BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan adalah masih lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi tanpa menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya seperti yang dikemukakan Wina Sanjaya: “Ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, tetapi miskin aplikasi”.[1]
Proses pembelajaran merupakan kegiatan fundamental dalam proses pendidikan, di mana terjadinya proses belajar tidak terlepas dari proses mengajar. Kegiatan belajar sering dikaitkan dengan mengajar, bahkan antara belajar dan mengajar digabungkan menjadi pembelajaran dan sering juga disebut dengan proses belajar mengajar. Belajar pada pihak siswa, merupakan tuntutan dasar bahkan dapat dikatakan sebagai dasar psikologis yang memungkinkan kegiatan pedagogis dan didaktis untuk berjalan sebagaimana diharapkan. Maka guru harus memahami apa hakekat dari belajar itu, apa yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar, dan bagaimana proses belajar itu berlangsung. Sehingga guru mampu merencanakan dan menyelenggarakan proses belajar dan mengajar di dalam kelas.
Proses belajar mengajar merupakan suatu kegiatan interaksi yang dinamis antara pendidik yang melaksanakan tugas mengajar dengan anak didik yang melaksanakan kegiatan belajar. Proses interaksi ini sangat penting dalam kelangsungan proses belajar mengajar, karena dalam proses belajar mengajar pendidik menyampaikan suatu pesan berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan etika kepada para peserta didik melalui proses interaksi.
Berdasarkan hal tersebut maka sangat diperlukan pengetahuan terhadap proses belajar. Setiap individu mempunyai cara belajar yang berbeda. Perbedaan individual ini harus dipertimbangkan dalam strategi mengajar agar setiap anak didik dapat berkembang sepenuhnya serta menguasai bahan pelajaran secara tuntas. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam proses belajar mengajar tidak lepas dari berbagai kesulitan. Namun hal ini merupakan suatu tantangan bagi setiap guru yang ingin pekerjaannya benar-benar sebagai suatu profesi.
BAB II
BELAJAR DAN MENGAJAR SEBAGAI SUATU PROSES
A. Hakekat Belajar
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh peserta didik.
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Slameto menyatakan bahwa: “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.[2] Selanjutnya Nana Sudjana mendefenisikan: “Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan suatu perubahan pada diri seseorang”.[3] Perubahan yang dimaksud itu berupa hasil belajar yang dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa para ahli mendefenisikan belajar menggunakan kata “perubahan” yang berarti seseorang itu setelah belajar akan mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan tingkah laku, baik dari aspek pengetahuan, keterampilan maupun sikap.
Adapun ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar adalah sebagai berikut:
1. Perubahan yang terjadi secara sadar, misalnya individu menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, kecakapannya bertambah, kebiasaannya bertambah.
2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional, misalnya seseorang yang tadinya tidak dapat menulis selanjutnya dapat menulis indah dan sebagainya.
3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif.
4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah.
6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar, antara lain:
1. Faktor internal:
a. Faktor jasmani.
b. Faktor psikologis.
c. Faktor kelelahan.
2. Faktor eksternal:
a. Faktor keluarga.
b. Faktor sekolah.
c. Faktor masyarakat.
Adapun prinsip-prinsip dalam belajar, antara lain:
1. Agar seseorang benar-benar belajar harus mempunyai suatu tujuan.
2. Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan orang oleh lain.
3. Harus bersedia mengalami berbagai macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
4. Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
5. Selain ingin mencapai tujuan pokok, diperoleh juga tujuan lain.
6. Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan, learning by doing.
7. Seseorang belajar dengan keseluruhan, tidak mengandalkan intelektual saja tetapi juga sosial, emosional, etis dan sebagainya.
8. Dalam hal belajar seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
9. Belajar diperlukan wawasan, bukan menghafal fakta lepas secara verbalistis.
10.Belajar lebih berhasil apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
11.Ulangan dan latihan perlu, namun harus didahului oleh pemahaman.
12.Belajar hanya kemungkinan ada apabila ada kemauan dan keinginan untuk belajar.[4]
Belajar merupakan salah satu konsep yang sangat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti dari perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang telah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru merupakan tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, efektif maupun psikomotorik/keterampilan.
Belajar dalam sistem pendidikan harus mempunyai sifat aktif dan terarah ynag diwujudkan dalam bentuk tujuan instruksional yang jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar adalah sebagai pengalaman hidup yang dalam kehidupan manusia penuh dengan kegiatan secara sengaja maupun tidak disengaja, terencana maupun tidak terencana atau secara tiba-tiba. Dalam hasil belajar minimal ada perubahan kesiapan terhadap yang telah dipelajari atau kesiapan atau kesiapan terhadap hal lain yang berhubungan dengan subjek yang dipelajari.
B. Hakekat Mengajar
Mengajar merupakan suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar.[5] Kegiatan mengajar biasanya diidentikkan dengan tugas guru di sekolah dan dosen di perguruan tinggi. Mengajar pada hakekatnya adalah melakukan kegiatan belajar, sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
Ada beberapa pendapat yang terlalu sempit tentang mengajar, antara lain:
a. Mengajar adalah menyuruh anak menghafal.
Dalam hal ini diutamakan latihan dan menghafal fakta-fakta yang diharapkan akan keluar pada ujian. Guru mempertahankan diri dengan alasan “terpaksa karena ujian”. Cara mengajar seperti ini mengabaikan minat anak, hubungan dengan kehidupan anak.
b. Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan.
Pengetahuan hanya salah satu aspek dari tujuan pendidikan, sedangkan yang dituju adalah pembentukan seluruh pribadi anak. Pengetahuan bukanlah tujuan pendidikan, melainkan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Mengajar berdasarkan pendirian ini mengakibatkan hal-hal berikut:
- Pelajaran bersifat teacher-centered. Guru menentukan bahan pelajaran.
- Anak-anak tidak turut merancang, menentukan langkah-langkah, dan menilai hasil pelajaran.
c. Mengajar adalah menggunakan satu metode mengajar tertentu.
Mengenal bahan pelajaran belum menjamin kesanggupan mengajarkannya. Mengenal metode-metode mengajar belum menjamin hasil baik, apabila kita menggunakannya secara stereotif, artinya menggunakan metode tertentu dalam situasi. Situasi belajar senantiasa berbeda. Anak didik tahun ini berbeda dengan tahun yang lalu. Guru harus selalu mencari cara-cara baru untuk menyesuaikan pengajarannya dengan situasi baru yang dihadapinya.[6]
Mengajar adalah suatu usaha yang sangat kompleks, sehingga sulit menentukan bagaimanakah sebenarnya mengajar yang baik. Ada guru yang mengajarnya baik di Taman Kanak-Kanak, tetapi menemui kegagalan di kelas-kelas tinggi SD dan sebaliknya ada Guru Besar yang pandai mengajar kepada mahasiswa, tetapi tidak sanggup menghadapi siswa-siswa di kelas rendah SD.
Walaupun demikian ada beberapa prinsip yang berlaku umum untuk semua guru yang baik:
1) Guru yang baik memahami dan menghormati siswa.
2) Guru yang baik harus memahami bahan pelajaran yang diberikannya.
3) Guru yang baik menyesuaikan metode mengajar dengan bahan pelajaran.
4) Guru yang baik menyesuaikan bahan pelajaran dengan kesanggupan individu.
5) Guru yang baik mengaktifkan siswa dalam hal belajar.
6) Guru jangan terikat oleh satu buku pelajaran (textbook).
Untuk dapat melaksanakan tugas mengajar dengan baik, guru harus memiliki kemampuan profesional, yaitu terpenuhinya 10 kompetensi guru, yang meliputi:
1. Menguasai bahan, yaitu bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah dan bahan penunjang bidang studi.
2. Mengelola program belajar mengajar.
3. Mengelola kelas.
4. Penggunaan media atau sumber.
5. Menguasai landasan-landasan pendidikan.
6. Mengelola interaksi-interaksi belajar mengajar.
7. Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
8. Mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10. Memahamai prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan belajar.[7]
Mengajar dapat dipandang sebagai menciptakan situasi di mana diharapkan anak didik dapat belajar dengan efektif. Situasi belajar terdiri dari berbagai faktor seperti anak didik, fasilitas, prosedur belajar, cara penilaian. Dalam situasi belajar itu ada kalanya guru mengatakan apa yang harus dilakukan oleh anak didik (direction), ada kalanya ia membimbing atau membantu dan memberikan saran kepada anak didik dalam menyelesaikan rencana atau tugas masing-masing (guidance).[8] Jadi kedua aspek itu, direction dan guidance terdapat di dalamnya.
Hasil riset terhadap mengajar yang efektif memberikan indikasi, bahwa terdapat tiga pola belajar yang dapat efektif yaitu pola mengajar direktif, mengajar nondirektif dan menyerahkan pengaturan belajar kepada siswa itu sendiri.[9] Pola mengajar direktif bercirikan penentuan tujuan intruksional khusus yang harus dicapai oleh semua siswa. Pola ini menuntun siswa agar menguasai kemahiran serta keterampilan dasar, dan mendukung usaha siswa yang takut secara negatif akan gagal dalam belajarnya. Pola mengajar nondirektif bercirikan penyerahan inisiatif lebih banyak kepada siswa. Pola ini sesuai dengan siswa yang telah terbiasa bekerja tanpa selalu diawasi langsung oleh tenaga pengajar. Pola menyerahkan pengaturan belajar kepada siswa sendiri bercirikan pemberian kebebasan semaksimal mungkin dalam belajarnya, serta penyelesaian berbagi tugas belajar secara mandiri atau dalam kelompok kecil.
C. Proses Belajar Mengajar
Undang-Undang Dasar 1945 menginginkan agar setiap warganegara mendapat kesempatan belajar seluas-luasnya. KPPN (Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional) mengemukakan agar pendidikan kita bersifat semesta, menyeluruh dan terpadu. [10] Semesta berarti bahwa pendidikan dinikmati oleh semua warganegara. Menyeluruh maksudnya agar ada mobilitas antara pendidikan formal dan non formal, sehingga terbuka pendidikan seumur hidup bagi setiap warga negara Indonesia.
Kemajuan bangsa hanya dimungkinkan oleh perluasan pendidikan bagi setiap masyarakat dari bangsa itu sendiri. Pendidikan bukan hanya diperuntukkan bagi suatu golongan elite yang sangat terbatas, melainkan bagi seluruh rakyat. Setiap pembatasan atau pengekangan akan berarti kerugian dan penghamburan bakat dan biaya.
Memberi kesempatan belajar saja belum memadai apabila jumlah yang tinggal kelas dan putus sekolah masih tinggi. Masih perlu dipikirkan jalan agar setiap anak didik mendapat bimbingan agar ia berhasil menyelesaikan pelajarannya dengan baik. Jika kita ingin agar seseorang mau belajar terus sepanjang hidupnya, maka pelajaran di sekolah harus merupakan pengalaman yang menyenangkan baginya. Siswa yang sering frustasi karena mendapat angka yang rendah di samping teguran, kecaman, dan celaan akan benci terhadap segala bentuk pelajaran formal dan tidak mempunyai cukup motivasi untuk melanjutkan pelajarannya. Dan selama angka-angka yang baik hanya diberikan kepada sejumlah kecil saja dari siswa-siswa, maka sebagian besar yang mendapat angka rendah dan mengalami frustasi akan berhenti belajar dan tidak mengembangkan bakat yang dapat disumbangkannya kepada masyarakat.
Menurut Moh. Uzer Usman, proses belajar mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.[11] Selanjutnya dalam buku Pedoman Guru Pendidikan Agama Islam terbitan Depag RI, proses belajar mengajar mengandung dua pengertian yaitu rentetan tahapan atau fase dalam mempelajari sesuatu, dan dapat pula berarti sebagai rentetan kegiatan perencanaan oleh guru, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut.[12]
Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran.
Belajar dan mengajar merupakan proses kegiatan komunikasi dua arah. Proses belajar mengajar merupakan kegiatan yang integral (terpadu) antara siswa sebagai pelajar yang sedang belajar dengan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar. Kemampuan mengelola proses belajar mengajar adalah kesanggupan para guru dalam menciptakan suasana komunikasi yang edukatif antara pendidik dan peserta didik yang mencakup segi kognitif, afektif dan psikomotorik, sebagai upaya mempelajari sesuatu berdasarkan perencanaan sampai dengan tahap evaluasi dan tindak lanjut agar tercapai tujuan pengajaran.
Proses belajar harus tumbuh dan berkembang dari diri anak sendiri, dengan kata lain anak yang harus aktif belajar sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing. Proses belajar mengajar merupakan proses mengatur, mengorganisir lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar. Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan formal dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Dalam proses belajar mengajar sebagaian besar hasil belajar peserta didik ditentukan oleh peranan guru. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola proses belajar mengajar, sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat yang optimal. Jadi keberhasilan proses belajar mengajar sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar.
Guru sebagai fasilitator dalam proses belajar mengajar bertugas menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar yang lebih efektif dan efisien. Sebelum mengajar, guru harus merencanakan kegiatan pengajaran secara sistematis, sehingga dapat terampil dalam proses belajar mengajar.
Achmad Badawi mengatakan bahwa mengajar yang dilakukan oleh guru dikatakan berkualitas apabila seorang guru dapat menampilkan kelakuan yang baik dalam usaha mengajarnya. Kelakukan tersebut diharapkan mencerminkan kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar yang berkualitas yang meliputi:
1. Kemampuan dalam mempersiapkan pengajaran.
a. Kemampuan merencanakan proses belajar mengajar.
b. Kemampuan mempersiapkan bahan pengajaran.
c. Kemampuan merencanakan media dan sumber.
d. Kemampuan merencanakan penilaian terhadap prestasi siswa.
2. Kemampuan dalam melaksanakan pengajaran.
a. Kemampuan menguasai bahan yang direncanakan dan disesuaikannya.
b. Kemampuan dalam mengelola proses belajar mengajar.
c. Kemampuan mengelola kelas.
d. Kemampuan menggunakan metode dan sumber.
e. Kemampuan melaksanakan interaksi belajar mengajar.
f. Kemampuan melaksanakan penilaian terhadap hasil pengajaran.
g. Kemampuan pengadministrasian kegiatan belajar mengajar.[13]
Pembelajaran terkait dengan bagaimana (how to) membelajarkan siswa atau bagaimana membuat siswa dapat belajar dengan mudah dan terdorong oleh kemauannya sendiri untuk mempelajari apa (what to) yang teraktualiasi dalam kurikulum sebagai kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran berupaya menjabarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam kurikulum dengan menganalisis tujuan pembelajaran dan karakteristik isi bidang studi yang terkandung dalam kurikulum.
Pencapaian keberhasilan belajar tidak hanya menjadi tanggung jawab siswa saja, tetapi guru ikut bertanggung jawab dalam menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi siswa untuk melakukan kegiatan belajar sepanjang hayat. Karena itu, dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Berpusat pada siswa
Setiap siswa pada dasarnya berbeda, dan telah ada dalam dirinya minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan (preference), pengalaman (experience) dan cara belajar (learning style) yang berbeda antara siswa yang satu dengan siswa lainnya. Oleh karena itu guru harus mengorganisasikan kegiatan pembelajaran, materi pembelajaran, waktu belajar, media dan sumber belajar, dan cara penilaian yang disesuaikan dengan karakteristik individual siswa.
2. Pembalikan makna belajar
Dalam konsep tradisional belajar hanya diartikan penerimaan informasi oleh peserta didik dari guru. Namun makna belajar ini harus dibalik, di mana belajar diartikan proses aktivitas dan kegiatan siswa membangun pengetahuan dan pemahaman terhadap informasi atau pengalaman. Dan pada dasarnya proses membangun pengetahuann dan pemahaman dapat dilakukan sendiri oleh siswa dengan persepsi, pikiran serta perasaan siswa.
3. Belajar dengan melakukan
Aktivitas siswa dalam belajar akan sangat ideal apabila dilakukan dalam kegiatan nyata yang melibatkan dirinya, terutama untuk mencari dan menemukan serta mempraktekkannya sendiri. Dengan cara ini siswa tidak akan mudah melupakan apa yang diperolehnya selama mengikuti pembelajaran.
4. Mengembangkan kemampuan sosial, kognitif dan emosional
Dalam kegiatan pembelajaran siswa harus dikondisikan dalam suasana interaksi dengan orang lain seperti antar siswa, antara siswa dengan guru, dan siswa dengan masyarakat. Dengan interaksi yang intensif siswa akan mudah untuk membangun pemahamannya. Guru harus mendorong terjadinya sosialisasi pada diri masing-masing siswa, di mana siswa belajar saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan-perbedaan dan agar siswa terdorong untuk saling membangun pengertian yang diselaraskan dengan pengetahuan dan tindakannya.
5. Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah
Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang akan dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang harus diselesaikan, sehingga diperlukan keterampilan dalam memecahkan masalah. Untuk itu seseorang harus belajar melalui pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran perlu diciptakan situasi yang menantang kepada siswa untuk mencari dan menemukan masalah, serta melakukan pemecahan dan mengambil kesimpulan.
6. Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia dalam menjalankan kehidupannya sehingga siswa perlu mengenal dan mampu menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak dini, serta tidak gagap terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memberikan kesempatan dan peluang kepada siswa memperoleh informasi dari sumber belajar dan media pembelajaran yang menggunakan teknologi serta diarahkan untuk mengenal dan mampu menggunakan multi media yang dapat dapat digunakan dalam penyajian materi pembelajaran.
7. Belajar sepanjang hayat
Dalam Islam menuntut ilmu diwajibkan bagi setiap muslim. Siswa memerlukan kemampuan belajar sepanjang hayat dalam rangka memupuk dan mengembangkan ketahanan fisik dan mentalnya, sehingga pembelajaran diarahkan agar siswa berpikir positif tentang siapa dirinya, mengenali dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya serta mensyukuri atas segala rahmat, nikmat serta karunia yang telah dianugerahkan Allah kepada dirinya.
8. Perpaduan kemandirian dan kerjasama
Siswa perlu diberi pengertian dan pemahaman untuk belajar berkompetisi secara sehat, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritasnya. Hal ini perlu dikembangkan oleh guru dengan pemberian tugas-tugas individu untuk menumbuhkan kemandirian dan semangat berkompetisi maupun tugas kelompok untuk menumbuhkan kerjasama dan solidaritas.[14]
FOOTNOTE
_________________
[1]Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2008), h. 1.
[2]Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 2.
[3]Nana Sudjana, Teknologi Pengajaran (Bandung: Sinar Baru, 1989), h. 10.
[4]S. Nasution, Didaktik Asas-Asas Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.46-47.
[5]B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 18.
[6]S. Nasution, Didaktik Asas-Asas Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 7.
[7]B. Surya Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 4-5.
[8]J. Mursell dan S. Nasution, Mengajar dengan Sukses (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 9.
[9]W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran (Yogyakarta: Media Abadi, 2005), h. 490.
[10]S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 36.
[11]B. Surya Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 19.
[12]Ibid.
[13]Ibid., h. 20-23.
[14]Darwin Syah, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 285.