Makalah Sejarah Perkembangan Dan Pembukuan Hadis Nabi Muhammad Saw
A. Pendahuluan
Hadits Nabi (Rasulullah) saw yang sampai kepada kita dalam bentuk penuturan maupun tulisan adalah melalui perjalanan sejarah yang panjang. Jika al-Qur’an sejak zaman Nabi sampai terwujudnya pembukuan (mushaf) sebagaimana kita saksikan hari ini memerlukan waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 15 tahun, maka untuk hadits Nabi memerlukan waktu yang relatif panjang dan penuh variasi. Oleh karena itu mengetahui sejarah perkembangan yang dilalui, sejak masa Rasulullah saw masih hidup di tengah-tengah kaum muslimin sampai masa pembukuan dan penyempurnaan sistematikanya menjadi sangat penting.
Jika periwayatan dan penuturan al-Qur’an harus disampaikan dengan menjaga kepersisan dan ketepatan redaksinya (riwayat bi al-lafdzi), maka penuturan hadits Nabi boleh diriwayatkan bi al-ma’na (ditekankan pada kebenaran maknanya, bukan redaksinya). Oleh karena itu keragaman redaksi hadits tidak dapat dielakkan. Dalam konteks ini, pengetahuan tentang sejarah perkembangan dan pembukuan hadits Nabi akan membantu memahami usaha yang dilakukan Nabi saw bersama para sahabat dan para ulama dalam menjaga otentisitas hadits Nabi saw.
PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Dan Pembukuan Hadis Nabi Muhammad Saw
1. Hadits Nabi Pada Periode Abad I H
Periode abad I H ini meliputi zaman Nabi saw, Sahabat Nabi dan zaman Tabi’in besar (senior) di masa pemerintahan Bani Umayah, yaitu ahir abad I H. Rasulullah membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan masa turunnya wahyu , termasuk masa wurudnya hadits Nabi saw. Wahyu yang diterima oleh Nabi saw dijelaskan melalui perkataan, perbuatan, persetujuan dan sikap yang melekat dalam sifat-sifat beliau. Oleh karena itu apa yang didengar, dilihat, disaksikan dan dirasa (melalui internalisasi nilai) oleh para sahabat, dijadikan sebagai pedoman bagi amal ibadah mereka. Dalam hal ini Nabi saw merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena beliau memiliki sifat-sifat sempurna selaku Rasulullah, yang berbeda dengan manusia lainnya. Oleh karena hadits merupakan bagian penting dari wahyu yang diterima Nabi, maka dalam rangka menyosialisasikan, ditempuh upaya sebagai berikut:
a. Langkah-Langkah Nabi saw dalam menyebarkan Hadits/Sunnah
1. Mendirikan sekolah
Ketika Rasulullah masih berada di Makkah, beliau menyebarkan sunnahnya dengan mendirikan semacam majlis ta’lim (kelompok dakwah) sebagaimana yang terjadi di rumah al-Arqam (bait al-Arqam) dan sahabat yang lain. Kemudian setelah hijrah ke kota Madinah beliau mendirikan sekolah/madrsah. Berbagai majlis ilmu ini bukan hanya diadakan di masjid tetapi juga di rumah-rumah, termasuk pertemuan husus untuk kaum wanita. Pada majlis-majlis inilah para sahabat menerima hadits Nabi, kemudian para sahabat mempelajari dan mengulanginya serta menghafal.[1] Di samping itu kegiatan sekolah ini pada umumnya juga mengirimkan guru dan katib ke berbagai wilayah di luar kota Madinah. Contohnya sejumlah utusan dikirim ke Adzal dan Qara pada tahun ke 3 H. Ke Bi’ru Ma’unah tahun ke 4 H, ke Najran, Yaman dan Hadramaut tahun ke 9 H.[2]
2. Memberikan Perintah/Instruksi
Nabi bersabda, “Sampaikanlah pengetahuan dariku meskipun hanya satu ayat.”[3] Tekanan yang sama dapat dilihat pada pidato Nabi saw pada saat Hajji wada’: “Yang hadir di sini hendaklah menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir.” [4] Karena itu merupakan praktik umum di kalangan sahabat Nabi untuk memberitahukan ucapan dan perbuatan Nabi kepada sahabat yang lain yang tidak hadir. Delegasi yang dating ke Kota Madinah diperintahkan untuk mengajarkan kepada kaumnya. Contoh seperti Malik bin Huwairits ditugasi oleh Nabi mengajar pada kaumnya. Tugas ini tetap diemban hingga jauh sesudah Rasul wafat. Tugas yang sama juga diberikan kepada yang lain.[5]
1. Memberi Motivasi Bagi Pengajar dan Penuntut Ilmu;
Nabi saw tidak hanya memeritah dalam mendidik masyarakat, tetapi juga menjanjikan penghargaan (pahala) yang besar bagi subyek pendidikan. Nabi saw bersabda :” Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”[6]. “Barang siapa menempuh jalan menuju pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”[7] Bagi mereka yang mengajar, Rasulullah menyampaikan sabdanya;” Barang siapa menunjukkan jalan kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala yang besarnya sama dengan orang yang melakukan perbuatan baik tersebt”. Bahkan Rasul memberikan peringatan kepada orang yang berilmu , tetapi tidak mau mengajarkan kepada yang lain :”Barang siapa menyimpan/menahan ilmu, maka ia akan dicambuk dengan api neraka”.[8] Sungguhpun demikian Nabi tetap menyerukan supaya penyampaian hadits itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan jujur. Untuk itu nabi memberikan peringatan:”Barang siapa berdusta atas nama-ku, maka bersiaplah menempati kedukannya/tempat duduknya di Neraka”.
b. Metode Pengajaran Nabi
Metode yang digunakan Nabi saw untuk mengajarkan hadits/sunnahnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori: yaitu metode lisan, metode tulisan dan metode peragaan praktis.
1. Metode Lisan
Nabi saw adalah guru bagi sunnah dan ummatnya. Untuk memudahkan hafalan dan pengertian, beliau biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Sesudah mengajari shahabat, biasanya beliau mendengarkan lagi apa yang sudah mereka pelajari.[9] Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Nabi saw dalam menyampaikan pesan dengan lisan ini, yaitu : Pertama, Nabi menyampaikan pesannya di hadapan jam’ah. Dalam kesempatan semacaam ini para sahabat banyak yang memanfalkannya secara antusias. Oleh karena itu farum ini dihadiri secara bergantian, seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab, artinya jika sewaktu-waktu ia tak dapat hadir, maka ia berpesan kepada temannya yang hadir supaya menginformasikan hasilnya kepada Umar. Demikian pula jika Umar yang hadir, sementara kawannya absen, maka Umar berkewajiban menginformasikan hasilnya.[10] Bahkan kepala suku yang jauh mengirimkan utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada anggota suku mereka.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan pesan haditsnya kepada sahabat tertentu, kemudian oleh sahabat tersebut disampaikan kepada yang lain. Hal ini terjadi karena secara tehnis memang mengharuskan demikian. Contohnya seperti ketika Rasulullah menyampaikan petunjuk yang berhubungan dengan hal-hal yang sensitive, seperti mengenai hubungan suami istri, Dalam hal ini disampaikan Nabi kepada istri-istrinya. Contoh lainnya, ketika Rasul dalam suatu perjalanan bersama beberapa orang sahabatnya, maka dalam hal ini yang menerima langsung hanya sedikit, kemudian berita itu diteruskan oleh sahabat yang mendampingi Nabi, kepada sahabat lain yang tidak ikut
2. Metode Tulisan
Seluruh surat Rasulullah kepada raja-raja, penguasa daerah, kepala suku dan gubernur Muslim dapat dikategorikan ke dalam metode tulisan. Beberapa surat terdapat yang isinya sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum ibadah, zakat dan perpajakan, serta lainnya. Jumlah hadits Nabi yang ditulis dalam bentuk surat Nabi ini cukup banyak, apalagi jika digabung dengan tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dan sebagainya.
Memang metode tulis dalam penyampaian hadits ini pernah menjadi perdebatan, khususnya pada masa Nabi dan sahabat. Akan tetapi menurut penelitian Musthafa A’dhami , data sejarah memperkuat metode tulisan juga digunakan oleh Rasulullah.
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu belum memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul (secara husus) sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu. Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda
لا تكتبو ا عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فليمحه- رواه مسلم .
Artinya:
"Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)
Mereka berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ash, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda: [11]
أكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج من فمي إلا حق - مسلم
Artinya:
"Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: "Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah dari padaku, selain Abdullah bin Amr bin Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya". Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin, yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis Nabi dengan AI-Quran Sedangkan izin penulisan hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis Nabi dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada larangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Sedangkan izin menulis hadis Nabi diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.[12]
Di antara sahabat Nabi yang mencatat hadits Nabi dalam shahifah-shahifahnya adalah:
- Abdullah bin Amr bin Ash. Shahifahnya diberi nama الصحيفة الصادقة Menurut Ibnu al-Atsir di dalam shahifah tersebut termuat sekitar 1000 hadits. Hadits-hadits Abdullah bin Amr ini sekarang terhimpun bersama sama hadits yang disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab Musnadnya.
- Jabir bin Abdullah al-Anshari. Shahifahnya disebut Shahifah Jabir. Imam Muslim dalam kitab shahihnya telah menghimpun hadits-hadits Jabir bin Abdullah ini dalam masalah hajji.
- Abdullah bin Abi Awfa. Shahifahnya dikenal dengan nama Shahifah Abdullah bin Abi Awfa.
- Samurah bin Jundub. Shahifahnya diwarisi oleh anaknya yang bernama Sulaiman bin Samurah.
- Ali bin Abi Thalib, Shahifahnya berisi hadits-hadits Nabi yang berhubungan dengan diyat.[13]
3 Metode Peragaan Praktis
Metode ini biasanya wujud dalam hadits fi’liyah, seperti tata cara wudlu, tayammum, shalat, hajji dan sebagainya. Banyak ketentuan al-Qur’an yang bersifat mujmal. Kemudian Rasulullah memberikan petunjuk praktis supaya kaum muslimin dapat memahaminya dengan mudah. Menyangkut masalah peragaan praktis ini biasanya Rasulullah juga memberikan instruksi yang jelas, seperti sabda Nabi saw ; “shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.”[14] Dan hadits Nabi ;” Belajarlah kalia dariku upacara manasik ibadah hajjiku.”[15] Demikian juga jika Nabi saw menjawab pertanyaan yang banyak, beliau biasanya meminta si penanya tinggal beberapa saat bersama nya, dan belajar melalui pengamatan terhadap praktik beliau.
c. Cara Shahabat Nabi Dalam Menerima dan Menyampaikan Hadits
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa cara yang dialami para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi saw ialah penerimaan langsung dan penerimaan tidak langsung. Yang dimaksud secara lansung yaitu mereka langsung mendengar atau melihat sendiri apa yang disampaikan dan dilakukan oleh Nabi saw. Sedangkan cara tidak langsung adalah mereka tidak secara langsung mendengar atau melihat perkataan dan perbuatan Nabi saw., tetapi mereka dapat mengikuti dan menerima hadits –hadits beliau dengan jalan bertanya kepada sahabat lain yang hadir di majlis Nabi.
Adapun cara-cara yang digunakan para shahabat di dalam menyampaikan hadits kepada orang lain (baik kepada sesama sahabat atau kepada tabi’in) ialah melalui dua cara :
1. Dengan lafadz asli (bi al-lafdzi); yaitu menyampaikan hadits yang diterimanya sesuai dengan redaksi yang didengar. Periwayatan dengan lafadz ini tentu hanya berkaitan dengan hadits qawliyah., Sedangkan untuk hadits fi’liyah tentu tidak mungkin diriwayatkan dengan lafdzi.
2. Dengan makna (secara maknawi) ; yakni hadits yang telah diterima oleh para sahabat tersebut disampaikan dengan mengemukakan maknanya saja, tidak persis dengan redaksi yang didengar dan diucapkan Nabi saw.. Jadi bahasa dan redaksinya disusun oleh sahabat sendiri, sadang isinya dari Nabi saw. Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi menyatakan bahwa yang penting dari hadits ialah isinya (contens). Sedang bahasa dan redaksinya boleh dengan susunan yang berbeda, asal tidak menyalahi isinya.[16]
Sepeninggal Nabi saw wafat, amanat melestarikan dan membina hadits/sunnah Nabi menjadi tanggung jawab para sahabat, terutama para khalifah pengganti Nabi saw. Secara umum pembinaan hadits yang dilakukan para sahabat adalah sebagai berikut:
1. Sangat hati-hati dalam periwayatan. Artinya mereka sangat memperhatikan rawi dan matan hadits dalam hal penerimaan dan periwayatan.
2. Tidak memperbanyak periwayatan dan penerimaan hadits. Hal ini jangan diartikan bahwa mereka kurang serius dalam melestarikan hadits, namun sesungguhnya hal ini tidak tertuju pada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, dan supaya perhatian masyarakat muslim (hususnya yang sedang dalam proses pembelajaran) tidak terganggu dalam mempelajari al-Qur'an. Pada masa sahabat penyiaran sunnah Nabi berjalan seiring dengan kebutuhan pembinaan hokum(ketentuan ajaran Islam) yang diperlukan, dengan pengawalan yang cukup ketat. Hadits-hadits yang tidak ada kaitannya dengan pembinaan Syariat, atau tidak memcerminkan sunnah Nabi dilarang untuk disebarkan.[17]
3. Para sahabat yunior , telah mulai banyak yang mengadakan perlawatan ke luar kota/ daerah-daerah, sebab para sahabat senior sebagian berada di sana.
Sedangkan cara yang ditempuh para sahabat dalam periwayatan (kegiatan menerima dan menyampaikan) hadits, secara umum masih didominasi oleh penyampaian lisan (melalui hafalan dan ingatan), baik billafdzi, atau bi al-makna.. Hal ini terjadi karena beberapa faktor :
a. bahan untuk keperluan tulis menulis sangat langka. Mushaf yang ditulis pada masa Utsman saja hanya terdiri dari empat (menurut sebagian ulama ada lima) copy. Untuk itu menulis hadits yang jumlahnya sangat banyak tentu mengalami banyak hambatan.
b. Orang yang memiliki kemampuan baca-tulis amat sedikit sehingga dihawatirkan terjadi percampuran dengan al-qur’an
c. Tradisi saat itu mengharuskan orang melakukan periwayatan dengan lisan, Periwayatan dengan cara yang tidak lazim (misalnya dengan tulisan ) akan dinilai kurang sempurna;
d. Pendokumentasian al-qur’an dipandang lebih mendesak di banding hadits[18]
2. Hadits Pada Periode Abad II H
Masa ini dimulai pada zaman pemerintahan Banu Umaiyah angkatan ke dua (mulai khalifah Umar bin Abd. Aziz) sampai akhir abad II H (menjelang akhir masa pemerintahan Bani Abbas angakatan pertama)
Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa Bani Umayyah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Memang hafalan mereka terkenal kuat sehingga mampu menyampaikan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah, datanglah angin segar yang mendukung pembukuan hadis (yaitu sebuah usaha pembukuan hadits yang secara resmi berdasar perintah kepala negara dengan melibatkan beberapa personil, bersifat terbuka dan untuk kepentingan publik)[xix]. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara', sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima. Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dikodifikasi dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:[20]
انظر ماكان من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبه فإني خفت دروس العلم وذهاب العلماء ولاتقبل إلاحدبث الرسول صلى الله عليه وسلم ولتفشوا العلم ولتجلسوا ختى يعلم من لايعلم فإن العلم لايهلك حتى يكون سترا
Artinya:
"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyapnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu tidak sirna sampai dirahasiakan. "
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Ibnu Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut. Az-Zuhri inilah yang merupakan salah satu ulama, yang pertama kali membukukan hadis (sedang Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm, Gubernur Madinah adalah kaum birokrat pertama yang membukukan hadits nabi) .
Dari Ibnu Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Malik bin Anas (93-179 H)Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H) Ibnu Abi Dzi’bin (80-158 H) Hammam bin Sulaiman (w. 176) Sufyan al-Tsawri (97-161 H) Al-Awza’I (88-157 H) Ibnu al-Mubarak (118-181 H) Jarir bin Abd Hamid (110-188 H) Muhammad bin Ishaq (w. 151)dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya.[xxi]
Di antara kitab hadits yang disusun pada abad II H, dan dapat sampai di tengah-tengah kita adalah :
1. Al-Muwatha’, disusun oleh Imam Malik bin Anas atas permintaan khalifah Abu Ja’far al-Manshur.
2. Musnad al-Syafi'i , disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi'i Kumpulan hadits ini dimuat juga di dalam kitab beliau ,Al-Umm
3. Mukhtalif al-Hadits, susunan Muhammad bin Idris al-Syafi'i . Di dalamnya dibahas tentang cara menerima hadits sebagai hujjah, dan cara mengompromikan hadits-hadits yang secara lahiriyah tampak berlawanan.
4. Sirat al-Nabawiyah, disusun oleh Ibnu Ishaq, berisi antara lain tentang perjalanan Nabi saw dan peperangan yang terjadi zaman Nabi.[21]
a. Ciri-Ciri Pembukuan Pada Periode Abad II H
Dengan kegiatan pembukuan hadits yang pertama kali secara resmi, maka secara resmi pula kaum muslimin memiliki kitab-kitab hadits yang dapat dijadikan rujukan untuk belajar dan mendalami petunjuk-petunjuk Nabi saw. Akan tetapi buku atau kitab hadits tersebut masih dalam bentuknya yang sederhana. Secara umum ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Hadits yang dibukukan dalam kitab/dewan hadits, mencakup hadits Nabi saw, fatwa shahabat dan tabi’in. Dengan demikian kitab hadits dalam periode ini, belum ada pemisahan antara hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu’. Kitab hadits saat itu yang hanya husus menghimpun hadits Nabi saw adalah yang ditulis oleh Muhammad bin Hazm, Gubernur kota Madinah yang mendapat Instruksi Khalifah Umar bin Abd. Aziz :
لاتقبل الا حديث الرسول صلى الله عليه وسلم
b. Hadist yang ditulis dalam kitab hadits saat itu, umumnya belum dikelompokkan dalam judul-judul (maudhu’) tertentu. Dengan demikian hadits yang tertulis dalam kitab, masih bercampur antar berbagai tema, belum ada pengelompokan misalnya bab tentang hukum, sejarah Nabi, hadits tentang tafsir dan sebagainya. Yang pertama melakukan pengelompokan berdasar tema adalah Imam al-Syafi’i, yaitu masalah thalaq, terkumpul dalam satu bab.
c. Hadits-hadits yang disusun dalam kitab belum dipisah, antara yang shahih, hasan dan dha’if.
b. Pemalsuan Dan upaya Penyelamatan Hadits Nabi
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:
1. Orang yang kurang akal.
2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
4. Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.[23]
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :
1. Kitab تذكرت الموضوعات oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdisi(w. tahun 507 H)
1. Kitab الموضوعات الكبرى oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)
Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:
1. Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis:
لاتسبوا الديك فإنه صديقي
Artinya:
"Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. "
2. Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:
الباذنجان شفاء من كل داء
Artinya:
"Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. "
3. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti hadis:
لايدخل ولد الزنا الجنة
Artinya:
"Anak zina itu tidak akan masuk surga. "
4. Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :
ولاتزروازرة وزرأخرى
Artinya:
"Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. Fatir: 18)
3. Hadits Pada Periode Abad III H
Periode ini dimulai sejak masa akhir pemerintahan Bani Abbas angkatan pertama (Khalifah al-Makmun) sampai awal pemerintahan Bani Abbas angkatan ke dua (Khalifah al-Muqtadir). Periode abad ini disebut sebagai masa penyaringan dan seleksi hadits, karena pada masa inilah kegiatan pentashihan hadits Nabi mulai dilakukan dengan sitematis.
a. Kegiatan Para Ulama Hadits
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah angakatan pertama (awal pemerintahan Bani Umayah angkatan ke dua) sampai ahir abad II H, tetapi belum begitu sempurna. Kitab hadits yang ada berisi campuran antara hadits yang shahih dan dha’if. Begitu pula belum dipisahkan antara hadits yang marfu’, mauquf dan maqthu’. Maka pada awal abad III H. dilakukan upaya penyempunaan; berupa kegiatan sebagain berikut:
1. Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah yang jauh. Kegiatan ini dilakukan karena hadits-hadits Nabi yang sudah dibukukan pada abad II H baru terbatas pada hadits hadits Nabi yang ada di kota-kota tertentu saja, padahal dengan telah tersebarnya para perawi hadits ke tempat-tempat yang jauh (karena kekuasaan Islam telah semakin luas), maka masih sangat banyak hadits Nabi yang belum dibukukan. Oleh karena itu untuk melengkapi koleksi hadits Nabi, jalan satu-satunya adalah melakukan rihlah (perjalanan) ke tempat-tempat yang dimaksud. Usaha ini dipelopori oleh Imam al-Bukhori. Selama 16 tahun beliau telah melakukan perlawatan ke kota Makkah, Madinah, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mesir, Demaskus, Naisabur dan sebagainya. Kemudian diikuti Imam Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’I dan lain-lain.
2. Mengadakan klasifikasi antara hadits yang marfu’(hadits yang disandarkan kepada Nabi), mauquf (yang disandarkan kepada Sahabat Nabi) dan yang maqthu’(yang disandarkan kepada Tabi’in). Dengan usaha ini, maka hadits Nabi telah terpelihara dari percampuran dengan fatwa sahabat dan fatwa tabi’in.
3. Para ulama mulai mengadakan seleksi kualitas hadits antara hadits yang shahih dan yang dha’if. Ulama yang mempelopori kegiatan ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih. Kemudian tilanjutkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud , al-Turmudzi, al-Nasa’I, Ibnu Majah dan lain-lain. Sebelum kemunculan al-Turmudzi, klasifikasi hadits hanya terdiri atas hadits shahih dan dha’if. Akan tetapi setelah al-Turmudzi, klasifikasi itu berkembang menjadi hadits shahih, hasan dan dha’if.
4. Menghimpun kritik yang dilontarkan para ahli ilmu kalam dan lain-lain, baik kritik yang ditujukan kepada pribadi perawi maupun pada matan hadits. Kemudian dilakukan upaya pembelaan dengan melakukan bantahan terhadap kritik tersebut. Salah seorang ulama yang melakukan kegiatan ini adalah Ibnu Qutaibah dengan menyusun kitab“Ta’wilu Mukhtalif al-Hadits fi Raddi ‘Ala ada’ al-Hadits.
5. Menyusun kitab hadits hadits berdasarkan tema dan masalah, sehingga kitab tersebut memiliki bab-bab sesuai dengan masalah tertentu. Metode ini dilakukan untuk mempermudah mencari masalah yang dikandung oleh hadits. Metode ini dikenal dengan istilah metode Mushannaf. Ulama yang merintis mertode ini adalah Imam al-Bukhari, kemudian diikuti oleh muridnya sendiri yaitu Imam Muslim. Sesudah itu baru diikuti oleh Abu Dawud, al-Turmudzi dan lain-lain.[24]
b. Bentuk Penyusunan Kitab-Kitab Hadits
Sistem pembukuan (kodifikasi) hadits pada periode ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk :
1. Kitab Shahih, Yaitu kitab hadits yang disusun dengan cara menghimpun hadits-hadits yang berkualitas shahih, sedang hadits-hadits yang berkualitas tidak shahih tidak dimasukkan ke dalam kitab. Bentuk penyusunan kitab shahih termasuk bentuk mushannaf. Contohnya kitab al-Jami’ al-Shahih, karya al-Bukhari, dan al-Jani’ al-Shahih karya Imam Muslim.
2. Kitab Sunan, yaitu kitab hadits yang dususun, selaim memuat hadits-hadits yang berkualitas shahih, juga mengikut sertakan hadits yang berkualitas hasan dan dha’if, dengan catatan tidak berkualitas hadits mungkar dan terlalu lemah. Untuk hadits yang berkualitas tidak shahih biasanya , oleh penyusunnya, diterangkan kelemahannya. Kitab sunan termasuk disusun dengan metode mushannaf. Contohnya adalah Kitab Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah dan Sunan al-Darimi.
3. Kitab Musnad, yaitu kitab hadits yang disusun dengan menggunakan nama-nama perawi pertamanya (rawi dari kalangan shahabat Nabi) sebagai bab. Misalnya hadits-hadits yang diriwayatkan saiyidah A’isyah, dihimpun di bawah titel A’isyah. Hadits-hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas,dihimpun di bawah titel Ibnu Abbas dan seterusnya. Kitab musnad ini berisi hadits yang berkualitas shahih dan tidak shahih, tetapi tidak dijelaskan kualitasnya oleh sang penyusun. Contoh Kitab Musnad , karya Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad, karya Abu al-Qasim al-Baghawi, kitab Musnad , karya Utsman bin Abi Syaibah.[25]
c. Kitab-Kitab Hadits Induk
Berkat keuletan para ulama hadits yang telah bersusah-payah mengadakan perjalanan melacak hadits ke berbagai daerah, ahirnya mereka telah berhasil menyusun berbagai kitab hadits. Demikian pula berkat kesungguhan mereka dalam melakukan kegiatan penyaringan hadits, mereka telah berhasil membukukan hadits-hadits yang shahih, atau kitab-kitab yang isinya lebih banyak memuat hadits shahih. Kitab-kitab ini pada perkembangan selanjutnya dikenal al-kutub al-sittah (kitab induk enam) atau al-kitab al-tis’ah (kitab induk sembilan).
Al-Kutub al-Sittah terdiri atas kitab-kitab shahih dan kitab-kitab sunan sebagai berikut :
1. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari
2. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim
3. Sunan Abu Dawud karya Imam Abu Dawud
4. Sunan al-Turmudzi karya Imam al-Turmudzi
5. Sunan al-Nasa’i karya Imam al-Nasa’I
6. Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah
Sedangkan al-Kutub al-Tis’ah adalah terdiri atas kitab-kitab induk yang enam di atas, ditambah dengan kitab-kitan hadits berikut:
7. al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas
8. Sunan al-Darimi karya Imam al-Darimi
9. Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hambal
Suatu catatan yang perlu diketahui bahwa walaupun kitab-kitab hadits di atas disebut sebagai kitab induk (hadits), tetapi tidak semua hadits Nabi yang dikandung di dalamnya, berstatus shahih secara keseluruhan. Masih ada beberapa hadits yang kualitasnya hasan atau bahkan lemah dalam sanad tertentu. Oleh karena itu tetap diperlukan sikap kritis di dalam mempergunakannya. Tindakan selektif dengan memperhatikan pendapat para ulama yang tetah melakukan pengkajian dan penelitian hadits patut diperhatikan. Namun demikian, perlu diketahui pula bahwa jika terdapat suatu hadits yang lemah dari sisi sanad tertentu, masih ada kemungkinan shahih pada sanadnya yang lain. Untuk itu melakukan konfirmasi dan membandingkan suatu matan hadits melalui berbagai sanad yang berbeda sangat bermakna, guna menghindari sikap gegabah dalam melemahkan suatu hadits.[26]
4. Hadits Pada Periode Abad IV H ( Periode Penyempurnaan Sistematika Pembukuan) Dan Sesudahnya
Periode ini dimulai pada masa pemerintahan Bani Abbas angakatan ke dua (masa pemerintahan al-Muqtadir). Masa ini disebut juga dengan istilah periode ulama muta’akhirin[27]. Mulai pada periode ini dinamakan sebagai masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, penggabungan, pensyarahan dan pentahrijan.
a. Kegiatan Para Ulama
Pada periode ini kaadaan daulat islamiyah sudah mulai melemah, namun kegiatan para ulama hadits dalam melestarikan hadits Nabi tetap tidak terpengaruh, sebab kenyataannya masih sangat banyak para ulama yang menekuni dan mendalami serta bersungguh-sungguh dalam memelihara dan mengembangkan pembinaan hadits, sekalipun caranya berbeda dengan ulama sebelumnya.
Pada abad III H hampir seluruh hadits Nabi telah terbukukan. Oleh karena itu kegiatan para ulama abad IV H ini, meskipun masih ada yang melakukan usaha pembukuan (melakukan perlawatan ke daerah dengan tujuan mendapatkan hadits untuk dihimpunan dalam suatu kitab), tetapi kebanyakan kegiatan mereka ditujukan kepada pemeliharaan hadits dengan berpedoman pada kitab-kitab yang sudah ada, dengan cara (1) mempelajari (2) menghafal (3) memeriksa dan menyelidiki sanad (4) menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang sudah ada (5) memberikan syarah dan komentar hadits-hadits yang sudah dihimpun dalam kitab hadits yang ada.(28]
Di antara kitab-kitab yang tersusun pada abad ini ialah sebagai berikut:
1. Kitab al-Shahih, karya Ibnu Huzaimah
2. Al-Anwa’ wa al-Taqsim, susunan Ibnu Hibban
3. Kitab Musnad, karya Abu Awanah
4. Al-Muntaqa , susunan Ibnu Jarud
5. dan lain-lain
b. Ciri-Ciri Sistem Pembukuan Hadits
Ulama hadits pada periode ini di samping menyusun kitab hadits seperti metode yang ditempuh ulama sebelumnya, yaitu dalam bentuk mushannaf dan musnad, juga menyususn kitab hadits dengan sistem baru sebagai berikut:
1. Kitab Athraf; yaitu kitab hadits yang isinya hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan hadits tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan yang bersangkutan., baik dari sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip, maupun dari kitab lain. Misalnya :
a. Athraf al-Shahihain, karya Ibrahin al-Dimasyqy
b. Athraf sl-Shahihain, susunan Abu Muhammad Khallaf Ibnu Muhammad al-Wasithi
c. Athraf Kutub al-Sittah, susunan Muhammad Ibnu Thahir al-Maqdisi
2. Kitab Mustakhraj
yaitu kitab hadits yang memuat matan-matan hadits yang diriwayatkan misalnya oleh al-Bukhari dan Muslim, atau salah satunya, kemudian penyusun kitab meriwayatkan matan-matan hadits tersebut dengan menggunakan sanadnya sendiri yang berbeda. Misalnya:
a. Mustakhraj Shahih al-Bukhari , karya al-Jurjani
b. Mustakhraj Shahih Muslim, karya Abu Awanah
c. Mustakhraj Bukhari-Muslim, karya Abu Bakar Ibnu Abdan al-Syirazi
3. Kitab al-Mustadrak
yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits yang memiliki syarat , misalnya Bukhari-Muslim, atau memiliki syarat dengan salah satu kitab Bukhari-Muslim. Contohnya : Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihaini, karya Imam al-Hakim
4. Kitab Jami’
yaitu kitab hadits yang menghimpun (mengumpulkan )hadits hadits Nabi yang terlah termuat dalam kitab yang telah ada dalam satu kitab tertentu. Contohnya :
a. Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya Ibnu al-Furat
b. Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya al-Baghawi
c. Mashabih al-Sunan, karya al-Baghawi
5. Kitab Berdasar pokok Masalah
yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits Nabi berdasar masalah tertentu dari kitab-kitab yang telah ada, contohnya antara lain:
a. Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majduddin Abd. Salam
b. Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baghawi
c. Umdat al-Ahkam, karya Abd. Ghoni al-Maqdisi
6. Kitab Syarah
yaitu kitab hadits yang memuat hadits-hadits dari kitab tertentu yang sudah ada, kemudian dijelaskan dan dikomentari maksudnya, baik dengan menggunakan ayat al-qur’an, atau hadits nabi atau dengan keterangan rasional. Contohnya antara lain:
a. Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Atsqalani
b. Al-Minhaj, Syarah Muslim, karya Imam al-Nawawi
c. Aun al-Ma’bud, syarah Sunan Abi Dawud, karya Syamsul Haq al-Adhim al-Abady
d. Qutul Mughtadzi, Syarah al-Turmudzi, karya Imam al-Syuyuthi
e. Syarah Ta’liq, syarah sunan al-Nasa’i, karya Imam al-Syuyuthi
f. Al-Dibajah, syarah Sunan Ibnu Majah, karya Kamaluddin al-Damiri.
7. Kitab Mukhtashar
yaitu kitab hadits yang memuat hadits hadits yang sudah dihimpun dalam kitab yang sudah ada, dengan cara menyederhanakan / meringkas periwayatan hadits tertentu. Misalnya dengan membuang sanad, Contoh :
a. Al-Jami’ al-Shaghir, mukhtashar kitab Jam’ul Jawami’, karya Imam al-Syuyuthi
b. Muhtashar Shahih-Muslim, karya Muhammad Fu’ad Abd. Baqi
Kitab Petunjuk /Kamus Hadits : yaitu kitab yang disusun dengan memuat sebagian kalimat dari sustu hadits Nabi, kemudian menjelaskan letak hadits yang dimaksud di dalam kitab-kitab hadits; mulai dari nama kitab, bab dan sub babnya. Sebagian kitab kamus hadits, ada yang menyebut tempat hadits dengan menunjuk juz dan halaman kitab hadits yang dimaksud. Contohnya antara lain ialah kitab Miftah Kunuz al-Sunnah, karya Prof. Dr. A.J.Winsink. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abd. Baqy. Kitab ini memberikan petunjuk untuk mencari matan hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits (Kitab shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan al-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Darimi, Muwattha’ Malik, Musnad Zaid bin Ali, Musnad Abu Dawud al-Thayalisi, Musnad Ahmad bin Hambal, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Sirat Ibnu Hisyam dan al-Maghazi al-Waqidi)
8. Kitab Tahrij
yaitu kitab yang disusun dengan memuat penjelasan tentang tempat-tempat pengambilah hadits yang dimuat dalam kitab tertentu, selkaligus menjelaskan kualitanya. Di antara contohnya :
a. Kitab Takhrij Ahadits al-Anbiya’, karya Al-Iraqi, merupakan kitab tahrij terhadap hadits-hadits yang ada dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, karya al-Ghazali
b. Kitab Takhrij Ahadits al-Baidhawi, karya al-Mannawi,sebagai takhrij terhadap hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Tafsir Baidhawi .
9. Kitab Zawa’id
yaitu kitab hadits yang disusun dengan memuat hadits-hadits yang diriwayatakan oleh ulama hadits tertentu (dan dimuat dalam kitab ulama tersebut, misalnya hadits yang dimuat dalam kitab Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi), tetapi tidak dimuat di dalam kitab hadits yang disusun oleh ulama tertentu pula.Contohnya Seperti kitab Zawaid al-Sunan al-Kubra, karya al-Bushiri. Memuat hadits hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi. Tetapi tidak dimuat dalam al-Kutub al-Sittah.