Makalah Fidyah Bab Puasa
Oleh: Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro
Editaor: Ibrahim Lubis, MA
BAB I
PENDAHULUAN
Allah Ta'ala telah menurunkan kewajiban puasa kepada Nabi-Nya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang tidak berkehendak, maka dia boleh tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.
Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita. Untuk memperjelas tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal berkaitan dengan fidyah tersebut. Semoga Allâh Ta'ala memberikan taufik-Nya kepada kita untuk ilmu yang bermanfa’at, serta amal shalih yang Dia ridhai.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI FIDYAH
Fidyah ( فدية ) atau fidaa ( فدى ) atau fida‘ ( فداء ) adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya.[1] Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah “ith’am”, yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.
B. TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH
Allâh Ta'ala berfirman:
Maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian (di bulan Ramadhan), wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain) maka itu lebih baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. (QS Al Baqarah : 184)
Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allâh Ta'ala :
"Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin"
Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah?
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena puasa telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Akwa‘ radhiyallâhu'anhu, kemudian ayat ini telah dimansukh dengan firman Allâh Ta'ala:
"Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan, maka hendaklah dia berpuasa." (Al Baqarah ayat 185)
Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan tetapi sebagai rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni artinya, bagi orang yang merasa berat untuk mengerjakannya.[2]
Dari ‘Atha radhiyallâhu'anhu, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu membaca ayat:
Tentang ayat ini, Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu berkata:
“Ayat ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari kepada satu orang miskin”. (Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Tafsir).[3]
Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa’di rahimahullâh di dalam tafsirnya:
“Dan ada pendapat yang lain, bahwa ayat tersebut maksudnya mereka yang merasa terbebani dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu mengerjakannya, seperti seorang yang sudah tua; maka dia membayar fidyah untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini adalah pendapat yang benar”. [4]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allâh Ta'ala menjadikan fidyah sebagai pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk berpuasa. Maka ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah penggantinya, yaitu fidyah”. [5]
___________________________
[1] Lihat Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi. Cet. Maktabah Lubnan, hlm. 435.
[2] Lihat Nailul Maram Min Tafsiir Ayatil ahkam, ‘Allamah Shiddiq Khan, hlm. 90-91.
[3] Fathul Bari (8/135)
[4] Lihat Tafsir As Sa’di, hlm. 69
[5] Asy Syarhul Mumti’, (6/334)
C. ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH
- Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa’id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan Auza’i. [6]
- Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.
Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal. Pertama, karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.
Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah kemudian Allâh Ta'ala menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan?
Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan, karena kewajiban baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa. [7]
Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :
1. Wanita hamil dan wanita yang menyusui.
Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya.
Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah? Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.
Pendapat pertama, wajib bagi mereka untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah. Pada pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha‘ tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah.
Pendapat lainnya, tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha’, akan tetapi wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.
Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas radhiyallâhu'anhu: Sesungguhnya Allâh menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui. (HR Al-Khamsah)
Pendapat ketiga, wajib bagi mereka untuk mengqadha’ saja. Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha’, karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan.
Adapun hadits :
“Sesungguhnya Allâh menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui”,
maka yang dimaksud ialah, bahwa Allâh Ta'ala menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha’. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha’i. Keduanya berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil, jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha’ (dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya).
Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh, pendapat inilah yang paling kuat.[9] Beliau (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi, dia berkata, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
Sesungguhnya Allâh telah menggugurkan dari musafir setengah shalat, dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa. (HR Al-Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih)
Akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha’ dari hari yang dia tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang telah sembuh.[10] Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya ketika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa, sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Dan semoga Allâh Ta'ala memberikan taufiq.[11]
__________________________
[6] Lihat Al Mughni (3/141)
[7] Lihat Asy Syarhul Mumti’ (6/453).
[8] Lihat Al Mughni (3/139).
[9] Syarhul Mumti’, 363.
[10] Majalisu Syahri Ramadhan, hlm. 45
[11] Fatawa Islamiyah (2/148).
D. JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH
Tidak disebutkan di dalam nash Al-Qur‘an atau As-Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan kepada ‘urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin, baik berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada mereka bahan makanan sehingga mereka memilikinya.
Pendapat ulama tentang kadar dan jenis fidyah.
Berkata Imam An Nawawi:
“(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada”.
Imam An Nawawi juga berkata:
“Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Fidyah tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja”. [17]
Ukuran Satu Mud
Satu mud adalah seperempat sha’. Dan sha’ yang dimaksud ialah sha’ nabawi, yaitu sha’-nya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Satu sha’ nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram.[18]
Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha’ nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha’ nabawi sama dengan 3000 gram.[19]
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha’ (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.
____________________
[17] Al Majmu’ Syarh Al Muhadz-dzab (6/420)
[18] Majalisu Syahri Ramadhan, 162 dan Syarhul Mumti’ (6/176)
[19] Taudhih Al Ahkam (3/178)
DAFTAR PUSTAKA
- Al Majmu’ Syarh Al Muhadz-dzab, Imam An Nawawi. Cet. Maktabah Al Irsyad, Jeddah.
- Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun 1402H.
- Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi, Cet. Maktabah Lubnan, Tahun 1989.
- Asy Syarhul Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin. Cet. Maktabah Asaam, Riyadh, Tahun 1416H.
- Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, Cet. Dar Al Kalim Ath Thayyib, Beirut, Tahun1419 H.
- Nailul Maram, Allamah Shiddiq Hasan Khan, Cet. Ramadi, Dammam, Tahun 1418 H.
- Irwa’ul Ghalil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Kedua Al Maktab Al Islami, Tahun1405 H.
- Fat-hul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar. Cet. Dar Al Ma’rifah, Beirut.
- Fatawa Islamiyah, Jama’: Muhammad Al Musnid. Cet Dar Al Wathan, dan kitab-kitab lainnya.