusatan dan penimbunan tenaga untuk berlatih, menjelajah dan bereksplorasi.
Pada akhir fase ini anak mulai “menemukan diri sendiri”, yaitu secara tidak sadar mulai berfikir tentang diri pribadi. Pada waktu itu anak sering kali mengasingkan diri.
Fase kelima, 14-19 tahun: masa tercapainya sintese antara sikap kedalam batin sendiri dengan sikap obyektif. Untuk kedua kali dalam kehidupannya anak bersikap subyektif ( Subyektifitas pertama terdapat pada fase kedua, yaitu usia 3 tahun). Akan tetapi subyektifitas kedua kali ini dilakukannya dengan sadar.
Setelah berumur 16 tahun pemuda dan pemudi mulai belajar melepaskan diri dari persoalan tentang diri sendiri. Ia lebih mengarahkan minatnya pada lapangan hidup konkrit, yang dahulu hanya dikenal secara subyektif belaka. Lambat laun akan terbentuk persesuaian antara pengarahan diri ke dalam dan pengarahan diri ke luar. Diantara subyek dan obyek ( yang dihayatinya) mulai terbentuk satu sintese. Dengan tibanya masa ini, tamatlah masa perkembangan anak dn perkembangan remaja. Melalui Individu yang bersangkutan memesuki batas kedewasaan.
b). Hackel
Hackel, seorang sarjana Jerman mengemukakan hukum biogenetis sebagai berikut:
Ontogenese itu adalah rekapitulasi dari phylogenese artinya, perkembangan individu itu merupakan ulangan ringkas dari perkembangan manujsia.
Hukum biogenetis ini disebut pula sebagai teori rekapitulasi. Penjelasan teori tadi adalah sebagai berikut: perkembangan jiwani anak itu merupakan ringkasan pendek dari proses kehidupan manusiawi. Menurut teori ini, semua bentuk gejala perkembangan dari kehidupan psikis manusia di dunia akan dijalani oleh anak dengan “langkah-langkah besar, dan dalam waktu yang singkat”(ada singkatan dan percepatan langkah hdup). Misalnya, kesukaan anank-anak pada warna-warna yang menyala, sama dengan kesukaan dari suku bangsa-bangsa yang masih primitif. Kesenangan anak pada musik dan suara gaduh, juga sama dengan kesukaan suku-suku yang primitif. Ketakutan anak-anak pada setan dan hantu-hantu menyamai fikiran yang animistis pada bangsa-bangsa yang belum beadab.
Menurut teori ini, orang membedakan 4 periode dalam masa perkembangan anak, yaitu
- Masa perampokan/penggarongan dan masa perburuan, sampai kira-kira usia 8 tahun. Pada masa ini, anak-anak memperlihatkan kesukaan menangkap macam-macam binatang dan serangga, main panah-panahan dan ketapel-pelanting, membangun teratak, main selinap, megendap-ngendap, dan memburu kawan-kawannya.
- Masa Penggembalaan, 8-10 tahun. Pada usia ini anak suka sekali memelihara ternak dan binatang jinak. Misalnya memelihara kelinci, merpati, bajing, kucing, anjing, kambing, domba, ayam, dan lain-lain. Dengan penuh kasih sayang anak-anak menimang-nimang dan membelai binatang peliharaannya.
- Masa Pertanian, 11-12 tahun. Pada usia ini anak memperlihatkan kesukaan menanam macam-macam tetumbuhan dan kegiatan berkebun.
- Masa perdagangan, 13-14 tahun. Anak gemar sekali mengumpulkan macam-macam benda, serta bertukar/”jual-beli” perangko, uang receh, kartu pos bergambar, manik-manik, batu-batuan dan lain-lain.
Ada teori yang menyebut teori rekapitulasi ini sebagai teori persamaan, karena masa perkembangan anak tersebut mirip dengan perjalanan historis manusia (Claparede dari Swiss).
c). Menurut William Stern
William Stern menyebutkan hukum biogenetis dari hackel tadi sebagai paralel-paralel genetis. Sebab tidak setiap perkembangan psikis anak merupakan ulangan tepat dari pengalaman historis manusia. Akan tetapi memang ada banyak paralelitas atau persamaannya, misalnya saja, priode 2-7 tahun, disamakan oleh Stern dengan kehidupan suku-suku bangsa alam (natuurvolken). Tahun-tahun pertama di sekolah dasar disamakan dengan priode berkuasanya kaum patriakh. Sedangkan masa pubertas disamakan dengan priode aufklarung (aliran di jerman pada abad ke-18 yang menuntut adanya penerangan jiwa/ Geestes-verlichting).
Pada lazimnya seorang anak muda disebut sebagai dewasa apabila ia telah mencapai umur 21 tahun. Karena pada usia ini ia dianggap sanggup berdiri sendiri, dan bisa bertanggung jawab dalam melaksankan tugas hidupnya. Perkembangan badani dan jiwaninya pada taraf tersebut dianggap mencapai suatu “penyelesaian” tertentu, karena individu sudah mendapatkan satu pendirian dan sikap hidup pendiri.
Dengan pengalaman dan kemampuannya ia dianggap sanggup menjadi seoarang pribadi atau person yaitu seorang manusia “dewasa baru”. Dia dianggap bsa mandiri, dan menjadi manusia “yang dicita-citakan” menurut pola angan-angannya, yaitu seorang manusia baik atau manusia buruk menurut kriteria normatif sendiri. Pada saat inilah benar-benar dimulai proses pendidikan diri sendiri atau proses Bildung oleh anak tersebut.
Apakah dia menjadi bertambah sempurna dan semankin kaya hidup kejiowaannya, ataukah menjadi lebih buruk dan jahat, semuanya dipengaruhi oleh pilihannya sendiri dan pengalaman-pengalaman hidupnya. Jadi semata-mata bergantung pada cara individu mengolah dan mengahayati pengalaman tadi untuk sampai pada taraf sedemikian diperlukan pengembangan kemampuan:
a. Mengontrol diri sendiri
b. Kepatuhan kepada disiplin yang kokoh
c. Kejujuran dan keberanian untuk melakukan introspeksi atau mawas diri
Dengan modal kemampuan tersebut akan timbul kesadaran pada anak muda akan tanggung jawab untuk pembentukan diri sendiri menjadi pribadi yang berwatak dan bernilai tinggi secara susila.[10]
E. Ciri-Ciri Kematangan
Setiap fenomena /gejala perkembangan anak merupakan produk dari kerjasama san pengaruh timbal balik antara potensialitas hereditas dengan factor-faktor lingkungan. Jelasnya perkembangan merupakan produk dari:
1) Pertumbuhan dan pematangan fungsi-fungsi fisik
2) Pematangan fungsi-fungsi psikis
3) Usaha”belajar”oleh subyek/anak dalam mencobakan segenap potensialitas rohani dan jasmaninya.
Dengan demikian, kaitan antara perkembangan yang mencakup aspek-aspek psikis serta aspek jasmani, dan belajar lebih lanjut yang dimungkinkan karena proses perkembangan itu menjadi semakin kompleks. Dalam arti demikianlah boleh dikatakan : anak belajar karena telah berkembang. Dalam kaitan ini dapat digunakan istilah “kematangan”dan “masa peka”. Namun, kedua istilah tersebut dapat diartikan dengan berbagai cara:
1) Kematangan sebagai “kematangan seksual’’. Dalam arti demikian, termasuk aspek jasmani dalam perkembangan (pertumbuhan) dan tidak tergantung pada usaha belajar anak sendiri.
2) Kematangan sebagai”keseluruhan proses perkembangan sudah sampai tahap tertentu, sehingga memungkinkan anak mempelajari hal-hal baru”. Misalnya anak baru siap pada masa remaja untuk belajar mengambil peranan dalam kehidupan masyarakat luas dan menjadi anggota masyarakat. Lain contoh ialah kematangan yang dituntut bila anak akan masuk jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Dalam arti demikian, kematangan untuk sebagian bergantung pada pertumbuhan dan untuk sebagian pada perkembangan psikis yang menuntut belajar.
3) Kematangan sebagai “masa yang sebaik-baiknya untuk mengembangkan suatu fungsi tertentu dalam diri seorang anak”. Misalnya, anak yang sudah mampu berjalan kaki akan berkeliling dalam rumah dan bertanya-tanya mengenai benda yang dijumpai. Inilah masa anak akn siap untuk maju dalam asprk perkembangan intelektual. Dia mulai mengenal benda-benda baru dan kata-kata baru sebagai nama bagi semua benda itu. Misalnya, masa remaja adalah masa yang ideal untuk mengembangkan kesadaran tentang moralitas, yang kemudian mengendap dalam pengambilan sikap dan penghayatan nilai-nilai moral dan agama. Demikian pula pada masa remaja aspek perkembangan sosial dapat meluas lagi melalui pembinaan hubungan percintaan dengan jenis yang lain. Kalau kematangan diartikan demikian, digunakan juga istilah “masa peka”.[11]
Individu-individu yang dapat melakukan aktualisasi diri sepenuhnya adalah individu-individu yang memiliki kepribadian sehat. Sedangkan kepribadian sehat adalah kepribadian yang bukan saja terlepas dari konflik-konflik yang ada hubungannya dengan masa anak-anak dan luka-luka emosional masa lampau, tetapi lebih dari itu yaitu mampu mewujudkan sumber-sumber yang tersembunyi berupa bakat kreatifitas, energy dan dorongan. Dan fokusnya adalah kearah apa seseorang dapat menjadi dirinya sendiri, bukan kepada apa yang telah terjadi atau ada pada saat ini. Di dalam kepribadian yang sehat terdapat ciri-ciri kedewasaan atau kematangan. Banyak pendapat ahli yang menjelaskan tentang cirri-ciri kematangan tersebut, di antaranya adalah pendapat Abraham Maslow, yaitu:
- Memiliki kemampuan menerima diri sendiri, orang lain dan alam dunia ini tanpa perasaan malu atau bahkan suatu kebencian.
- Terdapat aktualisasi diri, dan kemampuan efesiensi dalam menerima realita yang ada.
- Memiliki kesanggupan untuk bebas dan berdiri sendiri.
- Memiliki rasa sosial yang mendalam, dan kesanggupan identifikasi.
- Memiliki banyak spontanitas dalam mengapresiasikan dunia dalam kebudayaannya.
- Memiliki kesegaran apresiasi yang terus menerus terhadap sesamanya dalam pengartian tidak kaku dan menoton, serta tidak bersikap stereotype.
- Ada ketabahan dan keuletan dalam menjalankan tugas-tugasnya.
- Ada keinginan untuk memiliki kebebasan dan otonomi diri.
- Cakrawala kehidupannya tidak terbatas.
- Cukup selektif dalam menjalin relasi-sosial.
- Ada kesadaran humor yang filsafi, tidak memiliki sikap bermusuhan terhadap orang lain.
- Memiliki keteguhan untuk berpegang pada tujuan akhir yang hendak dicapainya.
- Memilikin kretifitas.
- Di dalam struktur karakter, nilai-nilai dan sikapnya cukup demokratis.
F. Mengenali Tanda-Tanda Kedewasaan Pada Diri Seseorang
Para ahli psikologi dan psikiater sepakat, bahwa kesuksesan seseorang ditandai dengan berkembangnya prestasi serta kematangan emosinya. Meski tidak ada orang yang menyangkal pernyataan ini, tetapi sedikit orang yang mengetahui secara pasti tentang bagaimana penampilan seseorang yang dewasa atau matang itu, bagaimana cara berpakaian dan berdandannya, bagaimana caranya menghadapi tantangan, bagaimana tanggung jawabnya terhadap keluarga, dan bagaimana pandangan hidupnya tentang dunia ini. Yang jelas kematangan adalah sebuah modal yang sangat berharga. Sesungguhnya apa yang disebut dengan kematangan atau kedewasaan itu?
Kedewasaan tidak selalu berkaitan dengan intelegensi. Banyak orang yang sangat brilian namun masih seperti kanak-kanak dalam hal penguasaan perasaannya, dalam keinginannya untuk memperoleh perhatian dan cinta dari setiap orang, dalam bagaimana caranya memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain, dan dalam reaksinya terhadap emosi. Namun, ketinggian intelektual seseorang bukan halangan untuk mengembangkan kematangan emosi. Malah bukti-bukti menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Orang yang lebih cerdas cenderung mempunyai perkembangan emosi yang lebih baik dan superior, serta mempunya kemampuan menyesuaikan diri atau kematangan sosial yang lebih baik.
Kedewasaan pun bukan berarti kebahagiaan. Kematangan emosi tidak menjamin kebebasan dari kesulitan dan kesusahan. Kematangan emosi ditandai dengan bagaimana konflik dipecahkan, bagaimana kesulitan ditangani. Orang yang sudah dewasa memandanng kesulitan-kesulitannya bukan sebagai malapetaka, tetapi sebagai tantangan-tantangan.
Apa sih kedewasaan/kematangan itu? Menurut kamus Webster, adalah suatu keadaan maju bergerak ke arah kesempurnaan. Definisi ini tidak menyebutkan preposisi "ke" melainkan "ke arah". Ini berarti kita takkan pernah sampai pada kesempurnaan, namun kita dapat bergerak maju ke arah itu. Pergerakan maju ini uniq bagi setiap individu. Dengan demikian kematangan bukan suatu keadaan yang statis, tapi lebih merupakan suatu keadaan "menjadi" atau state of becoming. Pengertian ini menjelaskan, suatu kasus misal, mengapa seorang eksekutif bertindak sedemikian dewasa dalam pekerjaannya, namun sebagai suami dan ayah ia banyak berbuat salah. Tak ada seseorang yang sanggup bertindak dan bereaksi terhadap semua situasi dan aspek kehidupan dengan kematangan penuh seratus persen. Mereka dapat menangani banyak proble secara lebih dewasa. Berikut ini ada beberapa kualitas atau tanda mengenai kematangan seseorang. Namun, kewajiban setiap orang adalah menumbuhkan itu di dalam dirinya sendiri, dan menjadi bagian dari dirinya sendiri. Maka, orang yang dewasa/matang adalah:
1 .Dia menerima dirinya sendiri
Eksekutif yang paling efektif adalah ia yang mempunyai pandangan atau penilaian baik terhadap kekuatan dan kelemahannya. Ia mampu melihat dan menilai dirinya secara obyektif dan realitis. Dengan demikian ia bisa memilih orang-orang yang mampu membantu mengkompensasi kelemahan dan kekurangannya. Ia pun dapat menggunakan kelebihan dan bakatnya secara efektif, dan bebas dari frustasi-frustasi yang biasa timbul karena keinginan untuk mencapai sesuatu yang sesungguhnya tidak ada dalam dirinya. Orang yang dewasa mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik, dan senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Ia tidak berkepentingan untuk menandingin orang lain, melainkan berusaha mengembangkan dirinya sendiri. Dr. Abraham Maslow berkata, "Orang yang dewasa ingin menjadi yang terbaik sepanjang yang dapat diusahakannya. Dalam hal ini dia tidak merasa mempunyai pesaing-pesaing.
2. Menghargai Orang Lain
Eksekutif yang efektif pun bisa menerima keadaan orang lain yang berbeda-beda. Ia dikatakan dewasa jika mampu menghargai perbedaan itu, dan tidak mencoba membentuk orang lain berdasarkan citra dirinya sendiri. Ini bukan berarti bahwa orang yang matang itu berhati lemah, karena jika kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri seseorang itu sudah sedemikian mengganggu tujuan secara keseluruhan, ia tak segan memberhentikannya. Ukuran yang paling tepat dan adil dalam hubungan dengan orang lain bahwa kita menghormati orang lain, adalah ketiadaan keinginan untuk memperalat atau memanipulasi orang lain tersebut.
3 . Menerima Tanggung Jawab
Orang yang tidak dewasa akan menyesali nasib buruk mereka. Bahkan, mereka berpendapat bahwa nasib buruk itu disebabkan oleh orang lain. Sedangkan orang yang sudah dewasa malah mengenal dan menerima tanggung jawab dan pembatasan-pembatasan situasi dimana ia berbuat dan berada. Tanggung jawab adalah perasaan bahwa seseorang itu secara individu bertanggung jawab atas semua kegiatan, atau suatu dorongan untuk berbuat dan menyelesaikan apa yang harus dan patut diperbuat dan diselesaikan. Mempercayakan nasib baik pada atasan untuk memecahkan persoalan diri sendiri adalah tanda ketidakdewasaan. Rasa aman dan bahagia dicapai dengan mempunyai kepercayaan dalam tanggung jawab atas kehidupan sendiri.
4 . Percaya Pada Diri Sendiri
Seseorang yang matang menyambut dengan baik partisipasi dari orang lain, meski itu menyangkut pengambilan keputusan eksekutif, karena percaya pada dirinya sendiri. Ia memperoleh kepuasan yang mendalam dari prestasi dan hal-hal yang dilaksanakan oleh anak buahnya. Ia memperoleh perasaan bangga, bersama dengan kesadaran tanggung jawabnya, dan kesadaran bahwa anak buadanya itu tergantung pada kepemimpinannya. Sedangkan orang yang tidak dewasa justru akan merasa sakit bila ia dipindahkan dari peranan memberi perintah kepada peranan pembimbing, atau bila ia harus memberi tempat bagi bawahannya untuk tumbuh. Seseorang yang dewasa belajar memperoleh suatu perasaan kepuasaan untuk mengembangkan potensi orang lain.
5 . Sabar
Seseorang yang dewasa belajar untuk menerima kenyataan, bahwa untuk beberapa persoalan memang tidak ada penyelesaian dan pemecahan yang mudah. Dia tidak akan menelan begitu saja saran yang pertama. Dia menghargai fakta-fakta dan sabar dalam mengumpulkan informasi sebelum memberikan saran bagi suatu pemecahan masalah. Bukan saja dia sabar, tetapi juga mengetahui bahwa adalah lebih baik mempunyai lebih dari satu rencana penyelesaian.
6.Mempunyai Rasa Humor
Orang yang dewasa berpendapat bahwa tertawa itu sehat. Tetapi dia tidak akan menertawakan atau merugikan/melukai perasaan orang lain. Dia juga tidak akan tertawa jika humor itu membuat orang lain jadi tampak bodoh. Humor semestinya merupakan bagian dari emosi yang sehat, yang memunculkan senyuman hangat dan pancaran yang manis. Perasaan humor anda menyatakan sikap anda terhadap orang lain. Orang yang dewasa menggunakan humor sebagai alat melicinkan ketegangan, bukan pemukul orang lain.[12]