Biaya Operasional Sekolah, Jenis Biaya Operasional, Lembaga Pendidikan Sebagai Badan Layanan Umum Badan Hukum Pendidikan, Beasiswa, Hibah Bersaing, Lembaga Donor
A. Pendahuluan
Di negara Indonesia sekarang ini, banyak anak-anak yang tidak sekolah. Mereka terlantar, bahkan ada yang bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Waktu yang seharusnya digunakan untuk menuntut ilmu, tapi mereka tidak bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Mereka tidak bisa merasakan indahnya menuntut ilmu. Terkadang tidak sedikit orang yang menganggap remeh kepada mereka. Padahal mereka juga tidak bersekolah, karena mereka tidak memiliki kemampuan dari segi materi.
Jika mereka diberi perhatian, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang cerdas. Negara yang sukses adalah negara yang bagus pendidikannya. Bagaimana negara kita bisa sukses jika anak-anak indonesia banyak yang tidak memiliki sekolah untuk memperoleh pengetahuan dan pendidikan sehingga nantinya bisa menjadi penata yang baik untuk negara kita ini.
Menanggapi hal ini, Pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan agar semua anak-anak bangsa menjadi seorang yang cerdas yang nantinya akan menjadi generasi-generasi yang berkualitas. Beberapa upaya Pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa, Pemerintah memberikan bantuan-bantuan kepada anak yang kurang mampu untu sekolah. Inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
B. Biaya Operasional Sekolah
a. Pengertian Biaya Operasional sekolah
Menurut peraturan Mendiknas nomor 69 tahun 2009, standar biaya operasi non personalia adalah standar biaya yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi nonpersonalia selama 1 (satu) tahun sebagai bagian dari keseluruhan dana pendidikan agar satuan pendidikan dapat melakukan kegiatan pendidikan secara teratur dan berkelanjutan sesuai Standar Pendidikan Nasional. BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya operasional non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar, Namun demikian, ada beberapa jenis pembiayaan investasi dan personalia yang diperbolehkan dibiayai dengan dana BOS. Adapun tujuan Bantuan Operasional adalah :
Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu.
Secara khusus program BOS bertujuan untuk:
1) Membebaskan segala jenis biaya pendidikan bagi seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar, baik di madrasah negeri maupun madrasah swasta
2) Membebaskan biaya operasional sekolah bagi seluruh siswa MI negeri dan MTs negeri.
3) Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di madrasah swasta/PPS
b. Jenis Biaya Operasional BOS
Dana BOS dapat digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Pembelian buku teks pelajaran untuk dikoleksi di perpustakaan.
2. Pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru dan pendaftaran ulang siswa lama, yaitu biaya pendaftaran, penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan pendaftaran ulang, serta kegiatan lain yang berkaitan langsung dengan kegiatan tersebut (misalnya untuk fotocopy, konsumsi panitia, dan uang lembur dalam rangka penerimaan siswa baru, dan lain sebagainya yang relevan);
3. Pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, pembelajaran pengayaan, Pemantapan persiapan ujian, olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja, pembinaan keagamaan, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan sejenisnya (misalnya untuk honor jam mengajar tambahan di luar jam pelajaran, penggandaan materi, pengeluaran alat tulis, biaya transportasi dan akomodasi siswa/guru dalam rangka mengikuti lomba, fotocopy, membeli alat olah raga, alat kesenian, dan biaya pendaftaran mengikuti lomba);
4. Pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian madrasah, dan laporan hasil belajar siswa (misalnya untuk fotocopy, honor koreksi ujian dan honor guru dalam rangka penyusunan raport siswa);
5. Pembelian bahan-bahan habis pakai: buku tulis, kapur tulis, pensil, spidol, kertas, bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris, langganan koran/majalah pendidikan, makanan dan minuman ringan untuk kebutuhan sehari-hari di madrasah/PPS, serta pengadaan suku cadang alat kantor;
6. Pembiayaan langganan daya dan jasa, yaitu listrik, air, telepon, internet, termasuk untuk pemasangan baru jika sudah ada jaringan di sekitar madrasah/PPS. Khusus di madrasah/PPS yang tidak ada jaringan listrik dan madrasah tersebut memerlukan listrik untuk proses belajar mengajar di madrasah/PPS, maka diperkenankan untuk membeli genset;
7. Pembiayaan perawatan madrasah/PPS, yaitu pengecatan, perbaikan atap bocor, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan mebeler, perbaikan sanitasi madrasah/PPS, perbaikan lantai ubin/keramik, dan perawatan fasilitas madrasah/PPS lainnya;
8. Pembayaran honorarium bulanan guru honorer dan dan tenaga kependidikan honorer, misalnya petugas laboratorium, petugas perpustakaan, tenaga administras. Khusus untuk MI/PPS Ula dan Wustha, diperbolehkan untuk membayar honor tenaga yang membantu administrasi BOS;
9. Pengembangan profesi guru, seperti pelatihan, KKG/MGMP dan KKKM/MKKM. Misalnya untuk pembayaran honorarium narasumber, penulis naskah materi paparan, pengadaan alat tulis, penggandaan materi, transport dan konsumsi;
10. Pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah biaya transport dari dan ke madrasah/PPS. Jika dinilai lebih ekonomis, dapat juga digunakan untuk membeli alat transportasi sederhana yang akan menjadi barang inventaris madrasah (misalnya sepeda, perahu penyeberangan, dll);
11. Pembiayaan pengelolaan BOS: alat tulis kantor (termasuk tinta printer, CD, dan flash disk), penggandaan, surat menyurat, insentif bagi Kepala Madrasah/Penanggung jawab PPS dan bendahara dalam rangka penyusunan laporan BOS dan biaya transportasi dalam rangka mengambil dana BOS di Bank/PT Pos;
12. Pembelian komputer (desktop/work station) dan printer untuk kegiatan belajar siswa, masing-masing maksimum 1 unit dalam satu tahun anggaran;
13. Khusus untuk pesantren salafiyah, dana BOS dapat digunakan untuk biaya asrama/ pondokan dan membeli peralatan ibadah.
14. Bila seluruh komponen 1 s/d 12 di atas telah terpenuhi pendanaannya dari dana BOS dan masih terdapat sisa dana, maka sisa dana BOS tersebut dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran, mesin ketik, peralatan UKS, dan mebeulair madrasah/PPS.
Dalam hal penggunaan dana BOS di madrasah/PPS, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Prioritas utama penggunaan dana BOS adalah untuk kegiatan operasional madrasah/PPS;
2. Pembelian barang/jasa per belanja tidak melebihi Rp. 10 juta
3. Penggunaan dana BOS untuk transportasi dan uang lelah bagi guru PNS diperbolehkan hanya dalam rangka penyelenggaraan suatu kegiatan madrasah di luar kewajiban jam mengajar. Besaran/satuan biaya untuk transportasi dan uang lelah guru PNS yang bertugas di luar jam mengajar tersebut, harus mengikuti Standar Biaya Umum (SBU) yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.[1]
Ada juga larangan penggunaan BOS agar biaya yang seharusnya digunakan untuk membantu siswa, tetapi digunakan untuk keperluan yang lain. Larangan Penggunaan Dana BOS sebagai berikut :
1. Disimpan dalam jangka waktu lama dengan maksud dibungakan;
2. Dipinjamkan kepada pihak lain;
3. Membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas madrasah dan memerlukan biaya besar, misalnya studi banding, studi tour (karya wisata) dan sejenisnya;
4. Membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru;
5. Membeli pakaian/seragam bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris madrasah);
6. Digunakan untuk rehabilitasi sedang dan berat;
7. Membangun gedung/ruangan baru;
8. Membeli bahan/peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran;
9. Menanamkan saham;
10. Membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat atau pemerintah daerah secara penuh/wajar, misalnya guru kontrak/guru bantu;
11. Membiayai kegiatan penunjang yang tidak ada kaitannya dengan operasional madrasah, misalnya iuran dalam rangka perayaan hari besar nasional dan upacara keagamaan;
12. Membiayai kegiatan dalam rangka mengikuti pelatihan/sosialisasi/pendampingan terkait program BOS/perpajakan program BOS yang diselenggarakan lembaga di luar Kementerian Agama.
Landasan hukum dalam pelaksanaan program BOS Tahun 2009 meliputi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang No. 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan.
3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999.
4. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
5. Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Bendaharawan Wajib Memungut Pajak Penghasilan.
6. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
7. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
8. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
9. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
10. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
11. Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
12. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
13. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
14. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
15. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
16. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
17. Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
18. Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama No. 1/U/KB/2000 dan No. MA/86/2000 tentang Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
19. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 036/U/1995 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.
20. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Dalam makalah ini, penulis mencantumkan landasan hukum tentang BOS, agar terlihat jelas penekanan tentang pentingnya BOS itu sebenarnya. Melihat banyaknya landasan hukum tentang BOS ini, penulis menuliskan isi dari Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Mengenai BOS terdapat dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pada Bab VI pasal 41 yaitu :
1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.
2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat memberikan bantuan sumberdaya pendidikan kepada badan hukum pendidikan.
3) Pemerintah dan Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP dan BHPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional pendidikan.
4) Pemerintah dan Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP.[2] Kemudian pada ayat (6) yaitu : Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit ½ (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional pendidikan.
Pada pasal 44 yaitu : Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP penyelenggara, dalam menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar, untuk biaya operasional dan beasiswa, serta bantuan biaya investasi dan biaya pendidikan bagi peserta didik sesuai dengan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.[3]
C. Lembaga Pendidikan sebagai Layanan Umum Badan Hukum Pendidikan
Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada tanggal 16 Januari 2009 yang lalu, masyarakat yang hendak menyelenggarakan usaha di bidang pendidikan selalu memilih bentuk Yayasan ataupun Perkumpulan yang berbadan hukum sebagai naungan dari lembaga pendidikan dimaksud. Pada tahun 2001, yaitu pada saat diundangkannya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (untuk selanjutnya lebih mudah jika kita menyebutnya UU Yayasan), mulai terdapat kebimbangan di antara para pengurus Yayasan yang menyelenggarakan bidang-bidang sosial yang bersifat komersial; contohnya bidang Pendidikan ataupun Rumah Sakit. Karena dalam UU Yayasan tersebut terdapat larangan pembagian laba atau keuntungan kepada pendiri atau Pembina yayasan dan pengurusnya atau afiliasinya. Larangan untuk menjadi profit center ini khususnya dalam bidang pendidikan juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang lebih dikenal dengan UU Sisdiknas. UU Sisdiknas ini juga menekankan mengenai prinsip nirlaba pada badan usaha (baik pemerintah maupun swasta) yang hendak menyelenggarkan pendidikan.
Melalui Undang-Undang No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, pemerintah sudah membuat suatu bentuk baru khusus untuk institusi yang menyelenggarakan pendidikan formal, menjadi satu bentuk/wadah yaitu Badan Hukum Pendidikan (BHP). Jadi sejak tanggal 16 Januari 2009 yang lalu sesuai pasal 10 UU No. 9/2009 tersebut, masyarakat ataupun pemerintah baik pusat maupun daerah yang akan mendirikan satuan pendidikan formal, tidak boleh lagi membentuk Yayasan, Perkumpulan, PT, atau CV sebagai wadahnya, melainkan harus berbentuk BHP. BHP adalah Badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang, yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Atau dengan kata lain, kalau ada yang hendak membuat usaha yang menyelenggarakan sekolah-sekolah formal yang berjenjang, baik itu TK, SD, SMP, SMU/SMK/, madrasah, sekolah tinggi maupun Universitas, sejak tanggal 16 Januari 2009 tidak boleh lagi dinaungi oleh Yayasan, perkumpulan ataupun badan hukum lainnya, melainkan BHP.[4] Di dalam UU sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pasal 53 Badan Hukum Pendidikan yaitu :
1) Penyelenggara/atau satuan pendidiakn formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang.[5]
Dalam UU RI No.9 tahun 2009 Badan Hukum negara dijelaskan : Bab I ketentuan Umum Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:1. Badan hukum pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal, 2. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah yang selanjutnya disebut BHPP adalah badan hukumpendidikan yang didirikan oleh Pemerintah. 3. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah yangselanjutnya disebut BHPPD adalah badan hukumpendidikan yang didirikan oleh pemerintah daerah, 4. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yangselanjutnya disebut BHPM adalah badan hukumpendidikan yang didirikan oleh masyarakat.[6]
D. Beasiswa
Beasiswa adalah berupa bantuan kepada peserta didik untuk membantu mereka membiyai pendidikannya. menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Undang-Undang No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, Bab VI, Pasal 46 ayat (2), menyebutkan bahwa Badan Hukum Pendidikan wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik. Peraturan Pemerintah No 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, Bagian Kelima, Pasal 27 ayat (1), menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya memberi bantuan biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya. Pasal 27 ayat (2), menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberi beasiswa kepada peserta didik yang berprestasi. Mengacu pada Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut, maka Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi – Departemen Pendidikan Nasional, mengupayakan pemberian bantuan berbentuk Bantuan Pendidikan bagi Mahasiswa yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, dan Beasiswa bagi Mahasiswa Berprestasi yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan; melalui Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM), Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dan Beasiswa Peningkatan Prestasi Ekstrakurikuler (PPE).[7] Adapun dasar disalurkannya beasiswa adalah :
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
3. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan Kebijakan pemerintah. Dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pada Bab VI pasal 40 ayat (3) juga disebutkan tentang beasiswa, yaitu : Badan hukum pendidikan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa, dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. 41 ayat (1) yaitu: Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.[8]
E. Hibah
Bentuk bantuan pendanaan ini adalah suatu bantuan yang tidak mensyaratkan kepada pemohon untuk mengembalikan bantuan yang diberikan apabila kegiatan telah selesai tetapi pemohon cukup menyampaikan laporan hasil kegiatannya. Jadi tidak ada pembayaran balik dari penerima ke pemberi bantuan dana. Hasil kegiatan ini biasanya akan dipakai oleh lembaga donor tersebut sebagai salah satu pencapaian kegiatan lembaga donor. Hibah pada umumnya tidak hanya berbentuk modal/dana cash, tetapi bisa juga tenaga ahli dan manajemen, maupun alih teknologi. Hibah ini dapat berasal dari satu Negara (bilateral) dan dapat juga dari suatu lembaga pendanaan regional atau internasional (multilateral) misalnya lembaga-lembaga dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP, FAO, WHO, dan lain-lain).[9]
Mengenai hal hibah, tercantum juga dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 168 / PMK.07/2008 Tentang Hibah Daerah[10] yaitu :
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1)
Hibah Daerah meliputi:
a.
Hibah kepada Pemerintah Daerah; dan
b.
Hibah dari Pemerintah Daerah.
(2)
Hibah sebagainiana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk uang, barang, dan/atau jasa.
(3)
Hibah kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat bersumber dari:
a.
Pemerintah;
b.
Pemerintah Daerah lain;
c.
Badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri; dan/atau
d.
Kelompok masyarakat/perorangan dalam negeri.
(4)
Hibah dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat bersumber dari:
a.
Pendapatan APBN;
b.
Pinjaman Luar Negeri; dan/atau
c.
Hibah Luar Negeri;
(5)
Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c dapat bersumber dari:
a.
Pemerintah negara asing;
b.
Badan/lembaga asing;
c.
Badan/lembaga internasional; dan/atau
d.
Donor lainnya.
Pasal 3
(1)
Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b, huruf c dan huruf d dikelola dan dilaksanakan dalam mekanisme APBD sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dikelola dan dilaksanakan dalam mekanisme APBN pada BAPP.
Pasal 4
(1)
Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b adalah hibah dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain, Badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, dan/atau Kelompok masyarakat/perorangan dalam negeri:
(2)
Hibah dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah dikelola dan dilaksanakan dalam mekanisme APBD dan APBN.
(3)
Hibah dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah lain, Badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, dan/atau Kelompok masyarakat/perorangan dalam negeri dikelola dan dilaksanakan dalam mekanisme APBD sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
(1)
Hibah dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah merupakan penerimaan Pemerintah.
(2)
Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dan dilaksanakan dalam mekanisme APBN sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB III
PRINSIP PEMBERIAN HIBAH PEMERINTAH
KEPADA PEMERINTAH DAERAH
Pasal 6
(1)
Hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dilaksanakan dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2)
Hibah dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3)
Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4)
Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah.
(5)
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diusulkan oleh Kementerian Negara/Lembaga terkait.
Pasal 7
(1)
Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dituangkan dalam NPHD antara Menteri Keuangan atau Kuasa Menteri Keuangan dengan Kepala Daerah.
(2)
Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dan huruf c dituangkan dalam NPPH antara Menteri Keuangan atau Kuasa Menteri Keuangan dengan Kepala Daerah.
(3)
Kuasa Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah Direktur Jenderal.
(4)
Dalam hal dipersyaratkan dalam NPHD atau NPPH, Pemerintah Daerah menyediakan dana pendamping atau kewajiban lain yang membebani APBD.
BAB IV
KRITERIA PEMBERIAN HIBAH PEMERINTAH
KEPADA PEMERINTAH DAERAH
Pasal 8
Pemerintah memberikan hibah yang bersumber dari pendapatan APBN kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kegiatan dengan kriteria kegiatan sebagai berikut:
a.
Kegiatan yang menjadi urusan Pemerintah Daerah atau untuk kegiatan peningkatan fungsi pemerintahan, layanan dasar umum, dan pemberdayaan aparatur Pemerintah Daerah;
b.
Kegiatan tertentu yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan Pemerintah yang berskala nasional/internasional oleh Pemerintah Daerah;
c.
Kegiatan lainnya sebagai akibat kebijakan Pemerintah yang mengakibatkan penambahan beban pada APBD; dan/atau
d.
Kegiatan tertentu yang diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
Pemerintah memberikan Hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kegiatan dengan kriteria kegiatan sebagai berikut:
a.
Kegiatan yang merupakan urusan Pemerintah Daerah dalam rangka pencapaian sasaran program dan prioritas pembangunan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan/atau
b.
Kegiatan yang diprioritaskan untuk Pemerintah Daerah dengan Kapasitas Fiskal rendah berdasarkan Peta Kapasitas Fiskal Daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Selanjutnya mengenai hibah, terdapat juga pada peraturan Menteri Keuangan Nomor 169 / PMK. 07 /2008 dan peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 57 tahun 2005 Tentang Hibah Kepada Daerah[11] dan yang berhubungan dengan bentuk hibah yaitu
BAB III
PENERIMAAN HIBAH
Pasal 7
Penerimaan Hibah bersifat sebagai bantuan yang tidak mengikat, dan harus digunakan sesuai dengan persyaratan didalam NPHD dan/atau NPPH.
Pasal 8
(1)
Bentuk hibah berupa :
a.
Uang;
b.
Barang; dan/atau
c.
Jasa.
(2)
Hibah dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa rupiah, devisa, dan/atau surat berharga.
(3)
Hibah dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak.
(4)
Hibah dalam bentuk jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa bantuan teknis, pendidikan, pelatihan, penelitian, dan jasa lainnya.
BAB IV
PENGGUNAAN HIBAH
Bagian Kesatu
Tujuan Hibah
Pasal 9
Hibah digunakan untuk menunjang peningkatan fungsi pemerintahan dan layanan dasar umum, serta pemberdayaan aparatur Daerah.
F.Lembaga Donor
Peranan lembaga donor dalam pengembangan pendidikan dasar sangat besar. Hal itu bisa dilihat dari keterlibatan lembaga donor-terutama DBE- yang menjadi mitra bagi sekolah dalam seperti di Banten. Bentuk jalinan kerja sama internasional itu beragam, ada yang sifatnya pinjaman (loan), pinjaman lunak (soft loan), ataupun berupa hibah (grant) dengan segala variasinya. Ada beberapa alasan mengapa bantuan luar negeri dan bentuk kerjasama internasional masih diperlukan dalam tatanan pembangunan pendidikan nasional kita.
Alasan pertama, semakin meningkatkan hubungan simbiosis antara negara donor dan negara penerima bantuan, terlepas pada motif apa di balik kerja sama itu. Adanya kerja sama internasional dalam pendidikan akan merekatkan kekerabatan antarbangsa.
Alasan kedua, sebagai negara berkembang, dalam kadar tertentu sumber dana Indonesia masih terbatas. Dengan adanya kerja sama diharapkan pembangunan pendidikan nasional dapat dilaksanakan secara bertahap, sistemik, berkesinambungan untuk kesejahteraan nasional dengan menggunakan dana yang multi sourcing.[12]
Daftar Pustaka dan Footnote
Afnil Guza, UU RI Nomor 9 Tahun 2009 Badan Hukum Pendidikan dan Sistem Pendidikan Nasional UU RI Nomor 20 Tahun 2003, Jakarta : Asa Mandiri, 2009
Benny Setiawan, Agenda PendidikanNasional, Jogjakarta : ar-Ruzz Media, 2008
Badan Hukum Pendidikan di Wikipedia
Buku pedoman beasiswa, http://www.polines.ac.id/pedomanbeasiswa
Kementrian Agama RI, Peningkatan Manajemen Melalui Penguatan Tata Kelola dan Akuntabilitas di Sekolah
Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 Tentang Pendidikan Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Menteri Keuangan nomor 168 / PMK.07/2008 dalam http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2008/168~PMK.07~2008
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37 tahun 2010
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan
Buku pedoman beasiswa, http://www.polines.ac.id/pedomanbeasiswa
_______________________
[1]Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37 tahun 2010
[2] Afnil Guza, UU RI Nomor 9 Tahun 2009 Badan Hukum Pendidikan dan Sistem Pendidikan Nasional UU RI Nomor 20 Tahun 2003, (Jakarta : Asa Mandiri, 2009)
[3] Guza, UU RI Nomor 9 Tahun 2009 Badan Hukum Pendidikan dan Sistem Pendidikan Nasional UU RI Nomor 20 Tahun 2003
[4][4] Badan Hukum Pendidikan di Wikipedia
[5] [5] Guza, UU RI Nomor 9 Tahun 2009 Badan Hukum Pendidikan dan Sistem Pendidikan Nasional UU RI Nomor 20 Tahun 2003
[6] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN
[7] Buku pedoman beasiswa, http://www.polines.ac.id/pedomanbeasiswa
[8] Guza, UU RI Nomor 9 Tahun 2009 Badan Hukum Pendidikan dan Sistem Pendidikan Nasional UU RI Nomor 20 Tahun 2003
[9] Macfudh, dalam http://www.kantoronline.net/
[10]Peraturan Menteri Keuangan nomor 168 / PMK.07/2008 dalam http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2008/168~PMK.07~2008
[11] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 57 tahun 2005 Tentang Hibah Kepada Daerah, dalam http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2005/57TAHUN2005PP
[12] http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=12707