Makalah Sejarah Kebudayaan Islam Periode Madinah
Oleh: Siti Nurjannah Lubis (Mahasiswi IAIN-SU)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw, dalam rangka membentuk suatu masyarakat yang Islami adalah proses perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan serta banyak membutuhkan pengorbanan. Rasulullah saw telah memulai pembinaan itu sejak di Makkah, dimana beliau berjuang mempertaruhkan harta dan nyawanya untuk mencetak kader-kader yang tangguh sehingga nantinya akan menjadi unsur terpenting dan utama dalam pembentukan masyarakat Islam. Kita lihat bagaimana beliau melakukan pembinaan kepada orang-orang terdekatnya yang senantiasa ditekan dan dihalang-halangi, beliau harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Adalah rumah al-Arqam bin Abil-Arqam menjadi markas pembinaan Rasulullah kepada para sahabat, di tempat seperti inilah lahir pribadi-pribadi Muslim yang tangguh, dari pembinaan seperti inilah lahir manusia-manusia seperti Abu bakar As-Shiddiq, Amar bin Yasir, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Raba dan sebagainya. Dimana nantinya binaaan Rasul inilah yang akan menjadi penopang dan unsur utama dalam terbentuknya masyarakat Islam di Madinah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan umat Islam pada periode Madinah
2. Pembinaan Masyarakat
3. Perjanjian Hudaibiyah
4. Fathul Makkah
5. Haji Wada’
BAB II
PEMBAHASAN
PERIODE MADINAH
Tidak dapat dipungkiri, Madinah adalah sebuah kota yang majemuk. Di dalamnnya ada berbagai etnis yang memeluk berbagai agama. tidak heran konflik antaretnis atau antarumat beragama pun seringkali terjadi. Hal inilah yang kemudian mendorong Rasulullah saw. mengajak seluruh masyarakat Madinah untuk membuat semacam kode etik yang disepakati oleh semua pihak, sehingga dapat menjadi acuan dalam menegakkan hukum di bumi Madinah. Tidak lama kemudian, ajakan itu terealisasi juga. Perjanjian yang berisi tentang hak dan kewajiban setiap golongan warga Madinah itu kemudian dikenal dengan sebutan “Piagam Madinah”. Adapun hal-hal pokok yang tertulis dalam perjanjian ini adalah sebagai berikut:
- Kaum muslimin Madinah adalah satu umat, dan akan memerangi siapa pun yang melalukan kezaliman, kejahatan, dan permusuhan terhadap mereka;
- Kaum Musyrikin Madinah tidak wajib melindungi harta dan jiwa kaum kafir Quraisy, dan tidak akan merintangi tindakan kaum mukminin atas mereka;
- Kaum Yahudi wajib turut seta bersama kaum mukminin dalam peperangan ;
- Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf dipandang sebagai bagian dari kaum mukminin;
- Kaum Yahudi tetap pada agama mereka, dan demikian pula dengan kaum muslimin;
- Kaum Yahudi dari berbagai kabilah Yahudi di Madinah diperlakukan sama dengan orang-orang Yahudi dari Bani ‘Auf;
- Kaum Yahudi dan muslimin harus memikul biayanya masing-masing dalam menjalankan kewajibannya memberikan pertolongan secara timbal balik ketika melawan pihak lain yang memerangi salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian itu;
- Semua pihak harus senantiasa saling berbuat kebajikan dan saling mengingatkan ketika ada yang berbuat zalim;
- Semua pihak wajib saling membantu dalam melawan pihak yang menyerang Madinah;
- Setiap orang dijamin keselamatannya untuk meninggalkan atau tetap tinggal di Madinah, kecuali yang berbuat kejahatan;
- Bahwasanya Allah-lah pelindung pihak yang berbuat kebajikan dan taqwa.
Dengan perjanjian ini, kita lihat bahwa keberadaan Rasulullah saw. di Madinah ternyata tidak hanya berperan sebagai rasul, melainkan ia juga berperan sebagai seorang negarawa. Dengan piagam inilah kesatuan dan persatuan yang kokoh dikalangan masyarakat Madinah dapat tercipta. Meskipun beberapa kali kaum Yahudi menghianati perjanjian ini, dan melakukan taktik untuk memecah belah persatuan kaum Muslimin di Madinah, namun keberadaa piagam ini tetap tidak tergoyahkan. Hal ini tampak jelas ketika kaum muslimin tetap bersatu dalam melewati serangkaian peristiwa, seperti pada perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Secara garis besar, langkah dakwahh yang dilakukan Rasulullah saw. di Madinah bermuara pada satu tujuan, yaitu menciptakan perdamaian seutuhnya di bumi Madinah, hal itu dapat kita lihat melalui tiga hal berikut ini:
- Diperdamaikannya antara Aus dan Khazraj;
- Dipersaudarakannya kaum Muhajirin dan Anshar; serta
- Dipersatukannya masyarakat Madinah melalui Piagam Madinah.
A. Pembinaan Masyarakat
Diketahui bersama bahwa ketika Rasulullah saw tiba di kota Madinah, maka bertemulah beberapa unsur kelompok masyarakat yang berbeda,[1] yang merupakan kewajiban sekaligus tantangan bagi beliau untuk membentuknya menjadi sebuah masyarakat yang bermartabat, dibangun di atas pondasi yang kokoh, dan memiliki tata aturan yang mengatur tingkah laku dan cara pergaulan di antara mereka. Pembentukan masyarakat Islami untuk pertama kalinya, dikerjakan sendiri oleh Rasulullah saw. Dengan demikian beliau memberi pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya masyarakat Islam itu terbentuk, langkah-langkah apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membina masyarakat Madinah yang heterogen itu, menjadi satu keluarga besar, yang memperhatikan seluruh anggota masyakaratnya tanpa memandang asal suku dan kabilahnya. Itulah keluarga Islam "masyarakat Islam". Berikut penjelasan beberapa langkah praktis yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membentuk masyarakat Islam itu:
1. Pembinaan Melalui Masjid
Sesampainya di Madinah, Rasulullah saw. segera menegakkan masyarakat islam yang kokoh dan terpadu, dan sebagai langkah pertama kearah itu, Rasulullah saw membangun masjid.[2] Tidaklah heran kalu masjid merupakan asas utama dan terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam, karena masyarakat Islam tidak akan terbentuk kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah dan tatanan Islam, hal ini hanya bisa ditumbuhkan melalui semangat masjid.[3] Masjid itu bukan sekedar tempat untuk melaksanakan shalat semata, tetapi juga menjadi sekolah bagi orang-orang Muslim untuk menerima pengajaran dan bimbingan-bimbingan Islam, sebagai balai pertemuan dan tempat untuk mempersatukan berbagai unsur kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh perselisihan semasa Jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur segala urusan dan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan.[4]
2. Pembinaan Melalui Persaudaraan Sesama Kaum Muslimin
Sebagai langkah selanjutnya, Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar.[5] Sebab masyarakat manapun, tidak akan berdiri tegak, kokoh tanpa adanya kesatuan dan dukungan anggota masyarakatnya. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah dengan maksud merekatkan hubungan antara kabilah-kabilah kaum Muhajirin dan lebih khusus merekatkan hubungan suku Aus dan suku Khazraj yang sering berperang sebelum kedatangan Rasulllah ke Madinah. Menurut Imam Abdur Rahman al-Khats'ami dalam kitabnya Ar-Raudhul Unuf menyebutkan: "maksud dari persaudaraan ini adalah untuk menghilangkan kesepian lantaran meninggalkan kampung halaman mereka, dan menghibur karena berpisah dengan keluarga, disamping agar mereka saling membantu satu sama lain".[6] Untuk melihat gambaran kedekatan dan itsar di antara mereka. Allah SWT menggambarkannya dengan indah dalam al-Qur'an, surat al-hasyr ayat 9:
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung." (Q.S. Al-Hasyr:9)
3. Perjanjian Kaum Muslimin Dengan Orang-orang di Luar Islam
Setelah Rasulullah mengokohkan persatuan kaum Muslimin, dan telah berhasil memancangkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, dengan menciptakan kesatuan aqidah, politik dan sistem kehidupan di antara orang-orang Muslim, maka langka selanjutnya yang dilakukan oleh Rasulullah adalah menawarkan perjanjian damai kepada golongan atau pihak di luar Islam. Perhatian beliau pada saat itu adalah bagaimana menciptakan keamanan, kebahagiaan dan kebaikan bagi semua manusia, mengatur kehidupan di daerah itu dalam satu kesepakatanSecara garis besar perjanjian antara rasulullah dengan golongan di luar Islam yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah, dapat disebutkan empat prinsip hukum yang terkandung di dalamnya, yaitu :
Menurut Badri Yatim, Piagam Madinah yang lengkapnya itu terdiri dari empat bagian, yaitu:
- Bagian pertama: terdiri dari 28 pasal, isinya banyak menyangkut hubungan anshar dan Muhajirin;
- Bagian kedua: menyangkut tentang hubungan umat Islam dengan kaum Yahudi;
- Bagian ketiga: ditulis setelah perjanjian Hudaibiyah, karena banyak orang yang pindah ke Madinah;
- Bagian keempat: berkenaan dengan kabilah yang baru masuk Islam, isinya menjelaskan bahwa terhadap kabilah yang baru masuk Islam berlaku apa yang sudah berlaku bagi kabilah yang sudah lama memeluk Islam.[7]
B. Perjanjian Hudaibiyah
Perkembanngan yang terjadi diJazirah Arab semakin menguntungkan pihak kaum Muslimin. Sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat sinyal-sinyal kemenangan yang besar dan keberhasilan dakwah Islam. ketika masih di Madinah, Rasulullah saw. bermimpi bahwa beliau bersama para sahabat memasuki Masjidil Haram, mengambil kunci Ka’bah, melaksanakan Tawaf dan Umrah, sebagian sahabat ada yang mencukur, dan sebagian yang lain ada yang memendekkan rambutnya.[8] Beliau menyampaikan mimpinya ini kepada para sahabat, dn mereka tampak senang. Menurut perkiraan mereka, pada tahun ini pula mereka bisa memasuki Mekkah. Tidak lama kemudian, beliau mengumumkan hendak melakukan Umrah. Orang-orang Badui yang mendengar niat Rasul in ijuga berdatangan untuk bergabung. Kemudian Rasul mencuci pakaian dan menaiki unta beliau yang bernama Al-Qashwa.[9] Keberangkatan Raasul tepat pada hari senin tanggal 1 Dzulqa’idah 6H dan diantara istri beliau yang ikut adalah Ummu Salamah, dan adapun jumlah sahabat yang ikut ada 1400 orang.[10]
1. Isi Perjanjian Hudaibiyah
- Gencatan senjata selama sepuluh tahun.
- Orang Islam dibenarkan memasuki Makkah pada tahun berikutnya, tinggal di Makkah selama tiga hari sahaja dengan hanya membawa senjata bersarung.
- Bekerja sama kepada perkara yang membawa kebaikan.
- Orang Quraisy yang lari ke pihak Islam tanpa kebenaran keluarga dikembalikan semula.
- Orang Islam yang lari ke pihak Quraisy tidak perlu dikembalikan.
- Kedua-dua pihak boleh membuat perjanjian dengan mana-mana kabilah Arab tetapi tidak boleh membantu peperangan.
2. Hikmah Perjanjian Hudaibiyah
- Berkembangnya syiar Islam.
- Kehidupan masyarakat aman dan damai.
- Pengiktirafan Rasulullah dan negara Islam di Madinah.
- Membuka jalan kepada pembebasan Mekah daripada Musyrikin Quraisy.
- Orang Islam dapat membuat perhubungan dengan kabilah Arab yang lain.
C. Fathul Mekkah (Pembebasan Kota Mekkah) (20 Ramadhan 8 Hijriah)
Fathul Mekkah merupakan peristiwa yang paling dinantikan kaum muslimin. Sebab itu kejadian ini dianggap kemenangan yang terpenting bagi Islam dan kaum muslimin. Dengan kemenangan itu, Allah memuliakan Nabi-Nya secara khusus dan umat Islam pada umumnya. Peristiwa Fathul Mekkah ini terjadi setelah melalui rangkaian tahun yang terus-menerus diisi dengan dakwah, jihad dan penyampaian risalah Islam. Dengan begitu, Fathul Mekkah menjadi salah satu fase dakwah yang terpenting dalam Islam. Selain itu, Fathul Mekkah seakan menjadi puncak perjuangan Rasulullah berada diwilayah tersebut, sekaligus menjadi awal perjuangan generasi setelahnya untuk menyempurnakan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Inilah yang dilakukan para Khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah. Hasil Penting dari Peristiwa Pembebasan Mekkah, yaitu:
- Rasulullah bersama kaum muslimin menghancurkan berhala di Ka’bah dan sekitarnya. Dengan demikian, berakhirlah paganisme di wilayah jazirah Arab.
- Masuknya Quraisy ke pangkuan Islam menjadikan kabilah-kabilah Arab di seluruh Jazirah Arab bisa bertemu Rasulullah untuk masuk Islam. Peristiwa inilah yang dilakukan Rasulullah selama dua tahun: tahun 9 sampai 10 H. Banyak kabilah yang berdatangan kepada Rasulullah untuk mengikrarkan keIslaman mereka.
D. Haji Wada’
Haji Wada’ dikenal juga dengan nama Haji Perpisahan Nabi Muhammad Saw. Rasulullah saw. Mengumumkan niatnya untuk melaksanakan haji yang mabrur. Maka manusia datang berbondong-bondong ke Madinah, yang semua hendak ikut beliau. Pada hari sabtu 14 hari sebelum habisnya bulan Dzulqa’idah,[11]beliau berkemas-kemas untuk berangkat, dengan menyiapkan bekal perjalanan, berminyak dan mengenakan mantel.[12] Tahun kesebelas Hijrah, haji pertama Rasulullah dan kaum Muslimin tanpa ada seorang musyrik pun yang ikut didalamnya, Untuk pertama kalinya pula, lebih dari 10.000 orang berkumpul di Madinah dan sekitarnya, menyertai Nabi melakukan perjalanan ke Makkah, dan sekaligus inilah haji terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah. Rombongan haji meninggalkan Madinah tanggal 25 Dzulqadah , Rasulullah disertai semua isterinya, menginap satu malam di Dzi Al-Hulaifah, kemudian melakukan Ihram sepanjang Subuh, dan mulai bergerak. Setelah seluruh manasik haji dilakukan, Rasul memerintahkan untuk kembali ke MadinahAl-Munawarah tanpa mengambil waktu untuk istirahat, agar perjuangan ini terasa murni karena Allah dan di jalan-Nya.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di Madinah Rasulullah saw membangun masyarakat baru berlandaskan tauhid, keimanan yang kokoh. Dan beliau memulainya dari masjid, sebab masyarakat Islam bisa terbentuk dari kejama'ahan masjid. Di masjid kaum Muslimin saling bertemu, bersilaturrahim, bertukar pikiran dan sebagainya. Kemudian melihat strategi Rasulullah selanjutnya yaitu mempersaudarakan sesama kaum Muslimin. Disini kita dapat melihat ketepatan Rasulullah dalam mengambil langkah-langkah pembinaan, sebab hanya dengan kesatuan dukungan ummatlah yang dapat menegakkan masyarakat yang akan dibangun. Dan kesatuan ummat itu hanya bisa terwujud bila ada persaudaraan dan saling mencintai, ini penting untuk dilakukan Rasulullah sebab sisa-sisa kejahiliyahan dan fanatisme kesukuan masih mungkin timbul bila tidak segera dipersaudarakan baik antara Muhajirin dengan Anshar maupun sesama kaum Anshar yang sebelumnya sering terjadi peperangan di antara mereka. Disisi lain bertujuan untuk menumbuhkan saling tolong menolong, dimana Kaum Muhajirin datang ke Madinah tanpa membawa apa-apa. Dengan solidnya masyarakat Islam yang didasari tauhid yang kokoh dan persatuan yang saling mencintai maka untuk melakukan perjanjian dengan pihak luar akan bisa dilakukan.
B. Kritik dan Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan, agar penulisan makalah kami untuk kedepannya menjadi lebih baik dari ini. Mudah-mudahan para pembaca dapat memahami makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Ahmad Shalab. 1957. Masyarakat Islam. Jogyakarta.
- Beirut. 1999. Muassasah Arrisalah.
- Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy. 2001. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Rabbani Press.
- Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Maktum, Bahtsun Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam.
- Ahzami Samiun Jazuli. 2006. Hijra dalam Pandangan Al-Qur'an, Jakarta: Gema Insani Press.
- Ahmad Shalaby. 1957. Masyarakat Islam. Jogyakarta.
- Haidar Putra dan Nurgaya Pasa. 2012. Pendidiakan Islam. Medan: Kencana
- Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuyi. Syirah Nabawiyah. 2009. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
- Shahih Al-Bukhari. Kitabul Manasik. 2/631.
[1] Ahmad Shalaby, Masyarakat Islam, Jogyakarta: 1957. Hlm. 38
[2] Beirut: Muassasah Arrisalah. 1999. hlm. 184
[3] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Rabbani Press, 2001, hal. 171
[4] Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Maktum, Bahtsun Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, hlm. 185
[5] Ahzami Samiun Jazuli, Hijra dalam Pandangan Al-Qur'an, Jakarta: Gema Insani Press, 2006. hlm. 262
[6] Ahmad Shalaby, Masyarakat Islam, Jogyakarta. 1957. hlm. 41-42
[7] Haidar Putra dan Nurgaya Pasa. 2012. Pendidiakan Islam. Medan: Kencana. Hlm.35-36.
[8] Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuyi. Syirah Nabawiyah. 2009. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 385.
[9] Ibid.
[10] Op.cip
[11]Fathul Bari, 8/104
[12] Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuyi. Syirah Nabawiyah. 2009. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 545
[13] Shahih Al-Bukhari. Kitabul Manasik. 2/631.