BAB I
PENDAHULUAN
Masalah pendidikan, menurut Malik Fajar, adalah masalah yang tidak pernah tuntas untuk dibicarakan, karena itu menyangkut persoalan manusia dalam rangka memberi makna dan arah normal kepada eksistensi fitrinya.[1] Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan tersebut digambarkan oleh John Vaisey sebagaimana dikutip oleh Muis Sad Iman, dengan menyatakan bahwa setiap orang yang pernah menghadiri konferensi Internasional di tahun-tahun terakhir ini pasti merasa terkejut akan banyaknya persoalan pendidikan yang memenuhi agenda. Makin lama makin jelas bahwa organisasi-organisasi internasional itu mencerminkan apa yang terjadi di semua Negara di dunia. Hamper tidak ada satu Negara pun dewasa ini dimana pendidikan tidak merupakan topik utama yang diperdebatkan.[2]
Bagaimana dengan pendidikan Islam di Indonesia? Kondisi pendidikan Islam di Indonesia, sebenarnya menghadapi nasib yang sama, dan secara khusus pendidikan Islam menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek yang lebih kompleks, yaitu: berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, serta manajemen pendidikan Islam. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Usaha pembaharuan dan peningkatan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh serta sebagian besar sistem dan lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara professional.[3]
Realitas pendidikan Islam di Indonesia dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu: komitmen pemerintah dalam penyusunan UU Sisdiknas 2003 dan realita keadaan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai posisi pendidikan agama (Islam) dalam UU Sisdiknas 2003 dan realitas pendidikan agama/lembaga pendidikan agama (madrasah/pesantren) di mata sebagian masyarakat Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Pendidikan, Pendidikan Nasional, dan Pendidikan Agama Islam di Indonesia
a. Pendidikan menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (1) adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
b. Pendidikan Nasional menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (2) adalah:
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
c. Pendidikan Islam
1). Pendidikan Islam adalah kegiatan yang dilaksanakan secara terencana dan sistematis untuk mengembangkan potensi anak didik berdasarkan pada kaidah-kaidah agama Islam. Pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani berdasar ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kehidupannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajar (pengaruh dari luar) yang dimiliki dan diterimanya.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan serta panca indera yang dimilikinya.[4]
Menurut Ahli lainnya
- Zakiah Daradjat
Pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim. Atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.[5]
- Muhammad Quthb
Pendidikan Islam adalah usaha melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam kegiatan di bumi ini.[6]
Laporan Hasil Wordl Conference on Muslim Education yang pertama di Mekkah tanggal 31 Maret sampai 8 April 1977, disebutkan:
“Education should aim at balanced growth of the total personality of man through the training of mans spirit, intellect, the rational self, feelings, and bodily senses. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, linguistic both individually and collectively and motivate all these aspects towards goodness and the attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.[7]
(Pendidikan seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan kepribadian total manusia secara seimbang, melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan, dan kepekaan tubuh manusia. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam aspeknya: spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, linguistic baik secara individual maupun secara kolektif, dan memotivasi semua aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Muslim terletak pada realitas kepasrahan mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusian pada umumnya).
Dari definisi-definisi di atas, baik yang dikemukakan UU Sisdiknas 2003 maupun para tokoh pendidikan, dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukkan tingkah laku islami (akhlak mulia) dan kepasrahan (keimanan) kepada Allah berdasarkan pada petunjuk ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis).
2. Posisi Pendidikan Agama dalam UU Sisdiknas 2003
a. Pasal 1 ayat (1), pendidikan adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
b. Pasal 1 ayat (2), pendidikan nasional adalah:
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Dalam hal ini agama sebagai tujuan pendidikan (agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan) dan sumber nilai dalam proses pendidikan nasional.
c. Pasal 4 ayat (1)
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukkan bangsa.
d. Pasal 12 ayat (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya masing-masing dan diajarkan oleh guru/pendidik yang seagama. Tiap sekolah wajib memberikan ruang bagi siswa yang mempunyai agama yang berbeda-beda dan tidak ada perlakuan yang diskriminatif.
e. Pasal 15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
f. Pasal 17 ayat (2)
Pendidikan dasar terbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
g. Pasal 18 ayat (3)
Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
h. Pasal 28 ayat (3)
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Salah satu jenis pendidikan nasional adalah pendidikan agama. Setingkat taman kanak-kanak (TK) dinamakan raudatul athfal (RA), sekolah dasar (SD) dinamakan madrasah ibtidaiyah (MI), sekolah menengah pertama (SMP) dinamakan madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah atas (SMA) dinamakan madrasah aliyah (MA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK) dinamakan madrasah aliyah kejuruan (MAK).[8]
i. Pasal 30 tentang pendidikan keagamaan
- Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
- Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
- Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Dalam hal ini pendidikan agama merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Di samping sekolah/madrasah formal yang didirikan oleh pemerintah seperti MIN, MTsN, maupun MAN, masyarakat dapat juga menyelenggarakan pendidikan agama, baik formal (pesantren, madrasah), nonformal (taman pendidikan Al-Qur’an (TPA), majlis taklim) maupun informal (madrasah diniyah).
j. Pasal 36 ayat (3)
Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. Peningkatan iman dan takwa;
b. Peningkatan akhlak mulia; dan seterusnya…
k. Pasal 37
l. (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama
b. pendidikan kewarganegaraan; dan seterusnya…
(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
kurikulum pada setiap jenjang pendidikan baik mulai jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, wajib hukumnya memuat pendidikan agama (menurut agama yang dianut oleh peserta didik).
m. Pasal 55 ayat (1) mengenai Pendidikan Berbasis Masyarakat
Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
Dalam hal ini, masyarakat boleh mendirikan lembaga pendidikan berbasis masyarakat sesuai dengan kekhasan agama masing-masing, seperti madrasah diniyah muhammadiyah (MDM), al-Ma’arif, dan lain-lain.
3. Realitas Pendidikan Agama (Islam) di Indonesia.
Kalau kita cermati dari tiap Pasal UU Sisdiknas 2003 di atas, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan agama mempunyai posisi yang sangat penting dalam pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih menfokuskan diri dalam membentuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Akan tetapi keadaan di atas, bukanlah menjadi jaminan bahwa realitas pendidikan Islam di Indonesia berjalan dengan baik. Bahkan, pendidikan agama dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Hal ini terlihat ketika minat masyarakat untuk menyekolahkan putra/putri mereka ke lembaga-lembaga pendidikan agama semisal madrasah maupun pesantren. Lembaga pendidikan agama menjadi prioritas kedua setelah sekolah [9]. Salah satu alasannya adalah kualitas lembaga pendidikan agama lebih rendah di bandingkan sekolah.
Adapun faktor-faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan Islam, sebagai berikut:
a. Internal : Kualitas SDM yang rendah
SDM di sini lebih terfokus pada kualitas guru (ustaz/ah) yang rendah. Contohnya, banyak guru yang tidak ber-background dari lulusan sarjana pendidikan agama Islam (S1/akta 4 mengajar), guru yang mengajar bukan pada spesialisasinya, contohnya, sarjana hukum Islam mengajar bahasa Arab, dan lain sebagainya.
b. Eksternal : Globalisasi, Demokratisasi, dan Liberalisasi Islam.
Pendidikan Islam mempunyai tantangan berat untuk menghadapi era globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi Islam. Lembaga pendidikan agama harus mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan di atas. Misalnya dengan memperbaiki kualitas SDM dan SDA. SDM menyangkut kualitas guru maupun input peserta didik, sedangkan SDA menyangkut infrastruktur atau sarana prasarana, media pendidikan maupun kurikulum yang up to date. [10]
C. Analisis dan Kesimpulan
walaupun secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukan Negara agama[11] dan bukan pula Negara sekuler[12], tetapi Negara Pancasila.[13] Dengan status Negara yang demikian, maka wajar kalau kemudian Pemerintah Indonesia tetap memandang bahwa agama menduduki posisi penting di negeri ini sebagai sumber nilai yang berlaku.[14]
Hal ini dapat kita lihat bagaimana posisi agama (pendidikan agama) dalam UU Sisdiknas 2003. dari pelbagai Pasal di atas menerangkan bahwa pendidikan agama sebagai sumber nilai dan bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan agama mempunyai peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia dan kepribadian muslim (khusus agama Islam).
Abdur Rahman Assegaf, dkk mengutip pendapat M. Arifin, bahwa pendidikan agama setelah diwajibkan di sekolah-sekolah, meskipun masih perlu disempurnakan terus, menunjukkan bahwa pengaruhnya dalam perubahan tingkah laku remaja adalah relatif lebih baik dibanding dengan kondisi sebelum pendidikan agama tersebut diwajibkan. Sekurang-kurangnya pengaruh pendidikan agama tersebut secara minimal dapat menanamkan benih keimanan yang dapat menjadi daya preventif terhadap perbuatan negatif remaja atau bahkan mendorong mereka untuk bertingkah laku susila dan sesuai dengan norma agamanya.[15]
Meskipun pendidikan agama mempunyai peranan penting dalam membentuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berperilaku/akhlak mulia, akan tetapi dalam realitas, lembaga pendidikan agama masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat. Oleh karena itu, perbaikan dan peningkatan kualitas sangat urgen di lakukan oleh lembaga pendidikan agama untuk saat ini.
Daftar Pustaka dan Footnote
- Assegaf, Abdur Rahman, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press, 2007
- Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milennium Baru, (Jakarta: Logo Wacana Ilmu, 1999)
- Arifin, M Kapita selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
- Bahtiar Effendi, Masyarakat, Agama, dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press, 2002
- Baidlowi, Miftah, Kontribusi Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat Terhadap Pengamalan Nilai Agama Islam Siswa SMU Negeri di Kabupaten Sleman, (Yogyakarta: Tesis, 2000
- Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000)
- Idi, Abdullah Idi dan Suharto, Toto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
- Iman, Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004)
- Jabali, Fuad Jabali dan Jamhari (peny.) IAIN Modernisasi Islam di Indonesia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)
- Kaelan, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 1996
- Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988) cetakan II
- Muhammad Ali, Indonesia Negara Sekuler?, Jakarta: Kompas, 2 Agustus 2002.
- Syam, Yunus Hasyim, Mendidik Anak ala Muhammad, (Yogyakarta: Penerbit Sketsa, 2005)
- Sanaky, Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press)
- Supriyoko, Ki, Kuliah Politik Pendidikan Nasional Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sessi ke-12
- UU Sisdiknas 2003
- Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa Salman Harun, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), cetakan 1
_______________
[1] Yunus Hasyim Syam. 2005. Mendidik Anak ala Muhammad. Yogyakarta: Penerbit Sketsa., hal. x
[2] Muis Sad Iman. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta: Safiria Insania Press., hal. 2
[3] Kutipan Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press), hal.9 atau dalam bukunya Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milennium Baru, (Jakarta: Logo Wacana Ilmu, 1999), hal 59.
[4] Ki Supriyoko, Kuliah Politik Pendidikan Nasional Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sessi ke-12
[5] Zakiah daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 28
[6] Kutipan Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 47-48 atau bukunya Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa Salman Harun, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), cetakan 1, hal. 27.
[7] Dikutip dari Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), cetakan II, hal. 308 atau Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, op.cit, hal. 49.
[8] Masuk dalam madrasah ini (madrasah aliyah kejuruan) adalah madrasah aliyah keagamaan (MAK)/atau madrasah kejuruan pada ilmu-ilmu agama. MAKN merupakan perubahan dari madrasah aliyah program khusus (MAPK) sejak tahun 1997. Contohnya MAKN Surakarta (karena penulis termasuk peserta didik didalamnya).
[9] Sekolah di sini artinya lembaga pendidikan di bawah DIKNAS semisal SD, SMP, dan SMA/SMK.
[10] Kurikulum up to date artinya dalam penyusunan kurikulum sebaiknya juga memuat materi perkembangan ilmu pengetahuan yang aktual dalam rangka mengadapi era informasi.
[11] Negara agama atau Negara theokrasi pada hakikatnya adalah suatu Negara yang berdasarkan pada suatu ajaran agama tertentu. Negara secara keseluruhan dibentuk berdasarkan suatu ajaran agama tertentu, baik menyangkut bentuk Negara, kekuasaan Negara, tujuan Negara, demokrasi, dan sebagainya. Lihat Kaelan, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 1996., hal. 102.
[12] Menurut Donald Eugene Smith, the secular state is state that guarantees individual and corporate freedom of religion, deals with the individual as a citizen irrespective of his religion, is not constitutionally connected to a particular religion, nor seeks either to promote or interfere with religion. Lihat: Muhammad Ali, Indonesia Negara Sekuler?, Jakarta: Kompas, 2 Agustus 2002.
[13] Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hal.143. Menurut Bahtiar Effendi –sebagaimana dikutip oleh Abdur Rahman Assegaf, dkk- sebagai Negara Pancasila, dapat dikatakan bahwa Indonesi mengambil jalan tengah (middle path) antara Negara agama dan Negara sekuler. Rumusan sila perta Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 Ayat (1) memberikan sifat yang khas pada Negara Indonesia, bukan Negara sekuler yang memisahkan agama dan Negara, dan bukan Negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara budi pekerti luhur berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Lihat Bahtiar Effendi, Masyarakat, Agama, dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press, 2002., hal. 19
[14] Fuad Jabali dan Jamhari (peny.) IAIN Modernisasi Islam di Indonesia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)., hal. 62. atau Abdur Rahman Assegaf, dkk Pendidikan Islam di Indonesia. Op.cit., hal. 145.
[15] Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia, op.cit., hal. 146 atau baca M. Arifin, Kapita selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 217. Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh Miftah Baidlowi di sekolah-sekolah di Kabupaten Sleman antara lain menunjukkan bahwa pendidikan agama di sekolah meberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pengamalan nilai-nilai keagamaan siswa. (Miftah Baidlowi, Kontribusi Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat Terhadap Pengamalan Nilai Agama Islam Siswa SMU Negeri di Kabupaten Sleman, (Yogyakarta: Tesis, 2000), hal. 79