BAB I
PENDAHULUAN
Ganjaran dan hukuman adalah sebagai alat pendidikan. Ganjaran sebagai salah satu alat pendidikan yang diberikan kepada murid sebagai imbalan terhadap prestasi yang dicapainya. Dengan ganjaran itu diharapkan anak terangsang dan terbiasa dengan tingkah laku yang baik. Sedangkan hukuman adalah tindakan paling akhir diambil apabila teguran dan peringatan belum mampu untuk mencegahb anak melakukan pelanggaran.
Ganjaran dan hukuman memiliki prinsip yang saling bertentangan, jika ganjaran diberikan atas perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang baik yang telah dilakukan peserta didik, maka hukuman dijatuhkan karena perbuatan-perbuatan yang jahat atau buruk yang telah dilakukannya. Ini dilakukan untuk memperbaiki kelakuan, perbuatan dan budi peserta didiknya.
Relevansi ganjaran dan hukuman hendaknya dilihat kea rah tabiat atau sifat dasar manusia melalui pengaruhnya atau keamanan individu dan pilihan-pilihan yang dilakukan. Maka hal ini akan mengacu kepada pengujian terhadap kekuatan motivasi.
Di dalam makalah ini akan membahas tentang : Pengertian Ganjaran dan Hukuman, Macam-macam Ganjaran dan Hukuman, Proses Pemberian Hukuman, Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Ganjaran dan Hukuman, Syarat dan Tujuan Pemberian Ganjaran, Syarat dan Tujuan Pemberian Hukuman.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ganjaran dan Hukuman
1. Pengertian Ganjaran
Secara etimologi, terma ganjaran berasal dari kata ganjar yang berarti memberi hadiah atau upah. Karenanya berdasarkan pengertian ini, maka dasarnya adalah perlakuan menyenangkan yang diterima seseorang sebagai konsekuensi logis dari perbuatan baik (‘amal al-shalih ) atau prestasi terbaik yang berhasil ditampilkan atau diraihnya.[1]
Istilah tsawab = ganjaran, didapatkan dalam Al-Qur’an dalam menunjukkan apa yang diperbuat oleh seseorang dalam kehidupan ini atau akhirat kelak karena amal perbuatan yang baik.[2]
Maksud ganjaran dalam konteks ini adalah memberikan sesuatu yang menyenangkan (penghargaan) dan dijadikan sebagai hadiah bagi peserta didik yang berprestasi, baik dalam belajar maupun sikap perilaku. Melalui ganjaran hasil yang dicapai peserta didik dapat dipertahankan dan meningkat, serta dapat menjadi motivasi bagi peserta didik lainnya untuk mencapai target pendidikan secara maksimal.[3]
2. Pengertian Hukuman
Secara etimologi, hukuman berarti siksa dan sebagainya, yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya. Dari sisi ini, hukuman pada dasarnya perbuatan tidak menyenangkan yang ditimpakan pada seseorang sebagai konsekuensi logis dari suatu kesalahan atau perbuatan tidak baik (‘amal al-syai’ah) yang telah dilakukannya.[4]
Hukuman ialah suatu perbuatan di mana seseorang sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran.[5]
B. Macam-macam Ganjaran dan Hukuman
1. Macam-macam Ganjaran
Yang dimaksud hadiah atau tidak usah selalu berupa barang. Anggukan kepala dengan wajah berseri-seri, menunjukkan jempol (ibu jari) si pendidik, sudah satu hadiah. Pengaruhnya besar sekali. Memenuhi dorongan mencari perkenan, menggembirakan anak, menambah kepercayaan pada diri sendiri. Membantu dalam usaha mengenal nilai-nilai.[6]
Ganjaran dapat dilakukan oleh pendidik dengan cara bermacam-macam, antara lain :
a. Pendidik mengangguk-angguk kepala tanda senang dan membiarkan jawaban yang diberikan oleh seorang peserta didik.
b. Pendidik memberikan kata-kata yang mengembirakan (pujian).
c. Guru memberikan benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi peserta didik.[7]
Menurut Al-Ghazali ada tiga macam ganjaran, yaitu[8] :
a) Penghormatan (penghargaan), baik berupa kata-kata maupun isyarat.
Penghormatan dengan kata-kata, misalnya baik, bagus sekali, pintar dan lain-lain. Penghormatan dengan isyarat seperti, anggukan kepala dengan wajah-wajah berseri-seri, menunjukkan jempol, tepuk tangan, menepuk dan lain-lainnya.
b) Hadiah, yaitu ganjaran yang berupa pemberian sesuatu/materi yang bertujuan untuk menggembirakan anak. Hadiah tidak perlu berupa barang yang mahal harganya asal pantas saja. Dan lebih baik jangan sering dilakukan tapi hendaknya diberikan pada saat yang tepat dan bila dianggap memang perlu diberikan, misalnya pada anak yang orang tuanya kurang mampu tapi berprestasi.
c) Pujian dihadapan orang banyak.
Ganjaran yang berupa pujian ini dapat diberikan dihadapan teman-teman sekelas satu sekolahan ataupun dihadapan teman-teman dan orang tua/wali murid,seprti pada waktu penerimaan rapor atau kenaikan kelas.
Secara didaktis, ganjaran beserta segala macamnya sebagai yang dibahas Al-Ghazali tersebut, telah menjadi panutan para pakar pendidikan. Menurut istilah didaktik, ganjaran sebagai “fungsi reinforcement” atau fungsi penguatan yang akan lebih mendorong pada anak untuk semakin meningkatkan prestasi yang pernah meraihnya.
2. Macam-macam Hukuman
Setelah larangan dan sejenisnya diberikan dan ternyata pelanggaran masih dilakukan tibalah masanya pemberian hukuman. Hukuman tidak usah selalu hukuamn badan. Hukuman biasanya membawa rasa tak enak, menghilanhkan jaminan perkenan dan kasih saying. Hal mana yang tidak diingini oleh anak/ Ini mendorong anak untuk selanjutnya tidak berbuat lagi. Hukuman menghasilkan pula disiplin. Pada taraf yang lebih tinggi, akan menginsyafkan anak didik. Berbuat atau tidak berbuat bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena keinsyafan sendiri.[9]
Berdasarkan informasi Al-Qur’an, maka dalam konteks pendidikan Islami, bentuk hukuman juga dapat diklasifikasikan ke dalam dua macam. Pertama, hukuman fisik, yaitu perlakuan kurang atau tidak menyenangkan yang diterima seseorang dalam bentuk fisik atau material sebagai konsekuensi logis dari perbuatan tidak baik (‘amal al-syai’at) atau prestasi buruk yang ditampilkan atau diraihnya. Kedua, hukuman non fisik, yaitu perlakuan kurang atau tidak menyenangkan yang diterima seseorang dalam bentuk non fisik sebagai konsekuensi logis dari perbuatan tidak baik (;amal al-syai’at) atau prestasi buruk yang ditampilkan atau diraihnya.[10]
Dalam tataran praktikal, implementasi hukuman yang bersifat fisik bisa diberikan pendidik dalam bentuk memukul, mewajibkannya melakukan tugas-tugas fisik seperti membersihkan ruangan atau kamar mandi, berdiri di depan kelas, mengeluarkan atau mengisolasinya dari dalam kelas, mewajibkannya membayar denda, dan lain-lain. Sedangkan untuk hukuman yang bersifat non fisik antara lain dapat diberikan dalam bentuk memarahinya, member peringatan disertai ancaman, dan lain-lain.
C. Proses Pemberian Hukuman
Dalam hal ini, Al-Ghazali tidak sependapat kepada orang tua dan pendidik yang dengan cepat-cepat dan sekaligus memberi hukuman terhadap anak-anak yang berlaku salah dan melanggar peraturan. Hukuman adalah jalan yang paling akhir apabila teguran, peringatan dan nasihat-nasihat belum bisa mencegah anak lakukan pelanggaran.
Demikian itu harus melalui proses untuk memberi hukuman, yang secara terinci dijelaskan oleh Al-Ghazali :
“Kalau si anak itu satu kali menyimpang dari budi dan perbuatan baik tersebut pada suatu keadaan, maka sebaiknya orang tua pura-pura lupa dari hal itu dan tidak membuka rahasianya, tidak menjelaskan pada si anak bahwa tergambarlah keberaniaan orang lain untuk melakukan perbuatan yang semacam itu, si anak itu sendiri akan menutup rahasia dirinya dengan sungguh-sungguh sebab membukakan rahasianya yang demikian, mungkin menyebabkan ia berani (berbuat lagi) sampai ia tidak dipedulikan lagi biarpun dibukakan rahasianya.”
Pada tahap pertama, anak diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sehingga ia mempunyai rasa kepercayaan terhadap dirinya dan ia menghormati dirinya kemudian ia merasakan akibat perbuatannya tersebut. Akhirnya ia sadar dan insyaf terhadap kesalahannya dan berjanji dalam hatinya tidak akan mengulangi lagi kesalahannya.
Apabila pada pertama ini belum berhasil, maka dilanjutkan tahap yang kedua yaitu berupa teguran, peringatan dan nasihat-nasihat, sebagaimana penjelasan Al-Ghazali[11] :
“Maka dalam tindakan yang demikian kalau si anak masih kembali lagi berbuat tidak baik untuk kedua kalinya, maka sebaiknya ia ditegur dengan sembunyi dan persoalan itu dianggap besar (akibatnya) terhadap anak itu. Kepadanya dikatakan : “Awas sesudah ini engkau berbuat demikian, rahasianya akan diberitahukan kepada orang banyak.” Selanjutnya setiap kali orang tua menegur anak, janganlah banyak bicara dalam hal ini, sebab banyak bicara di sini akan menyebabkan si anak menganggap enteng celaan, menganggap mudah melakukan kejahatan-kejahatan dan perkataan (nasihat) itu tidak meresap dalam hati si anak.”
D. Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Ganjaran dan Hukuman
1. Ayat Al-Qur’an Tentang Ganjaran
Salah satu istilah yang selalu digunakan Allah untuk menggambarkan ganjaran atas amal kebaikan adalah kata tsawab. Seperti terdapat pada Q.S, Al-Kahfi ayat 44: Dialah Allah sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan (siksa). Q.S. Ali Imran ayat 148 : Dan karena itu Allah meberikan kepada mereka ganjaran kebaikan dunia dan ganjaran kebaikan di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. Q.S. Ali Imran ayat 195 : Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka (seraya berfirman): Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampong halamannya, yang disakiti di jalan-Ku, yang berperangdan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai balasan disisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya balasan yang baik.
Di dalam al-Qur’an kata ganjaran disebutkan dalam kata ajrun yang diulang sebanyak 105, seperti ayat yang artinya : Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan syurga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal (Q.S. Ali Imran ayat 135); Dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar (Q.S. Hud ayat 11).
Dari ayat-ayat di atas, bahwa masalah pahala diakui keberadaannya dalam rangka pembinaan umat. Ganjaran atau pahala diberikan kepada orang-orang yang beriman disertai dengan amal dan akhlak yang mulia. Dalam prakteknya ganjaran ini dapat mengambil bentuk hadiah, cenderamata, bonus, dan sebagainya yang diberikan kepada orang-orang yang menunjukkan prestasi yang tinggi dalam bidang kebaikan.
2. Ayat Al-Qur’an tentang Hukuman
Hukuman biasa dikenal dengan nama azab yang di dalam al-Qur’an diulang sebanyak 373 kali. Jumlah yang besar ini menunjukkan perhatian al-Qur’an yang amat besar terhadap masalah hukuman ini, dan meminta perhatian dari umat manusia.
Selanjutnya di dalam al-Qur’an mengenai hukuman, misalnya dijumpai ayat-ayat yang artinya : Bila kamu tidak patuh, seperti dulu kamu pernah tidak patuh, Dia akan menghukumi mu dengan siksaan yang pedih (Q.S. 48:16); Bila kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih dan menggantimu dengan bangsa lain (Q.S. At-Taubah ayat 74); Laki-laki dan perempuan yang berzina, masing-masing deralah seratus kali (Q.S. An-Nur ayat 24); Laki-laki yang dan perempuan yang mencuri, potonglah olehmu kedua tangannya, sebagai pembalasan atas apa yang mereka kerjakan (Q.S. Al-Maidah ayat 38).
Ayat-ayat tersebut di atas selain mengakui keberadaan hukuman dalam rangka perbaikan umat manusia, juga menunjukkan bahwa hukuman itu tidak diberlakukan kepada semua manusia, melainkan khusus kepada manusia-manusia yang melakukan pelanggaran saja. Manusia yang model seperti itu biasanya sudah sulit diperbaiki hanya dengan nasihat atau keteladan, melainkan harus lebih berat lagi, yaitu hukuman. Adanya hukuman seperti itu tidak dapat dikatakan sebagai tidak manusiawi, karena pengertian manusiawi juga termasuk manusia dengan segala kekurangannya. Membiarkan manusia yang melanggar dan membiarkan mereka berkeliaran dan meresahkan masyarakat, adalah sangat tidak manusiawi, karena akan membawa kehancuran masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian, pemberlakuan hukuman dalam pendidikan tidak terhenti pada hukuman itu sendiri, melainkan pada tujuan yang ada di belakangnya, yaitu agar manusia yang melanggar itu insyaf, bertaubat, dan kembali menjadi orang yang baik.
Dengan demikian, keberadaan ganjaran dan hukuman diakui dalam Islam dan digunakan dalam rangka membina umat manusia melalui kegiatan pendidikan. Ganjaran dan hukuman ini diberlakukan kepada sasaran pembinaan yang lebih bersifat khusus. Ganjaran untuk orang yang patuh dan menunjukkan perbuatan baik. Sedangkan Hukuman untuk orang yang melanggar dan berbuat jahat.
E. Syarat dan Tujuan Pemberian Ganjaran
1. Syarat Pemberian Ganjaran
Dalam tataran praktikal, agar ganjaran bermanfaat atau bernilai edukatif, maka pemberian ganjaran kepada peserta didik perlu memperhatikan beberapa hal berikut [12]:
a. Berikan ganjaran atau perbuatan atau prestasi yang dicapai peserta didik, bukan atas dasar pribadinya. Dalam konteks ini, para pendidik harus menegaskan bahwa ganjaran itu diberikan kepada mereka dikarenakan perilaku positif atau prestasi terbaik yang berhasil diraihnya.
b. Berikan penghargaan yang sesuai atau proporsional dengan prilaku atau prestasi yang diraih peserta didik. Jangan berlebih-lebihan dalam memberikan penghargaan. Bila memuji anak dengan kata-kata, pujilah secara spesifik perilaku atau prestasi be diraihlajar yang berhasil diraih peserta didil, dan jangan memuji untuk semua perilakunya. Sebab boleh jadi dalam hal membelajarkan diri ia memang yang terbaik diantara temannya. Namun, dalam hal kedermawanan, sikap sosial, atau kelembutan, boleh jadi ia masih memerlukan latihan atau upaya pembelajaran berkelanjutan untuk menjadi yang terbaik diantara teman-temannya. Demikian juga, ketika memberikan hadiah, berikanlah hadiah yang mahal untuk pekerjaan-pekerjaan penting yang telah dialkukan peserta didik, bukan sebaliknya.
c. Sampaikan penghargaan untuk hal-hal positif, tetapi jangan terlalu sering. Penghargaan yang terlalu sering diberikan bisa membuat peserta didik merasa sombong.
d. Jangan memberikan penghargaan disertai dengan ungkapan membanding-bandingkan seorang peserta didik dengan orang lain. Sebab, memuji seorang peserta didik dengan mendiskreditkan atau menjelek-jelekkan orang lain, selain merupakan sikap yang tidak terpuji, juga akan menimbulkan kesan negatif kepada orang yang diperbandingkan.
e. Pilihlah bentuk penghargaan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
2. Tujuan Pemberian Ganjaran
Tujuan pemberian ganjaran adalah memotivasi peserta didik agar bersemangat dan memiliki sense of competion untuk senantiasa menampilkan perilaku positif, smenyenangkan (penghargaan) dan dijadikan sebagai hadiah bagi peserta didik yang berprestasi, baik dalam belajar maupun sikap perilaku. Melalui ganjaran hasil yang dicapai peserta didik dapat dipertahankan dan meningkat, serta dapat menjadi motivasi bagi peserta didik lainnya untuk mencapai target pendidikan secara maksimal.
F. Syarat dan Tujuan Pemberian Hukuman
1. Syarat Pemberian Hukuman
Hukuman dalam pendidikan memiliki persyaratan, yaitu[13] :
a. Pemberian hukuman harus tetap berada dalam jalinan cinta kasih. Hukuman bukan ingin menyakiti anak, atau melampiaskan dendam, tetapi demi kepentingan, kebaikan dan demi masa depan anak.
b. Pemberian hukuman harus didasarkan kepada alas an keharusan, atau sudah tidak ada alat pendidikan lain yang akan digunakan. Itu artinya, pemberitahuan, peringatan dan teguran sudah dilaksanakan.
c. Pemberian hukuman harus memberikan kesan dalam hati anak yang mendorong anak kepada kesadaran dan keinsyafan, artinya bukan kesan negative seperti putus asa, rasa rendah diri dan kehilangan harapan.
d. Pemberian hukuman menimbulkan keinsyafan dan penyesalan dalam diri anak. Dengan hukuman anak merasa insyaf dan berjanji dalam dirinya untuk tidak akan mengulangi kesalahan.
e. Pemberian hukuman diikuti dengan keampunan yang disertai harapan dan pemberian kepercayaan. Itu artinya setelah hukuman anak diberikan kepercayaan bahwa dia mampu berbuat baik sesuai dengan harapan bersama.
2. Tujuan Pemberian Hukuman
Tujuan hukuman selain upaya pencegahan, perubahan tingkah laku, juga adalah mendidik.[14] Keseluruhan dari proses kerja hukuman tetap bermuara pada tujuan akhir dari dari pelaksanaannya yaitu terciptanya rasa penyesalan yag mendalam (bertaubat) dan tidak mengulangi kembali kejahatan yang serupa di masa akan datang.
Meskipun tujuan hukuman adalah mencegah atau menolak perilaku kejahatan untuk mengulangi lagi kejahatannya, perbaikan dan pendidikan, tetapi syariat Islam menghindarkan hukuma untuk tujuan penyiksaan dan kesia-siaan sehingga merugikan pelakunya dan ini sudah keluar dari prinsip tujuan semula hukuman.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan pemberian hukuman adalah terciptanya perubahan tingkah laku secara sadar bagi pribadi melalui proses tertentu. Perencanaan yang matang dalam pengawasan yang cermat dan merupakan sisi penting terhadap sasaran objek terdidik atau terhukum.[15]
Daftar Pustaka dan Footnote
- Amir, Abdul al-Aziz, At-ta’zir Fi asy Syariah Al-Islamiyah, Dar al-Fikr al-Arabi, 1976.
- Abdullah, Abdurrahman Saleh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Jakarta : Rineka Cipta, 1990.
- Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam, Bandung : Cita Pustaka, 2008.
- Daulay, Haidar Putra, Mendidik Mencerdaskan Bangsa, Bandung : Cita Pustaka, 2009.
- Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Al-Ma’arif, 1989.
- Ramayulis dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Telaah sistem pendidikan dan pemikiran para tokohnya, Jakarta : Kalam Mulia, 2009.
- Syafaruddin dkk, Ilmu Pendidikan Islam (melejitkan Potensi Budaya Umat), Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2009.
- Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali, Jakarta : Bumi Aksara, 1991.
________________
[1]Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam, (Bandung : Cita Pustaka, 2008), h. 93
[2]Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), h. 221
[3]Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Telaah sistem pendidikan dan pemikiran para tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009), h. 254
[4]Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam, h. 98
[5]Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), h. 86
[6]Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,(Bandung : Al-Ma’arif, 1989), h. 86
[7]Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 255
[8]Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali, h. 85
[9]Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, h. 87
[10]Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam, h. 100
[11]Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali, h. 87
[12]Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam, h. 96-98
[13]Syafaruddin dkk, Ilmu Pendidikan Islam (melejitkan Potensi Budaya Umat), (Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2009), h. 116
[14]Abdul al-Aziz Amir, At-ta’zir Fi asy Syariah Al-Islamiyah, (Dar al-Fikr al-Arabi, 1976), h. 293
[15]Haidar Putra Daulay, Mendidik Mencerdaskan Bangsa, (Bandung : Cita Pustaka, 2009).