Makalah Pemerintahan Indonesia Dan Hukum Syari’at Islam
Oleh: NENNY RACHMAWATI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Allah SWT. menciptakan manusia di muka bumi untuk menjadi seorang khalifah atau pemimpin. Seorang pemimpin haruslah selalu berpedoman kepada kitabullah Al-Qur’anul kariim dan juga kepada al-hadits. Tentu saja system kepemimpinannya harus sesuai dengan hukum syari’at Islam. Di negara Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai suku dan agama menjadikan Indonesia tidak bisa menjadi negara Islam walaupun mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Sehingga system pemerintahan yang dianut pun bukan hukum syari’at Islam, melainkan berpedoman pada Pancasila. Untuk beberapa golongan, hal ini dijadikan sebagai alat untuk menjatuhkan dan membangkang kepada Pemerintahan Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Sunnah Rasulullah SAW Dalam Menghadapi Pemerintah
Allah S.W.T berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S An Nisaa: 59)
Sabda Rasulullah S.A.W:
”Barangsiapa yang mentaatiku maka dia mentaati Allah dan sesiapa yang menderhakaiku maka dia juga menderhakai Allah dan barangsiapa yang mentaati pemerintah maka dia mentaati aku dan sesiapa yang derhaka pada pemerintah maka dia menderhakaiku.” [Hadis Sahih: Riwayat Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibn Majah, dan Ahmad]
Berdasarkan ayat dan hadis di atas ulama’ Ahlus Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa mentaati pemerintah muslim itu adalah wajib.
b. Ahlus Sunnah wal Jamaah
Dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa umat Islam terpecah menjadi 73 kelompok dan hanya satu kelompok yang dipastikan selamat dan jaya di dunia dan akhirat. Para ulama kita sepakat bahwa satu kelompok yang dijamin selamat tersebut adalah kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun seiring waktu, hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi semakin pudar dan asing, bahkan bertolak belakang dengan paham keumuman. Tulisan ini mencoba menuntun Anda dalam memaknai Hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah: Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah ‘Alaihi Asholatu wa Sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajma’in. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajma’in.
As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk. Sedangkan menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela. [Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah, hal. 16]
Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).” [Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab]
Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah]
Jama’ah menurut ulama ‘aqidah adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Shahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.
Kata Imam Abu Syammah as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H): “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya ialah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.
Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’.
Berkata Syeikh Thahawi dalam matan ‘Aqidah:
”Dan bukanlah dari ‘aqidah kami -ahli sunnah- menentang pemerintah walaupun mereka itu berlaku zalim dan tidak pula kami mendoakan kejahatan atas mereka, adapun ‘aqidah kami adalah mentaati mereka itu bermakna mentaati Allah Azza wa Jalla yaitu satu kefardhuan atas kami selama mana mereka tidak menyuruh melakukan maksiat dan kami mendoakan mereka dengan kebaikan dan keampunan.”
Berdasarkan ayat terdahulu Allah S.W.T meletakkan syarat pemerintah yang wajib ditaati itu adalah muslim berdasarkan "منكم"(dari Kamu).
Ketaatan kepada pemimpin adalah muqayyad atau tertakluk kepada apa yang bersesuaian dengan syariat Allah adapun yang menyelisihi syara’ maka tiada taat bahkan haram dan wajib ketika itu menasihati pemerintah dan menyuruh kepada makruf.
Dalam hadis Sahih daripada Syaikhan:
”Dari Ibn Umar R.A., Nabi SAW bersabda: Wajib atas muslim itu mematuhi pemerintah dalam perkara yang ia suka mahupun tidak melainkan apabila diperintah melakukan maksiat maka ketika itu tidak wajib lagi taat.” [Hadis Sahih: Riwayat Bukhari dan Muslim]
Perkataan أولي الأمر menurut ulama’ tafsir merangkumi semua jenis pengausa ‘am dan khas seperti raja,menteri,khalifah,ulama’ dan penguasa agama seperti mufti dan ibu bapa serta suami.
Kewajiban ini mentaati pemerintah ini datang setelah pemerintah itu melaksanakn keadilan dan menunaikan amanah yang dipertanggungjawabkan atasnya. Ini berdasarkan ayat sebelum ayat ini yaitu surah an-Nisaa’ ayat 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ((Q.S An Nisaa: 58)
Ayat ini Allah S.W.T menujukan khitabnya pada pemerintah untuk melakukan keadilan dan kesaksamaan dan menunaikan amanah dengan baik kemudian Allah SWT berpesan pula kepada rakyat untuk mentaati pemerintah dalam ma’ruf.
Apabila pemerintah itu berlaku zalim
Dalam menghadapi masalah ini Rasulullah SAW. telah memberikan petunjuk yang amat baik sekali dalam hadis-hadis baginda yang sahih:
”Dari Ibn Abbas R.A.: Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Barang siapa yang benci pada pemerintahnya sesuatu (daripada maksiat) maka hendaklah dia bersabar kerana sesiapa yang menentang pemerintah maka dia mati sebagai mana orang Jahiliyyah. [Hadis Sahih: Muttafaq ‘Alaih – Riyadhus Solihin]
“Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata: Kami menemui Ubadah bin Samit ketika dia sakit dan kami berkata padanya: Ceritakanlah pada kami-semog Allah menyembuhkan kamu- akan suatu hadis yang bermanfaat yang engkau dengar dari Rasulullah SAW. maka dia berkata: Rasulullah menyeru kami lalu kami membaiat baginda dan antara isi baiat itu; hendaklah kami dengar dan taat ketika suka dan benci, susah dan senang dan yang memeberi kesan pada kami dan janganlah kami mencabut urusan (pemerintahan) daripada ahlinya melainkan engkau melihat padanya(pemerintah) kufur yang nyata yang kamu boleh buktikannya di hadapan Allah.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim]
”Dari Ummu Salamah bahawa Rasulullah SAW. berkata: Akan ada pemimpin-pemimpin yang kamu kenal dan kamu ingkarinya(kerana maksiatnya) maka sesiapa yang menegnali maksiat itu maka dia terlepas (tidak terjebak dalamnya) dan sesiapa yang ingkar maka dia selamat tetapi (yang berdosa adalah) mereka yang redha dan ikut. Mereka(Sahabat) berkata: Apakah tidak boleh kami memerangi mereka? Kata baginda: tidak boleh selagi mereka solat.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim]
”Dari ‘Auf bin Malik daripada Rasulullah SAW. baginda bersabda: Sebaik-baik pemimpin kamu adalah yang kamu menyukai mereka dan mereka menyukai kamu, mereka mendoakan kamu dan begitu juga kamu mendoakan mereka,adapun seburuk-buruk pemimpin kamu adalah yang kamu benci akan mereka begitu juga mereka benci pada kamu, kamu melaknat mereka dan mereka juga melaknat kamu.Ditanya RasulullahS.A.W: Wahai Rasulullah apakah tidak boleh kami melawan mereka sahaja dengan pedang? Maka jawab Nabi SAW.: Tidak boleh selagi mereka mendirikan solat dan apabila kamu melihat pemimpin kamu akan sesuatu yang kamu benci maka bencilah amalannya tapi jangan dia keluar dari taat. [Hadis Sahih: Riwayat Muslim]
Dari hadis-hadis di atas wajib kepada kita mentaati pemerintah walaupun mereka berlaku zalim selagi mana tidak melakukan kekufuran yang nyata. Adapun yang perlu dilakukan oleh muslim adalah menasihati pemerintah itu dan mengingkari maksiatnya ini sebagaimana dalam hadis yang lain:
”Dari Abu Ruqaiyyah Tamim bin Aus Ad-Dari R.A. bahawa Nabi SAW. telah bersabda: Agama (Islam) itu nasihat. Kami(Sahabat) berkata: Bagi Siapa? Baginda menjawab: Bagi Allah dan Kitab-Nya dan Rasul-Nya dan Pemimpin-peminpin umat Islam dan ‘Awamnya.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim dan Nasai]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Wajib taat kepada pemerintah Indonesia dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh memberontak atau membangkang meskipun mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, sebab kafirnya seseorang karena tidak berhukum dengan hukum Allah perlu adanya syarat-syarat yang terpenuhi (syuruth at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul mawani’). Selama syarat-syarat itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya belum terangkat maka hukum asalnya ia adalah muslim. Jika ia seorang penguasa, berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.
Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada satupun yang mempersoalkan dasar negara pemimpin tersebut, apakah dasarnya Islam atau sekuler. Tetapi yang menjadi ukuran apakah pemimpinnya muslim atau kafir, baik muslim yang adil dan bertakwa atau yang zalim dan fasik, tetap wajib menaatinya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah.
Mereka yang mempersoalkan dasar negara dalam hal ketaatan kepada pemimpin muslim dan haramnya pemberontakan –baik dengan senjata maupun dengan kata-kata- terhadap pemerintah muslim, hanyalah orang-orang jahil dari kalangan NII dan jenis Khawarij Takfiri lainnya yang tidak mengerti ushul dan qawa’id dalam aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
DAFTAR PUSTAKA
- H. Salim Bahreisy (Penterjemah). 1987. Tarjamah Riadhus Shalihin Abu Zakaria Yahya Volume 1. Bandung: PT. Alma’arif
- ___________________________. 1987. Tarjamah Riadhus Shalihin Abu Zakaria Yahya Volume II. Bandung: PT. Alma’arif
- Saiful Mujani. 2007. Muslim demokrat: Islam, budaya demokrasi, dan partisipasi politik di Indonesia pasca Orde Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama