PENDAHULUAN
Di dalam bahasa arab, perkataan fiqh yang di dalam bahasa Indonesia ditulis fikih atau fiqih yang artinya faham atau pengertian. Kalau dihubungkan dengan perkataan ilmu bisa kita rumuskan, ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan atau menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan –ketentuan umum yang terdapat di dalam al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad yang direkam di dalam kitab-kitab hadis. Dengan kata lain ilmu fikih adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanankan hukum Islam. Kehadiran fikih di tengah pergumulan keilmuan Islam sejak periode sahabat sampai munculnya tokoh-tokoh imam mazhab, ternyata juga mengiringi pasang surut [1] perkembangan Islam itu sendiri. Bahkan dalam periode tertentu dari sejarah umat Islam- fikih dalam tataran historis telah banyak memberikan corak bagi perkembangan islam dari masa ke masa. Begitu berakarnya pemahaman sebagian besar umat Islam terhadap fikih selama berabad-abad, maka muncul kritik yang cukup pedas dari kalangan pembaharu, salah satunya karena umat islam terbawa arus dalam tradisi fikih, cenderung terlalu normatif, padahal dalam perkembangannya hukum Islam sangat elastis, fleksibel1- dan pada titik paling rawan bahkan terkadang sampai pada taraf menganggap “sakral” terhadap produk fikih para ulama.[2]
Terlepas dari munculnya pandangan-pandangan tersebut dalam sejarah perkembangan fikih islam, yang patut diakui adalah bahwa fikih secara historis ternyata memang merupakan produk zaman yang paling berharga, fikih bisa dijadikan pijakan dasar untuk menelaah pemikiran umat islam secara global dalam kurun waktu tertentu. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan dan perkembangan fikih identik dengan dinamika pemikiran keagamaan umat Islam itu sendiri. Dari situ statemen yang menyatakan bahwa fikih Islam yang konon sudah lahir sejak zaman paling awal dari generasi islam (sahabat) lahir dan berkembang bersama kehidupan masyarakat dari setiap peralihan zaman, semakin memperoleh keabsahan.dari situ maka suatu kajian tentang kesejarahan fikih tidak semata- mata hanya bernilai historis, tetapi dengan sendirinya akan memberikan tawaran-tawaran baru bagi perkembangan kajian Islam sacara universal pada masa berikutnya. Pada tahap kajian yang bersifat pengembangan segi-segi ajaran islam, ulama-ulama kemudian tidak bisa melepaskan diri untuk merujuk pada warisan produk sejarah yang telah dihasilkan oleh generasi-generasi islam awal (sahabat), tanpa kecuali bidang fikih. Pada aspek ini para sahabat telah banyak mewariskan produk fikih dengan keragamannnya.
PEMBAHASAN
A. Latar historis timbulnya pemikiran fikih
Paling tidak ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya pemikiran fikih pada masa sahabat.ketiga faktor tersebut adalah akibat perluasan wilayah Islam, munculnya persoalan-persoalan baru dan terbatasnya teks-teks syari’at. Secara singkat beberapa faktor tersebut akan kita jelaskan pada pembahasan berikut ini:
1. Perluasan wilayah Islam
Mencermati secara historis kondisi umat Islam pada era sahabat dengan aktivitas dan prilakunya di berbagai sektor kehidupan, terutama kaitannya dengan misi Rasulullah, maka secara simpatistik dapat dikatakan bahwa sahabat ternyata tidak saja berfungsi untuk mewarisi dan melestarikan tradisi rasulullah dalam aspek ibadah dan kehidupan keagamaan yang bersifat normatif, akan tetapi juga mengemban misi dakwah dan sosial kemasyarakatan yang lebih penting. Hal ini terlihat terutama setelah rasulullah wafat, banyak para sahabat yang melebarkan sayap dakwah islam tidak saja di semenanjung Arab akan tetapi melintasi kawasan asing lainnya seperti Persia, Mesir, Irak dan Sirya yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan imperium Romawi dan Persia.[3] Pada tahap tertentu kondisi ini membuka peluang terjadinya proses akulturasi dan asimilasi antar berbagai tradisi kawasan taklukan. Masyarakat islam berbaur dengan beragam etnis dan kebudayaan daerah tersebut. Persoalan-persoalan baru diberbagai bidang, mulai banyak dihadapi para sahabat.
Persoalan akibat perluasan Islam tersebut sangat dirasakan oleh umat Islam terutama ketika masa pemerintahan khalifah Uman Ibnu Khattab.[4] Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar, sebagian besar ditandai oleh penaklukan-penaklukan untuk melebarkan pengaruh islam. Ia mengendalikan penaklukan itu dari kota Madinah, sebagai pusat pemerintahannya.Sikap tegas dari sebagian sahabat yang dipelopori Umar ikut mewarnai berbagai kebijakan hukum terhadap persoalan baru tersebut, tidak terkecuali dalam persoalan-persoalan hukum. Karena kapasitas beberapa sahabat tidak saja sebagai prajurit perang, tapi juga sebagai pemberi fatwa dan hukum kepada umat, maka dalam beberapa kasus baru, banyak para sahabat memberikan fatwa hukum. Dengan beberapa statemen tersebut maka dapat diambil satu kesimpulan bahwa ada korelasi positif antara perluasan wilayah islam dengan munculnya produk-produk fikih dari kalangan sahabat. Semakin luas wilayah kekuasaan Islam, maka semakin besar peluang munculnya produk-produk fikih pada era sahabat.
2. Munculnya persoalan baru
Sebagai konsekwensi logis dari meluasnya kekuasaan Islam adalah munculnya persoalan-persoalan baru yang belum dihadapi oleh para sahabat sebelumnya. Persoalan baru yang cukup banyak dihadapi para sahabat akibat kontak dengan kebudayaan baru dikawasan taklukan itu, meliputi persoalan keluarga, militer, pemerintahan dan ekonomi serta hukum-hukum keperdataan lainnya. Kondisi seperti ini dengan sendirinya menimbulkan perubahan sosial yang cukup drastis pada masa itu,[5] yang pada keadaan tertentu jelas membutuhkan antisipasi legal. Karena perubahan sosial akan sangat berpengaruh terhadap munculnya satu persoalan baru dalam masyarakat. Sebagaimana yang disinyalir oleh Selo Sumarjan.
Persoalan baru yang dihadapi sahabat di berbagai kawasan, bisa jadi dapat diselesaikan dengan merujuk pada petunjuk-petunjuk al-quran dan tuntunan-tuntunan rasul, sepanjang dapat ditemukan. Namun bisa jadi persoalan lain tidak ditemukan secara tekstual dalam al-quran maupun tuntunan rasul yang mereka hafal, maka para sahabat mengambil inisiatif dengan melakukan ijtihad, baik dengan cara pertimbangan pribadi maupun dengan menempuh musyawarah (Ijma’). Pada kondisi inilah kemudian bermunculan produk-produk ijtihad para sahabat, yang dalam pembahasan ini dikategorikan sebagai fikih mazhab sahabat.
Agaknya, pada momentum itulah untuk pertama kalinya fikih Islam mulai bersentuhan dengan persoalan baru, yang mencakup penyelesaian atas masalah yang komplek berupa moral, etika, kultural dan kemanusiaan dalam satu format masyarakat yang bersifat fluralistik. Dalam pada itu agaknya juga situasi tersebut merupakan faktor terpenting yang ikut memberi andil besar bagi perkembangannya fikih Islam pada periode sahabat. Jika pada masa-masa awal dipusat kota Madinah fikih sahabat lebih berorientasi pada upaya interpretasi nash-nash al-quran dan al-sunah secara lafdzi (literal), maka pada era perluasan wilayah ini, fikih sahabat mulai berkembang merambah kawasan maknawi (kontektual). Karena pertimbangan terbatasnya nash-nash dan tuntunan persoalan praktis, maka para sahabat mulai melakukan penalaran hukum dengan cara menangkap semangat nash secara inplisit, terutama ketika mereka dihadapkan pada persoalan yang masih asing.
Para sahabat yang sebagian memiliki kapasitas pemahaman yang komprehensif terhadap al-quran dan al-sunnah terpaksa harus menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema dalam al-quran maupun al-sunnah untuk kemudian diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak dijumpai dalam ketentuan nash. Sebenarnya beberapa tema keagamaan yang bersifat mendasar seperti akidah, ibadah dan sebagian akhlak, sudah banyak diberikan pedoman secara jelas oleh Rasulullah, namun dalam bidang mu’amalah kemasyarakatan agaknya pedoman itu belum begitu rinci, bahkan bisa disebut tidak lengkap. Karena al-quran sendiri hanya memuat beberapa ayat saja mengenai mu’amalat[6] ini. dalam bidang mu’amalat Rasulullah hanya memberikan rambu-rambu umum, yang pada sisi lain sekaligus memberikan justifikasi untuk melakukan aktualisasi pengembangannya sesuai dengan kebutuhan hidup yang berkembang.[7] Kondisi ini semakin membuka jalan bagi munculnya ijtihad-ijtihad baru dikalangan sahabat. Inilah konsekwensi logis dari perluasan wilayah islam pada era sahabat. Satu sisi memperkuat kekuatan politik bagi otoritas islam diberbagai kawasan, di sisi lain sangat membantu memperkaya upaya rekonstruksi fikih pada masa sahabat.
Dalam persoalan yang lebih rinci dan praktis, konsekwensi logis dari perluasan kawasan islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan suku yang lain. Sebagian mereka ada yang memeluk Islam dan sebagian lagi tetap pada agamanya. Ini merupakan satu perkembangan baru pada masa sahabat, sehingga dibutuhkan suatu aturan baru yang mengatur hubungan keragaman agama dan etnis tersebut. Para sahabat untuk yang ke sekian kalinya berusaha membuat format baru sebuah aturan yang menuntun secara islami bagaimana mengatur kemajemukan hidup seperti itu. Agaknya faktor-faktor itulah yang dianggap paling dominan mengapa muncul fikih-fikih dari para sahabat, sedemikian cepat dan berkembang.
3. Terbatasnya Nash-Nash Syaria’at
Keterbatasan jumlah ayat-ayat hukum dalam al-quran dan hadis-hadis yang dihafal para sahabat, ternyata tidak menjadi alasan bahwa penalaran rasional dalam bidang fikih harus berhenti setelah wafat rasul. Pada sisi lain justru secara umum memberikan kelenturun yang menyebabkan fikih pada era sahabat menjadi berkembang, bahkan mampu mengimbangi dinamika masyarakat dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Syari’at islam yang menurut penelitian beberapa ulama ushul belakangan, pada umumnya hanya memuat aturan dasar yang bersifat global, justru secara inplisit mengisyaratkan untuk kerja keras melakukan penalaran dalam menyelesaikan masalah-masalah yang tidak ditegaskan secara tekstual dalam nash syari’at. Pandangan seperti ini ternyata sudah begitu kuat mendasari kreatifitas sahabat untuk melahirkan fikih-fikih baru pada konteks zamannya. Agaknya faktor ini pun tidak kalah pentingnya sebagai motivasi yang melahirkan/memunculkan fikih-fikih dari kalangan sahabat.
Fikih dalam mazhab sahabat sebagai hasil ijtihad, biasanya dihasilkan dari proses musyawarah dan kesepakatan sebagian sahabat, yang dalam kajian rasul disebut dengan ijma’. Keabsahan hasil ijtihad yang bersifat kolektif ini dianggap lebih tinggi dari pada hasil ijtihad sahabat yang bersifat pribadi (fardi). [8] Akan tetapi kondisi ini tidak bisa berlangsung lama, apalagi ketika kekuasaan islam samakin bertambah luas pada masa sahabat, maka kesepakatan bulat dan musyawarah untuk menentukan satu hukum tidak mungkin lagi dilakukan. Akhirnya masing-masing sahabat melakukan ijtihad sendiri-sendiri sesuai dengan kadar persoalan yang dihadapi mereka.[9] Kondisi ini semakin memperbesar munculnya fikif-fikih baru dikalangan sahabat.
B. Perbedaan Islam dan Syariat
Islam merupakan sebuah Ad Din. Ad Din di sini bukan sekedar agama yang dipahami oleh kebanyakan orang, yaitu agama yang hanya sekedar mengurusi hal-hal upacara keagamaan atau ibadah ritual seperti shalat, zakat, puasa, dll. Penggunaan istilah "agama" dalam pengertian yang biasa dipergunakan oleh masyarakat itu tidak sesuai bagi Islam. Karena Ad Din di sini berarti adalah satu cara hidup. Ia adalah suatu sistem yang mencakup peraturan-peraturan yang menyeluruh, serta merupakan "undang-undang" yang lengkap dalam semua urusan hidup manusia untuk kita terima dan mengamalkannya secara total. Kesimpulannya, Islam tidak hanya sekedar agama, tapi juga suatu cara hidup, suatu sistem, pedoman hidup, dan juga peraturan-peraturan yang menyeluruh. Islam adalah Ad Din yang telah diwahyukan Allah kepada Rasulullah saw sebagai rahmat bagi seluruh semesta alam. Ia adalah Ad Din yang berintikan kepada dua hal, yaitu iman dan amal. Iman merupakan aqidah atau pokok, dan di atasnya berdiri syariat Islam.
Setiap Rasul yang diutus Allah membawa Ad Din yang satu, yaitu Ad Din yang menyeru manusia untuk meng-Esa-kan Allah. Membawa "agama" tauhid, yang tidak mengakui adanya tuhan-tuhan melainkan hanya Allah semata. Dalam kerangka hal tersebut, mereka (kaum setiap Rasul) membentuk peraturan-peraturan yang dibawa oleh Rasul pada zamannya. Peraturan-peraturan inilah yang dinamakan syariat. Jadi, walaupun Ad din yang dibawa oleh setiap rasul itu sama (tauhid, meng-Esa-kan Allah), namun syariat mereka berbeda-beda dalam hal-hal tertentu.
Allah berfirman:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً
"Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang..." (QS Al Maidah : 48)
Dan dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup, maka syariat Islam telah menutup seluruh syariat nabi-nabi sebelumnya dan menempatkannya sebagai syariat terakhir yang sempurna. Tidak ada lagi syariat selain Syariat Islam. Di dalamnya tidak terdapat perbedaan tatacara beribadah, asas-asas kehidupan dan undang-undang yang berlaku bagi manusia dan seluruh alam hingga akhir kiamat.
C. Corak Fikih
Pencangkokan (transplantasi) organ adalah pemindahan organ tubuh dari tubuh seseorang ke tubuh orang lain, baik saat si pendonornya masih hidup atau setelah dia meninggal dunia. Operasi pencangkokan organ tubuh ini merupkan terobosan ilmiyah didalam dunia kedokteran modern yang ternyata banyak memberikan manfaat terutama bagi para pasien yang mendapatkannya baik dalam mengembalikan fungsi dari organ tubuhnya yang sudah mati atau menyelamatkannya dari suatu kematian.
Yusuf al Qaradhawi menganalogkan pemberian organ tubuh seseorang kepada orang lain dengan bersedekah harta. Jika seseorang dibolehkan memberikan hartanya kepada orang lain maka ia pun dibolehkan memberikan organ tubuhnya kepada orang lain bahkan hal ini lebih mulia. Namun ada sedikit perbedaan diantara keduanya yaitu jika seseorang diperbolehkan memberikan seluruh hartanya kepada orang lain maka dia tidak diperbolehkan memberikan seluruh anggota tubuhnya kepada orang lain.
Ada kaidah yang perlu diperhatikan dalam masalah pencangkokan organ tubuh ini yaitu bahwa kemudharatan harus dihilangkan. Jadi setiap muslim yang melihat orang lain berada didalam suatu kesulitan atau bahaya maka syariat menuntutnya untuk menolongnya. Ketika seorang muslim melihat orang lain yang sedang mengalami kesulitan maka ia dianjurkan untuk membantunya, atau ketika melihat orang yang sedang sakit membutuhkan pertolongannya maka ia dianjurkan untuk menolongnya.
Namun demikian kaidah ini—kemudharatan harus dihilangkan—hendaklah digabungkan dengan kaidah yang lain, yaitu kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar, seperti tidak diperbolehkan bagi seseorang yang memaksakan dirinya masuk kedalam kobaran api yang menyala-nyala atau orang yang menenggelamkan dirinya ke dalam lautan lepas.[10] Begitulah perkembangan fikih yang harus kita sesuaikan dengan zaman kita sekarang ini yang bisa memberikan kelonggaran dalam bermasyarakat.
D. Mazhab-mazhab fikih
Mazhab-mazhab fikih telah melahirkan rumusan-rumusan metodologi kajian hukum yang sangat luas dan komprenship, sehingga fikih islam tidak hanya mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi mujtahid, tetapi juga melahirkan fatwa-fatwa hukum yang sifatnya teoritis, sehingga memudahkan umat islam untuk menggali hukum. [11] Sebagaiman yang telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, mazhab fikih yang terbesar ada empat, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali. Untuk mengetahui pendekatan mereka terhadap kajian hukum islam, maka perlu kita uraikan satu persatu.
1. Mazhab Hanafi (80-150H)
Mazhab hanafi dinisbahkan kepada pengasas mazhab tersebut yaitu Imam Nu’man bin Tsabit al-Kufi al-Hanafi. Beliau lahir di Kufah Iraq dari keturunan Parsia pada 80 H. dan meninggal 150 H. beliau memulakan kehidupannya sebagai peniaga sutera akan tetapi berpindah untuk menuntut ilmu dan berguru dengan ulama-ulama terkenal pada masa itu seperti al-Syaikh Humad bin Abi Sulaiman yang telah mewarisi ilmu dari Abdullah bin Mas’ud seorang sahabat yang terkenal dalam bidang fiqih dan Ra’yi. Selain dari itu Abu Hanifah juga berguru dengan imam Zaid bin Ali Zainal Abidin dan Ja’far al-Sadiq dll.
Imam abu Hanifah banyak dikritik ulama lain karena dikatakan telah mengutamakan pendapat (ra’yu) daripada hadith, hal ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa beliau lebih banyak menggunakan pendapatnya sendiri daripada hadis karena pada masa itu penipuan hadis sangat berleluasa dan beliau takut terambil hadis yang palsu. Mazhab ini yang pertama muncul dikalangan mazhab sunni. Mazhab ini dinisbatkan kepada mujtahid yang menjadi imamnya Abu Hanifa an-Nu’man ibn Sabit, asli dari persia yang lahir di kuffah, Dalam ijtihad nya selain berpegang kepada al-quran, hadis, ijma’ dan qiyas memakai dalil istihsan.
Abu Hanifah tidak membukukan fatwa-fatwa dan ijtihad dalam fikihnya, tetapi muri-murid Abu Hanifah yang menyusun kitab-kitab fikih anatara lain: Asy-Syarkhasi yang menyusun kitab al-Mabhsut. Ala’uddin Abi Bakar ibn Mas’ud al-kasaniy al Hanafi menyusun Bada’i Ush Sannai’ Fi Tartibish Syara’i. Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang banyak diikuti, terutama dizaman Abbasiyah dan menjadi mazhab resmi pemerintahan Usmaniyyah. Dan sekarang pengikut mazhab ini banyak tersebar di India, Turki, Afganistan dan Asia tengah.[12]
2. Mazhab Maliki (93-179H)
Imam Malik bin Anas al-Asbahi, berasal dari Yaman dan lahir di Madinah, dan tak pernah meninggalkan Madinah kecuali untuk Haji, beliau lebih suka duduk bersebelahan dangan Nabi, walaupun telah ditawarkan untuk mendampingi Khalifah di Baghdad. Beliau telah banyak berguru dengan para Tabi’in, diantaranya ialah Ibn al-Shihab al-Zuhri dan Rabi’ah al-Ra’yi, Yahya ibn Said , Abdul Rahman bin Hurmuz dll. Beliau belajar dan mengajar di Masjid Nabawi dan diantara murid beliau adalah Imam syafi’i, anak kahalifah Harun al-Rashid yaitu al-Amin dan al-Ma’mun, abdullah bin Wahb, Abdul Rahmanbin al-Qasim, Abul Hasan al-Qurtubi dll.
Mazhab ini dinisbatkan kepada Malik Ibn Anas, yang hidup di Madinah. Nama beliau adalah Malik ibn Anas Amir al-Ashabi ibn Amru ibn Haris ibn Said ibn Auf ibn Adi ibn Malik ibn Yazid.[13] Mazhab ini dikenal madrasah Ahlul hadis. Pegangan mazhab ini dalam mengistibatkan hukum selain Al-qur’an dan Hadis, Ijma’ dan Qiyas, juga dipakai al-maslahatul mursalah, yang merupakan pengecualian dari hukum-hukum umum karena untuk mencapai kemaslahatan dan karena darurat. Selain itu juga berpegang kepada Qaul shahbi dan Urf yang diikuti di madinah.
Imam Malik ibn Anas menyusun kitab al-Muwatta’, yang merupakan kumpulan berdasarkan kitab al-Mudawanatul Kubra. Kitab-kitab lain disusun oleh pengikut mazhab Maliki. Mazhab ini berkembang di kota Madinah, kemudian tersebar di Hijaz dan mendominasi. Selain itu tersebar juga di Basrah, Mesir, Andalus, Shalqiah dan sampai Sudan. Mazhab ini banyak diikuti oleh kaum muslimin di Afrika Utara dan Afrika Barat, juga di Bahrain dan Kuwait.[14]
3. Mahzab Syafi’i (150-204H)
Tokoh yang menjadi mazhab ini Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, yang berasal dari suku Quraisy, yang dilahirkan di Ghaza yang bersamaan ketika Abu Hanifah meninnggal 767 M. Kemudian ia wafat pada hari jum’at 30 rajab tahun 204 H (819)di Mesir.[15]
Imam Abu Abdullah Muahammad bin Idris al-Syafi’i, mempunyai nasab yang bertemu dengan Rasul yaitu dengan datuk beliau yang bernama Abd Manaf. Beliau lahir di Ghazzah, Palestina, dan wafat di Mesir. Menimba ilmu di Mekkah sampai berumur 15 tahun dan diberikan izin berfatwa, kemudian beliau pindah ke Madinah berguru dengan Imam Malik sampai wafat, lalu mengembara ke Yaman untuk berguru dengan Yahya bin Hassan Murid Imam al-Auza’i, beliau ditangkap pada tahun 184 H. kerana didakwa menentang pemerintahan Abbasiyah dan dibawa ke Baghdad disinilah beliau bertemu dengan Imam Muhammad al-Syaibani dari Mazhab Hanafi, beliau terus mengembara untuk belajar dan mengembangkan ilmunya sampailah akhirnya beliau mukim di Mesir pada tahun199 dan meninggal tahun 204 H.
Oleh kerana imam Syafi’i banyak mengembara dalam menuntut ilmu maka Mazhabnya juga merupakan kombinasi dari beberapa madrasah / pemikiran dan kecendrungan, beliau mengambil sikap tengah antara madrasah ahlul Hadith (menolak ijtihad-qiyas) dan madrasah ahlul Ra’yi (menolak hadith ahad), beliau tidak menolak hadith Ahad yang sahih,dan menolak hadith Mursal yang bukan oleh kibar Tabi’in. dan beliau menggunakan metode qiyas dalam ijtihadnya, ini berarti beliau seorang pro ahlul Hadith dalam masa yang sama pro ahlul Ra’yi.
Imam Syafi’i seorang miskin, tetapi kaya dengan semangat dan bercita-cita tinggi dalam menuntut ilmu. Beliau banyak mengembara dalam menceduk dan menimba ilmu. Imam Syafie dianggap seorang yang dapat memadukan antara hadith dan fikiran dan membentuk undang-undang fiqh. Pada permulaannya beliau cenderung dalam bidang sastera dan syair-syair, tetapi beliau mengubah pendiriannya kepada mempelajari ilmu fiqh dan hadith hingga sampailah beliau ke kemuncak yang paling tinggi dalam bidang tersebut.
Mazhab Syafi’i merupakan pertengahan antara mazhab Hanafi dan mazhab Maliki dalam menggunakan Qiyas dan Hadis. Asy-syafi’i dalam mengistibatkan hukum berpegang kepada Al-qur’an,Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Mazhab Syafi’i sendiri menolak Istihsan dari Hanafi dan menolak Maslahatul mursalah dari Maliki. Imam Syafi’i dikenal dengan dua pendapat mengenai masalah yang hampir bersamaan yang dikeluarkannya di dua tempat yang berbeda karena perbedaan waktu, situasi dan kondisi. Pendapatnya yang di kemukakan ketika ia berada di Baghdad yang dikenal dengan Qaul Qadim (pendapat lama) dan pendapat yang di keluarkannya di Mesir di kenal dengan Qaul Jadid (pendapat baru).[16]
Asy-Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun kitab Ushul Fiqh, yang nama kitabnya ar-Risalah, yang dijadikan dasar dalam beristimbat dalam hukum. Kemudian fatwa-fatwa fiqh beliau yang dihimpun dalam kitab al-Umm yang berjumlah tujuh juz dihimpun berdasarkan riwayat muridnya ar-Rabi’i ibn Sulaiman al-Muradi. Mazhab ini kemudian tersebar di Turan, Syam, dan Yaman, juga bagian negeri Hindi, Afrika dan Andalus pada tahun 300 H. Seakrang mazhab ini banyak dianut di Mesir, terutama dilingkungan masyarakat pedesaan, Indonesia, Afrika Timur, Libanon dan Yaman.
4. Mazhab Hanbali (164-241H)
Imam Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani lahir di Baghdad dan mengembara ke Mekah madinah, Syam, Yaman, dan lain-lain untuk menuntut ilmu dan berguru, dan diantara guru beliau adalah imam Syafi’i. Beliau amat arif dalam ilmu Sunnah, dan berjaya menghasilkan sebuah Musnad yang mengandungi lebih daripada 40.000 hadith.
Dalam mazhabnya beliau berpegang pada lima Usul (Kaedah/methodology): 1. Nash dari al-Qur’an dan Sunnah. 2. Fatwa Sahabat. 3. ijtihad Sahabat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunnah. 4. Mengambil hadith Mursal dan Dha’if dan lebih diutamakan daripad Qiyas, khususnya dalam hal yang berkaitan fadhail a’mal (sunnat). 5. Qiyas sebagai langkah terakhir.
Mazhab ini sebagai mazhab terakhir diantara mazhab ahli sunni yang masih banyak pengikutnya. Tokoh yang menjadi imamnya adalah Ahmad ibn Hanbal, yang dilahirkan di kota Baghdad pada tahun 164 H (780 H). Wafat di hari Jum’at bulan Rabiul Awal tahun 241H (855 M) di Baghdad.[17] Menurut ibn al-Qayyim prinsip-prinsip yang dijadikan dasar oleh imam Ahmad ibn Hanbal dalam mengeluarkan fatwa-fatwa hukumnya ada lima yaitu: Alquran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang disepakati, fatwa-fatwa yang diperselisihkan, Hadis Mursal dan Qiyas bila tidak didapati nash atau ketentuan-ketentuan dalam prinsip-prinsip yang disebutkan sebelumnya.[18]
Kitab Sunan Ahmad ibn Hanbal adalah musnat yang dikenal dengan al-Imam Ahmad dalam enam juz. Pengikutnya yang terkenal adalah ibn Taimiyah dan ibn Qayyim yang menyusun kitab al-Mughni dan kitab Ushul Fiqh yang terkenal dengan judul I’lamul-Miwaqqi’in an Rabbil ’alamin, dengan kaidah-kaidah dan pembahasan masalah-masalahnya secara fikih. Mazhab Maliki adalah mazhab yang mendominasi di Aljazair, Tunisia, Tharabtus menjadikannya mazhab resmi di negara tersebut.
D. Implikasi bagi dunia islam
Apa yang dapat disumbangkan oleh fikih mazhab sahabat bagi lahirnya disiplin ilmu fikih pada era keemasan Islam, agaknya sudah dapat dipahami dari penjelasan terdahulu. Fikih Islam tidak akan pernah mendapatkan prestasi yang gemilang pada abad keemasan tanpa adanya tawaran-tawaran yang dirumuskan para sahabat sebelumnya. Maka wajar jika pada tataran ini fikih mazhab sahabat telah menempati poros konstributif. Bahkan bisa dikatakan fikih mazhab sahabatlah yang telah membidangi lahirnya satu kebangkitan peradaban umat islam dalam bidang hukum pada abad-abad keemasannya.
Hal tersebut dimungkinkan karena fikih pada masa sahabat seperti yang kita kaji, telah melahirkan tradisi dinamis dan kreatif. Perumusan hukum dengan merujuk pada sosio kultural dan politik tidak saja menjadi selogan bagi para ahli fikih mazhab dan pembaharu kontemporer, akan tetapi dalam karakteristiknya yang khas justru gejala ini sudah sedemikian jauh ditelusuri oleh para sahabat.. Maka jangan heran jika ada kesimpulan bahwa apapun yang dihasilkan dari perkembangan fikih masa imam mazhab dan ulama kontemporer, berkaitan erat dengan proses kesinambungan sejarah fikih itu sendiri sejak zaman sahabat.
Para sahabat sudah sedemikian jauh menyadari bahwa al-quran merupakan sumber norma dan nilai normatif yang mengatur seluruh aspek kehidupan uamt islam sejak awal. Kesadaran ini tidak semata-mata dalam tataran ide mereka, tetapi sudah sampai pada tahap gerakan, yang antara lain ditunjukkan dengan memberikan pemecahan terhadap problem-problem baru yang dihadapi masyarakat islam waktu itu, dengan menempatkan pesan al-quran sebagai landasan semangatnya. Maka terlihat usaha sungguh-sungguh sahabat dalam melahirkan format hukum ini tidak terkesan secara serampangan. Sehingga dalam konteks apapun upaya ijtihad sahabat punya keterkaitan reflektif dengan semangat al-quran dan sunah. Tidak berlebihan jika para sahabat telah menyumbangkan fikih besar bagi ulama sesudahnya. Kenyataan ini tidak bisa kita pungkiri.
Kebesaran fikih mazhab sahabat terletak pada persoalan metodologis. Walaupun tidak dapat kita nyatakan adanya sistematisasi motodologi ijtihad para sahabat, akan tetapi sikap kehati-hatian dalam menangkap makna-makna nash yang selalu menjadi karakteristik mereka. Inilah agaknya yang menjadi kata kunci bagi keberhasilan mereka membangun fikih islam .[19]
Dalam kondisi ini, maka semakin nyata bahwa sumbangan terbesar bagi masa depan fikih islam adalah kekayaan metodologi para sahabat dalam rumusan hukumnya. Satu fenomena yang cukup kongkrit dapat kita temukan dimana sering kali para pembaharu hukum islam menjadikan metodologi para sahabat (terutama Umar).[20] Sebagai justifikasi dari langkah-langkah pembaharuan mereka dalam bidang hukum. Satu metode yang bisa disebut adalah konsep mashlahah. Konsep ini sejak digagaskan oleh para sahabat sampai masa modern tidak pernah usang dan lapuk, mashlahah akan tetap selalu relevan untuk dijadikan pedoman melahirkan hukum-hukum baru.
Terjadinya perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam masalah ijtihad, mengisyaratkan bahwa sejak awal, hukum islam itu tidak bersifat kaku dan statis. Jika diamati dalam aspek ini para sahabat sepertinya ingin menyatakan bahwa hukum islam dalam berbagai dimensinya, selalu terbuka untuk terjadi perubahan. Didasari atau tidak oleh para sahabat, sebenarnya mereka telah menggagaskan lahirnya fikih yang liberal, dalam arti tidak terkoptasi pada satu produk fikih saja. Terbukti diantara mereka saling menghargai dalam pemikiran fikihnya. Dalam kata lain tradisi toleran yang dikembangkan para sahabat mempunyai arti penting bagi terciptanya fikih masa depan. Hal ini cukup logis mengingat fikih masa depan akan semakin menghadapi persoalan yang lebih pluralistik ketimbang fikih sebelumnya. Maka satu-satunya alternatif untuk mengantisipasi problema hukum masa depan adalah menanamkan budaya toleran dalam pemikiran fikih sebagaimana yang telah dicontohkan oleh generasi sahabat.
Dalam konteks inilah, patut diasumsikan bahwa para pembaharu mengedepankan tawaran tentang perubahan dalam hukum islam, dengan justifikasi ikhtilaf para sahabat tersebut. Bisa dibayangkan jika pada masa sahabat ada indikator memaksakan kehendak dalam pemikiran fikih kepada yang lain, maka yang terjadi adalah anarkhi yang berkepanjangan dalam fikih, dan terkesan kajian hukum islam akan terasa mandeg, dan selalu akan mewariskan kemusykilan dikalangan umat islam sesudahnya.
DAPTAR PUSTAKA
- Muhammad Anis Ubadah, tarikh al-fiqh al-islami fi ahd al-nubuwwah wa al-sahabat wa al-tabi’in,(Mesir: Dar al-thaba’ah, 1980)
- Muhammad Hasan al-Hajwi, al-fikr al-sami fi tarikh al-fiqh al-islami, (Madinah al-Munawwarah: 1997)
- Thaha Jabir Fayyad ‘Ulwanni, Adabu al-Ikhtilaf fi al-Islam (Qatar: 1996)
- Mohammad Khudhari Beik, Muhadharat Tarikh al-Umam al-Islamiyah(Mesir: al-Maktabah al-Nijariyah al-Kubra, 1969)
- Surjono Sukanto, sosiologi suatu pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1982)
- fiqh Umar ibn Khattab Muwazzan bi fiqh Asyhar al-Mujtahidin (Mekkah al-Mukarromah: al-Jami’ah Ummu al-Qura.)
- Muhammad Mushlehudin, Islamic Jurisprodence and The Rule of Necessity and Need, (Islamabad: IslamicResearch Intitute, 1973)
- M. Yunan Asmuni, Dirasah Islamiyah I: pengantar Studi al-qur’an al-Hadis, Fiqih dan pranata sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
- Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, EnsiklopediIslam, II (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994)
- Ali Fikr, Kisah-kisah Para Imam Mazhab (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003
- Nadiah Syarif al-imari, al-ijtihad fi al-islam, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981)
- Thaha Jabir Fayyad ‘Ulwanni, Adabu al-Ikhtilaf fi al-Islam (Qatar: 1996)
- Hujaimah Tahido Yanggo , pengantar perbandingan mazhab (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003)
- Muhammad Rasyid Ridha, al-wahyu al-muhammadi, (t.t : al-Maktab al-Islami, t.th)
________________________
[1] Muhammad Anis Ubadah, Ttarikh al-fiqh al-Islami fi ahd al-Nubuwwah wa al-sahabat wa al-tabi’in,(Mesir: Dar al-thaba’ah, 1980), juz 1, hal. 10
[2] Muhammad Hasan al-Hajwi, alFfikr al-sami fi Tarikh al-fiqh al-Islami, (Madinah al-Munawwarah: 1997) juz 2, hal.6
[3] Thaha Jabir Fayyad ‘Ulwanni, Adabu al-Ikhtilaf fi al-Islam (Qatar: 1996), hal. 21
[4] Mohammad Khudhari Beik, Muhadharat Tarikh al-Umam al-Islamiyah(Mesir: al-Maktabah al-Nijariyah al-Kubra, 1969), hal. 197
[5] Surjono Sukanto, sosiologi suatu pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1982), Hal.307
[6] Muhammad Rasyid Ridha, al-wahyu al-muhammadi, (t.t : al-Maktab al-Islami, t.th), hal. 276
[7] Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, Jilid III, hal. 152
[8] Nadiah Syarif al-imari, al-ijtihad fi al-islam, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), hal.264
[9] Thaha Jabir Fayyad ‘Ulwanni, Adabu al-Ikhtilaf fi al-Islam (Qatar: 1996), hal. 21
[10] eramuslim.com © 2000 - 2009
[11] Hujaimah Tahido Yanggo , pengantar perbandingan mazhab (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003) hal.45
[12] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, EnsiklopediIslam, II (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994) hal. 728
[13] Ali Fikr, Kisah-kisah Para Imam Mazhab (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hal.48
[14] Ibid, hal. 75
[15] Ibid, hal. 125
[16] M. Yunan Asmuni, Dirasah Islamiyah I: pengantar Studi al-qur’an al-Hadis, Fiqih dan pranata sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 128
[17] Ibid. h. 175.
[18] Dewan …Ensiklopedi…h.740.
[19] Muhammad Mushlehudin, Islamic Jurisprodence and The Rule of Necessity and Need, (Islamabad: IslamicResearch Intitute, 1973), hal. 42-59.
[20] Untuk mengamati bahwa konsep maslahat begitu banyak digunakan Umar, dapat dilihat Ruwaih ibn Rajih al-Rahili, fiqh Umar ibn Khattab Muwazzan bi fiqh Asyhar al-Mujtahidin (Mekkah al-Mukarromah: al-Jami’ah Ummu al-Qura.)