A. PENDAHULUAN
Surah ini diturunkan di Madinah dan seluruhnya terdiri dari 286 ayat. Nama al-Baqarah (sapi betina) sendiri diambil dari cerita yang terdapat dalam surat tersebut tentang sapi betina pada masa Nabi Musa. Surah Al-Baqarah merupakan surah yang terpanjang di antara berbagai surat dalam Alquran. Di samping itu, Surah al-Baqarah juga mengandung macam-macam hukum yang tidak terdapat di dalam surat yang lain. Karena itulah, Khalid bin Ma’adan menamakannya dengan Fusthath al-Quran (Tenda Besar Al-Qur’an).Di dalam riwayat lain, Al-Baqarah juga disebut dengan nama Sanam al-Qur’an (Punuknya Al-Qur’an).[1]
Surah ini juga memiliki beberapa keutamaan. Dalam salah satu hadis, Nabi SAW bersabda, “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sungguh, setan akan lari dari suatu rumah yang di dalamnya dibaca Surah Al-Baqarah.”[2] Di samping itu, di dalam surah al-Baqarah, juga terdapat ayat al-Kursi yang memiliki banyak keutamaan. Tentang ayat al-Kursi ini, Nabi Muhammad bersabda dalam salah satu hadisnya, “Pemimpin ayat Al-Qur’an adalah ayat Kursi.”[3] Selain ayat Kursi, kedua ayat terakhir di dalam al-Baqarah juga memiliki banyak keutamaan. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari Surah al-Baqarah di dalam hari, maka kedua ayat itu akan mencukupkan dirinya.”[4]
PEMBAHASAN
Tafsir Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 1-10
1. Ayat Pertama
الم Alif laam miin (Hanya Allah Swt yang Tahu Artinya)
Ayat ini terdiri dari tiga huruf, yaitu alif, lam, dan mim yang dibaca secara terpisah meski tertulis dalam bentuk satu kata. Ayat yang terletak di awal surah seperti ini disebut pula dengan huruf at-tahajji (huruf abjad). Model ayat seperti ini terdapat di terdapat 19 surah,[5] seperti, alif laam raa, alif laam miim shaad dan sebagainya. Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang ayat-ayat seperti ini. Menurut as-Suyuthi, pendapat yang tepat adalah bahwa ia termasuk ayat mutasyabih (samar) yang mengandung rahasia Allah yang hanya diketahui oleh-Nya.[6] Sebagian ulama seperti Ibnu Abbas berpendapat bahwa ayat (الم) dan ayat lain yang sejenis merupakan singkatan dari kalimat tertentu. Ayat (الم) misalnya dimaknai sebagai singkatan dari أنا الله أعلم (Akulah Allah yang Maha Mengetahui). [7]
Menurut Qatadah, huruf-huruf tersebut merupakan nama-nama Al-Qur’an. Sedangkan menurut Mujahid dan Ibnu Zaid, huruf-huruf itu adalah nama-nama surah. Dikatakan nama surah karena jika Fulan membaca, misalnya المص , maka pendengar pun mengetahui bahwa Fulan sedang membaca sebuah surat yang dibuka dengan المص. Dalam kesempatan lain, Ibnu Abbas mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah sumpah. Lebih lanjut al-Akhfasy menjelaskan bahwa Allah bersumpah dengan huruf-huruf tersebut.[8]
Sedangkan at-Tustari berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut adalah nama Allah yang mengandung berbagai makna dan sifat-Nya. Jika ayat tersebut dipisah-pisahkan, maka huruf alif berarti susunan yang diciptakan Allah. Dia menyusun segala sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki. Sedangkan huruf lam berarti لُطْفُهُ اْلقَدِيْمُ (kelembutan-Nya yang abadi). Huruf mim berarti مَجْدُهُ الْعَظِيْمُ (kedermawanan-Nya yang agung). Ayat-ayat demikian juga jika digabungkan dengan satu sama lain akan menjadi kata yang bermakna nama Allah, seperti ayat الر, حم, dan ن, akan menjadi الرحمن (ar-Rahman) yang berarti Maha Pengasih.[9]
Masih banyak pandangan ulama yang berupaya untuk menafsirkan tentang ayat-ayat demikian. Namun seperti pandangan Ibnu Katsir, pandangan-pandangan tersebut mungkin untuk dikompromikan, yaitu bahwa ayat-ayat tersebut merupakan nama-nama surah dan nama-nama Allah yang dipergunakan untuk mengawali suatu surah. Setiap huruf dalam ayat-ayat tersebut menunjuk kepada salah satu nama dari nama-nama Allah serta menunjuk kepada suatu sifat dari berbagai sifat-Nya. Hal itu sesuai dengan kebiasaan Alquran yang membuka awal surat dengan ungkapan pujian (tahmid), pensucian (tasbih), dan pengagungan (ta’zhim) kepada Allah. [10]
Ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa huruf-huruf itu gunanya untuk menarik perhatian para pendengar supaya memperhatikan Al-Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf. Jika mereka tidak percaya bahwa Al-Quran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, maka cobalah mereka buat semacam Al-Quran itu.[11]
2. Ayat kedua
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Quran) itu tidak ada keraguan padanya; sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa
Dalam at-Tafsir al-Muyassar, ayat di atas ditafsirkan bahwa inilah Alquran yang merupakan kitab yang agung. Tak ada keraguan bahwa ia berasal dari Allah. Tak satu pun dari orang bertakwa yang boleh meragukan penjelasannya. Orang-orang yang bertakwa bisa mengambil manfaat darinya, baik berupa ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Mereka itulah orang-orang yang merasa takut kepada Allah dan rela mengikuti hukum-hukum-Nya.[12]
Bagi orang-orang yang bertakwa, Alquran memang kitab suci yang tak diragukan otentisitas dan kebenaran pesan yang dikandungnya. Ia menjadi petunjuk (huda) bagi orang-orang yang bertakwa dalam menjalani hidup ini. Namun bagi orang-orang yang tidak bertakwa, Alquran bisa jadi diragukan kebenaran dan keasliannya. Hal inilah yang terjadi pada sebagian orang Islam yang tergoda dengan para orientalis. Mereka teracuni pemikiran-pemikiran para orientalis yang meragukan kebenaran Alquran. Keraguan-keraguan tersebut akhirnya menggerogoti keimanan. Pada gilirannya, mereka pun tak lagi meyakini Alquran sebagai kitab suci dari Allah yang pasti benar. Mereka bahkan menganggap Alquran hanya sebagai naskah kitab suci biasanya yang bisa dikritik dan diragukan kebenarannya.
3. Ayat Ketiga
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Ayat ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya tentang siapa yang dimaksud dengan orang yang bertakwa. Ayat ini lantas menjelaskan bahwa orang-orang yang bertakwa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) beriman kepada yang gaib; 2) mendirikan shalat; dan 3) dan menyumbangkan sebagian rezekinya kepada orang-orang yang berhak.
Dari ciri-ciri tersebut, bisa ditanyakan kembali apa yang dimaksud dengan iman? Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.
Yang ghaib ialah sesuatu yang tak dapat ditangkap oleh pancaindra. Percaya kepada yang gaib yaitu, meyakini adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindra, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.
Shalat menurut bahasa Arab berarti doa. Menurut istilah syara’, shalat adalah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. Mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melengkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusyuk, memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya.
Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya. Menafkahkan sebagian rezeki berarti memberikan sebagian dari harta yang telah diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang ditentukan oleh agama, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan lain-lain.[13]
4. Ayat keEmpat
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Setelah ayat sebelumnya menyebutkan tiga ciri orang yang bertakwa, ayat ini menyebutkan dua ciri berikutnya, yaitu (4) meyakini Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kitab-kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya, seperti Taurat, Injil, dan semua kitab lainnya; (5) dan meyakini kehidupan akhirat yang mengakhiri kehidupan dunia atau mengakhiri penciptaan.[14]
Dalam ayat ini, terdapat persoalan bagaimana Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Imam ar-Razi menjelaskan bagaimana proses pewahyuan itu terjadi. Menurutnya, sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad, Jibril mendengar langsung Kalam Allah di langit. Jika ditanyakan, bagaimana cara Jibril mendengar Kalam Allah? Padahal Kalam Allah tidak terdiri dari huruf dan suara seperti yang dikenal manusia. Dalam hal ini, terdapat beberapa kemungkinan.[15]
Pertama, Allah bisa saja menciptakan pendengaran bagi Jibril guna mendengar Kalam-Nya langsung, lantas Allah memberikan kemampuan kepada Jibril untuk mengungkapkannya dalam bentuk ungkapan tertentu dari Kalam-Nya yang qadim tersebut. Kedua, Allah menciptakan tulisan dalam susunan tertentu di Lauh Mahfuz lantas Jibril membaca dan menghafalkannya. Ketiga, Allah menciptakan suara-suara terpisah yang menggambarkan susunan kalimat tertentu yang muncul pada jasad tertentu, lantas Jibril menangkap suara-suara tersebut. Selanjutnya, Allah memberikan pengetahuan kepada Jibril bahwa ungkapan-ungkapan tersebut sesuai dengan makna yang dikandung dari Kalam-Nya yang qadim itu.
Dalam ayat di atas juga disebutkan tentang keyakinan terhadap kehidupan akhirat sebagai salah satu ciri orang-orang bertakwa. Adanya kehidupan akhirat adalah sebuah konsekuensi logis dari prinsip keadilan Tuhan sebagaimana yang diuraikan oleh kalangan Mu’tazilah. Allah telah menjanjikan kebahagiaan di akhirat bagi orang-orang yang mengikuti aturan-aturan-Nya. Sebaliknya, Allah juga mengancam kesengsaraan di akhirat bagi orang-orang yang tidak sudi mengikuti aturan dan larangan-Nya.
Dengan demikian, jika hari akhirat yang dijanjikan Tuhan itu tidak ada, maka berarti Tuhan tidak adil, padahal Allah tidak mungkin berbuat tidak adil. Hal itu karena orang-orang yang membangkang terhadap aturan dan larangan Allah telah menikmati berbagai kenikmatan di dunia. Sementara orang-orang yang taat kepada-Nya justru tidak menikmati sebagian kenikmatan dunia karena mengikuti perintah-Nya. [16]
5. Ayat Kelima
أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat-ayat sebelumnya telah menyebutkan lima ciri-ciri orang bertakwa. Selanjutnya pada ayat ini, orang-orang yang bertakwa disebut sebagai orang-orang yang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan sebagai orang-orang yang beruntung. Dengan kata lain, ayat ini merupakan penegasan tentang ganjaran yang akan diperoleh orang-orang bertakwa, yaitu petunjuk dari Allah dan keberuntungan.
Keberuntungan yang diperoleh orang-orang bertakwa itu tidaklah didapat dengan mudah. Ia bukanlah seperti keberuntungan orang yang mendapat hadiah tanpa usaha dan kerja keras. Namun keberuntungan itu harus diperoleh dengan kerja keras. Karena itulah kata dasar yang digunakan dalam ayat di atas adalah al-falh (الفلح), yang berarti membelah dan memotong. Dalam bahasa Arab, petani disebut fallaah (فَلاََّح), karena seorang petani harus bekerja keras dengan membelah atau membajak tanah.[17]
6. Ayat keEnam
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang kafir itu sama saja bagi mereka. Kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
Setelah diuraikan tentang golongan orang beriman, ayat ini menyebutkan golongan orang kafir. Sekilas ayat di atas menunjukkan bahwa seolah tidak ada gunanya berdakwah terhadap orang-orang kafir. Toh, hasilnya tetap sama saja. Diberi dakwah atau tidak, mereka tetap tidak beriman. Namun, sebenarnya hal itu karena kekafiran yang begitu mendalamlah sehingga membuat mereka tidak jua sudi beriman. Di samping itu, Allah memang memberikan hidayah kepadanya.
Tentang golongan kafir ini, Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar mengklasifikasikan menjadi tiga macam. Pertama, orang yang mengetahui kebenaran namun ia dengan sengaja mengingkarinya. Jumlah orang kafir inilah yang paling sedikit. Kedua, orang yang tidak mengetahui kebenaran, namun tidak ingin mengetahuinya dan tidak suka untuk mengetahuinya. Mereka bersikap masa bodoh dan tidak peduli dengan kebenaran. Ketiga, orang yang telah sakit jiwa dan hatinya. Ia tidak merasakan nikmatnya kebenaran. Tak ada ketertarikan di dalam hati mereka untuk menemukan kebenaran. Hati dan jiwa mereka telah dipenuhi dengan keinginan-keinginan duniawi dan kenikmatan jasmaniah semata. Akal dan pikiran mereka dicurahkan untuk memperoleh keuntungan material saja. Ketiga macam orang kafir seperti itulah yang hasilnya sama saja. Diberi dakwah atau tidak, mereka tetap tak beriman. [18]
7. Ayat keTujuh
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Bagi mereka siksa yang amat berat.
Ayat ini merupakan penjelasan lanjutan mengapa orang-orang kafir sama hasilnya: diberi peringatan atau tidak, mereka tetap tak jua beriman. Hal itu karena kekafiran mereka sudah betul-betul kuat dan kokoh. Saking kuat dan kokohnya sehingga seolah Allah menutup hati mereka. Karena itulah, hidayah pun tak jua sampai ke dalam hati sanubari mereka. Allah seolah meletakkan suatu penutup di pendengaran mereka sehingga tidak bisa mendengar ayat-ayat Allah, serta janji dan ancaman-Nya. Petunjuk-petunjuk kebenaran tidak berpengaruh ke dalam hati mereka.
Allah seolah melemparkan penutup mata bagi mereka, lantas mencopot kemampuan mereka untuk melihat dengan gamblang dan jelas. Karena itulah mereka pun terus saja berada dalam kekafiran. Dengan kekafiran itu pula, mereka diganjar dengan siksaan yang dahsyat dari Allah.[19]
Menurut Ibnu Abbas, orang-orang kafir yang telah tertutup hati, telinga, dan mata mereka itu adalah orang-orang Yahudi, seperti Ka’ab bin al-Asyraf, Huyay bin Akhthab, dan Juday bin Akhthab. Namun ada juga yang berpendapat, mereka adalah orang-orang musyrik Mekkah, seperti Utbah, Syaibah, dan al-Walid. [20]
Dalam realitas di masyarakat, kita bisa menemukan orang yang telah tertutup mata hati, telinga, dan matanya. Apapun nasihat dan anjuran kebenaran yang diberikan kepadanya, tak jua mempan untuk membuatnya sadar dan kembali ke jalan yang benar. Hal itu terjadi saat seseorang melakukan keburukan dan kemaksiatan secara berulang-ulang dan terus-menerus. Karena begitu seringnya keburukan dan kemaksiatan ia lakukan, hati nuraninya jadi tertutup. Ia tak lagi merasa berdosa dan gundah saat melakukan kejahatan dan keburukan.
8. Ayat keDelapan
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian.” Namun mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
Setelah sebelumnya disebutkan penjelasan tentang golongan beriman dan kafir, ayat ini menyebutkan tentang golongan ketiga manusia, yaitu golongan orang munafik. Hal itu selaras dengan penjelasan Imam al-Khazin, bahwa ayat ini memang diturunkan untuk orang-orang munafik, seperti Abdullah bin Ubay bin Salul, Ma’tab bin Qusyair, Jad bin Qais, dan lain-lain. Secara verbal, mereka menyatakan keislaman mereka agar mereka selamat dari Nabi Muhammad dan para sahabat. Namun sebenarnya mereka merahasiakan kekafiran mereka. Kebanyakan mereka berasal dari kalangan Yahudi. Sifat orang munafik bisa dikenali dari sikap mereka yang tidak konsisten. Mereka menyatakan Islam, namun hati mereka mengingkari Islam. Pagi hari mereka menyatakan suatu sikap tertentu, tapi di sore hari mereka menyatakan sikap yang berbeda.[21]
Sikap munafik tidak terjadi sebelum peristiwa hijrah kaum muslim dari Mekkah ke Madinah. Setelah hijrah dan kemenangan umat Islam dalam Perang Badar, barulah muncul sikap munafik. Kemenangan itu membuat pamor kaum muslim di Madinah menjadi meningkat. Saat itulah, orang-orang non Muslim di Madinah menjadi merasa gentar. Mereka pun memilih untuk menampakkan keislaman karena merasa takut dan sekedar pura-pura. Hal itu mereka lakukan agar keselamatan nyawa dan harta mereka tetap terjamin. [22]
9. Ayat keSembilan
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri namun mereka tidak menyadarinya.
Dari aspek qiraat, kata يُخَادِعُوْنَ الله bisa dibaca dengan cara lain. Qiraat yang paling banyak digunakan memang demikian. Namun Abdullah dan Abu Hayat membacanya dengan يَخْدَعُوْنَ الله, tanpa diberi huruf alif pada huruf kha.[23] Sedangkan kata وما يخدعون إلا أنفسهم juga memiliki dua cara membaca. Penduduk Kufah, Hamzah, ‘Ashim, dan al-Kisa’i membacanya dengan يَِخْدَعُوْنَ tanpa huruf alif pada huruf kha. Sementara yang lain membacanya dengan يُخَادِعُوْنَ tambahan huruf alif pada huruf kha. Meski terdapat sedikit perbedaan cara membaca, kata tersebut relatif memiliki makna yang sama.[24]
Ayat ini merupakan lanjutan penjelasan tentang jati diri orang-orang munafik. Ungkapan “mereka hendak menipu Allah” tentu saja bukan makna yang sebenarnya, karena Allah pasti Maha Mengetahui dan Kuasa. Allah tidak akan bisa ditipu oleh siapapun. Di dalam tafsir al-Qurthubi, ungkapan tersebut ditafsirkan, bahwa “mereka menipu Allah menurut pandangan atau dugaan mereka saja.”[25] Karena itulah, ungkapan tersebut dilanjutkan dengan ungkapan berikutnya: “mereka hanyalah menipu diri sendiri.”
10. Ayat keSepuluh
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dalam hati mereka, terdapat penyakit, lantas Allah menambah penyakit mereka. Bagi mereka siksa yang menyakitkan, disebabkan mereka berdusta.
Ayat ini menjelaskan penyebab orang-orang termasuk golongan munafik. Hal itu karena di dalam hati mereka terdapat penyakit, syak wasangka dan iri hati. Sakit terbagi dua macam, sakit fisik dan sakit psikis. Secara denotatif (hakiki), sakit fisik terdapat di anggota badan yang mengakibatkan seseorang tidak mampu melakukan berbagai perbuatan sebagaimana biasanya. Sedangkan secara konotatif (majazi), sakit psikis terdapat di dalam hati seseorang sehingga mengurangi kesempurnaan perbuatannya, seperti kebodohan, jeleknya akidah, dengki, pemarah, suka maksiat, dan lain-lain. Penyakit-penyakit hati ini bisa mencegah seseorang untuk bisa meraih keutamaan hidup, atau menghalanginya dalam mencapai kehidupan hakiki yang abadi. Ayat di atas mengandung pengertian sakit, baik secara fisik maupun psikis sekaligus. Namun mayoritas ulama menafsirkannya sebagai sakit secara psikis. [26]
Ungkapan “Allah menambah sakit mereka” adalah dikaitkan dengan turunnya Alquran. Bagi orang-orang munafik, setiap kali ayat Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad, mereka pun mengingkari kebenaran ayat tersebut. Pada saat itu, semakin bertambah pula rasa syak wasangka dan kedengkian dalam diri mereka. Dengan demikian, rasa sakit dalam hati mereka juga kian bertambah. [27]
Meski bertambahnya penyakit dalam hati mereka adalah karena ulah orang munafik itu sendiri, namun ayat tersebut menggunakan ungkapan “Allah menambah sakit mereka.” Hal itu karena memang Allah yang menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini. Allah pula yang menciptakan dan mewujudkan terjadinya sakit mereka yang semakin bertambah. [28]
Daftar Pustaka dan Footnote
- ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
- Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, et.al, at-Tafsir al-Muyassar.
- Abdurrahman bin Nashir bin as-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam ar-Mannan, (tk: Muassasah ar-Risalah, 2000).
- Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H).
- Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
- Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
- Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997).
- Ahmad Mushthfa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Syirkah Maktabah al-Babi al-Halabi, tt.).
- As’ad Humaid, Aysar at-Tafasir.
- At-Tustari, Tafsir at-Tustari.
- Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000).
- Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas.
- Ibnu Abd as-Salam, Tafsir Ibnu Abd as-Salam.
- Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994).
- Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974).
- Muhammad bin Abdullah Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990).
- Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 2003).
- Muhammad bin Ahmad asy-Syarbini, Tafsir as-Siraj al-Munir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt).
- Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H).
- Muhammad bin Rasyid bin Ali Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manaar), (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990).
- Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi.
- Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ ash-Shahih (Shahih Muslim), (Beirut: Dar al-Aufaq al-Jadidah, tt).
- Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran, Alquran dan Terjemahnya, (Semarang, Tanjung Mas Inti, tt).
__________________
[1] Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), juz 1, hal. 191.
[2] Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ ash-Shahih (Shahih Muslim), (Beirut: Dar al-Aufaq al-Jadidah, tt),hadis no 1860, juz, hal. 188.
[3] Muhammad bin Abdullah Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), hadis 3030, juz 1, hal. 286.
[4] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H), juz 12, hal. 498.
[5] Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H), juz 1, hal. 165.
[6] Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), juz 1, hal. 190
[7] Ibid.
[8] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hal. 59.
[9] At-Tustari, Tafsir at-Tustari, Juz 1, hal. 5.
[10] Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), juz 1, hal. 158.
[11] Ibid., juz 1, hal. 160.
[12] Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, et.al, at-Tafsir al-Muyassar, hal. 16.
[13] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran, Alquran dan Terjemahnya, (Semarang, Tanjung Mas Inti, tt), hal. 8-9.
[14] Ibnu Abd as-Salam, Tafsir Ibnu Abd as-Salam, juz 1, hal. 11.
[15] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 2, hal. 30.
[16] Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, hal. 8.
[17] Ahmad Mushthfa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Syirkah Maktabah al-Babi al-Halabi, tt.), juz 1, hal. 45.
[18] Muhammad bin Rasyid bin Ali Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manaar), (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990), juz 1, hal. 119.
[19] As’ad Humaid, Aysar at-Tafasir, juz 1, hal. 14.
[20] Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas, juz 1, hal 3.
[21] ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz 1, hal. 32.
[22] Abdurrahman bin Nashir bin as-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam ar-Mannan, (tk: Muassasah ar-Risalah, 2000), hal. 10.
[23] Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), juz 1 , hal. 51.
[24] Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), juz 1, hal. 52.
[25] Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 2003), juz 1, hal. 195.
[26] Muhammad bin Ahmad asy-Syarbini, Tafsir as-Siraj al-Munir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz 1, hal. 26.
[27] Ibid.
[28] Ibid.