Makalah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadist
Oleh: Kholisatul Amaliah
Editor: Ibrahim Lubis, M.Pd.I
BAB I
PENDAHULUAN
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya. Khususnya para ulama ahli hadis,terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Bahkan, menguatnya kajian hadis dalam dunia islam tidak lepas dari upaya umat islam yang melakukan counter balik terhadap sangkaan-sangkaan negatif kalangan orientalis terhadap keaslian hadis. Goldziger misalnya, ia meragukan sebagian besar keaslian (orisinalitas) hadis, oleh yang diriwayatkan oleh Bukhari sekalipun. Salah satu alasannya adalah semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW dengan masa upaya pentadwinan hadis sangat jauh, menurutnya, sangat sulit untuk menjaga tingkat orisinalitas hadis tersebut.[1]
Sebab studi tentang keberadaan hadis selalu makin menarik untuk di kaji seiring dengan perkembangan manusia yang semakin kritis. Oleh karena itu mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya. Perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadist
A. Hadist pada masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadis pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul SAW sebagai sumber hadis. Rasul SAW membina umatnya selama 23 tahun . Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwujudkannya Hadis.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan(aqwal),perbuatan(af’al),dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar,dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah mereka. Rasul SAW merupakan satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
1. Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadis
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya. Umat islam secara langsung menerima hadis dari Rasul SAW tanpa hijab. Allah menurunksan al-Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisahkan,dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Kedudukan Nabi yang demikian itu secara otomatis menjadikan semua perkataan,perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi para sahabat. Para sahabat secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan diantara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan Rasul SAW cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah)[2] Ada beberapa cara Rasul menyampaikan hadis kepada para sahabat,yaitu :
- Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaaannya yang disebut majlis al-‘Ilmi. Melalui hadis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis,sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi.
- Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu,yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewujudkan hadis,para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,baik karena disengaja oleh Rasul sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,bahkan hanya satu orang,seperti hadis-hadis yang ditulis oleh Abdullah ibn Amr ibn Al-‘Ash
- Ketiga, cara yang dilakukan Rasul adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka,seperti ketika haji wada’ dan fathul Makkah.[3]
2. Perbedaan para sahabat dalam menguasai hadis
Di antara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal, pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul, kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain, ketiga ,perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul.
3. Menghafal dan Menulis Hadis
a. Menghafal hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadis,sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul menempuh jalan yang berbeda. Yaitu menghafal dan menulis. Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak praislam dan mereka terkenal kuat hafalannya; kedua, Rasul banyak memberikan spirit melalui do’a-do’anya; ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada yang menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain.
b. Menulis Hadis
Beberapa sahabat yang memiliki catatan dan penulisan terhadap hadis : Abdullah ibn Amr Al-‘Ash,Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari, Abu Hurairah Al-Dausi, Abu Shah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari)
c. Mempertemukan Dua Hadis yang Bertentangan
Dengan melihat dua kelompok hadis yang kelihatannya terjadi kontradiksi,seperti para hadis dari Abu Sa’id Al-Hudri di satu pihak,dengan hadis dari Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash. Diantara mereka ada yang menggugurkan salah satunya,seperti dengan jalan nasikh dan mansukh dan ada yang berkompromi keduanya sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul)
B. Hadis pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat, khususnya masa khalafa’ al-rashidin yang berlangsung sekitar tahun 11-40 H. Masa ini disebut juga masa sahabat besar.
1. Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya,Rasul berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabdanya: yang artinya,
“ Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnahku (al-Hadis)”. (HR. Malik).[4] Dan sabdanya pula: “ Sampaikanlah dariku walau satu ayat atau satu hadis”[5]
2. Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar bin Khattab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman bin Affan,sehingga melahirkan Mushaf Usmani. Kehati-hatian dari usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat,disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan,yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasri’ setelah al-Qur’an,yang harus dijaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’an.[6]
Setelah Rasul wafat Abu Bakar pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada mereka,ia berkata : “Kalian meriwayatkan hadis-hadis Rasul SAW yang diperselisihkan orang-orang setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwayatkan hadis(tersebut)[7]
3. Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis,yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya,tidak berarti hadis-hadis rasul tidak diriwayatkan. Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. Pertama, dengan jalan periwayatan lafdzi(redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul) dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi(maknanya saja)
a. Periwayatan Lafdzi
Periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
b. Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang di dengarnya dari Rasul SAW,akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh,sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW,tanpa ada perubahan sedikitpun. Namun para sahabat tetap hati-hati dalam melakukannya. Ibn Mas’ud misalnya,ketika ia meriwayatkan hadis ada istilah-istilah tertentu yang digunakan untuk menguatkan penukilannya,seperti dengan kata: qala Rasul SAW hakadza(Rasul SAW telah bersabda begini),atau nahwan atau qala Rasul SAW qariban min hadza.[8]
C. Hadis pada masa Tabi`in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada ,masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah,wilayah kekuasaan Islam sampai meliputi Mesir,Persia,Iraq,Afrika,Bashrah,Syam dan Khurasan. Penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat,sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar)
1. Pusat-pusat Pembinaan hadis
Beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis,sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah al-Munawarrah, Makkah Al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan. Beberapa orang yang meriwatyatkan hadis cukup banyak,antara lain Abu Hurairah,Abdullah ibn Umar,Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jaabir Ibn Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudri[9].
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah ,karena di sinilah Rasul SAW menetap setelah Hijrah. Di sini pula Rasul membina masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku dan kabilah. Di antara para sahabat yang membina hadis di Makkah yaitu,Mu’adz ibn Jabal, ‘Atab ibn Asid, Haris ibn Hisyam, Ustman ibn Thalhah dan ‘Utbah ibn Al-Haris.[10] Di antara para Tabi’in yaitu, Mujtahid ibn Jabbar,Atha’ ibn Abi Rabah, Thawus ibn Kaisan dan Ikrimah maulana ibn Abbas.[11]
Di antara para sahabat yang membina hadis di Kufah yaitu, Ali bin Abi Thalib,Sa’ad ibn Abi Waqas, dan Abdullah ibn Mas’ud. Di antara para tabi’in yaitu, Al-Rabi’ ibn Qosim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’i dan Abu Ishaq Al-Sa’bi.[12]
Di antara sahabat yang membina hadis di Basrah yaitu,Anas ibn Malik,Abdullah ibn Abbas,’Imran ibn Husain, Ma’qal ibn Yasar,Abdurrahman ibn Samrah dan Abu Sa’id Al-Anshari. Di antara para Tabi’in yaitu,Hasan Al-Bishri, Muhammad ibn Sirrin,Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibn ‘Ubaid, Abdullah ibn ‘Aun,Kahatadah ibn Du’amah Al-Sudusi dan Hisyam ibn Hasan.[13]
Di antara para sahabat yang membina hadis di Syam yaitu,Abu Ubaidah Al-Jarrah,Bilal ibn Rabbah, Ubadah ibn Shamid, Mu’adz ibn Jabal,Sa’ad ibn Ubaidah,Abu Darda’ Surahbil ibn Hasanah,Khalid ibn Walid dan Iyad ibn Ghanam. Di antara para tabi’in yaitu Salim ibn Abdillah al-Muharibi,Abu Idris Al-Khaulani, Abu Sulaiman Al-Darani dan Umar ibn Hana’i.[14]
Para sahabat yang membina di Mesir yaitu,Amr ibn Al-‘Ash,Uqbal ibn Amr, Kharisah ibn Huzafah dan Abdullah ibn Al-Haris. Para tabi;in diantaranya Amr ibn Haris, Khair ibn Nu’aimi Al-Hadrami,Yazid ibn Abi Habib,Abdullah ibn Abi Jafar dan Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil.[15]
Di Maghribi dan Andalus yaitu,Mas’ud ibn Al-Aswad Al-Balwi,Bilal ibn Haris ibn ‘Ashim Al-Muzani,Salamah ibn Al-Akwa dan Walid ibn ‘Uqbah ibn Abi Muid. Para tabi’in yaitu, Ziyad ibn An’am Al-Mu’arif,Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Abi Mansyur,Al-Mughirah ibn Abi Burdah,Rifa’af ibn Rafi’ dan Muslim ibn Yasar.[16]
Para sahabat yang terjun di Yaman yaitu,Mu’adz ibn Jabal,dan Abu Musa Al-As’ari. Para Tabi’in diantaranya yaitu, Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn Munabah, Thawus dan Ma’mar ibn Rasyid.[17] Sedang para tabi’in yaitu, Muhammad ibn Ziyad, Muhammad ibn Tsabit Al-Anshari dan Yahya ibn Sabih Al-Mugri.[18]
2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat,setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin yaitu ketika kekuasaan di pegang oleh Ali bin Abi Thalib. Langsung atau tidak dari pergolakan politik di atas,cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu(maudhu’) untung mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.[19]
D. HADIS MASA TADWIN
Secara bahasa tadwin diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ al-shuhuf). Secara luas tadwin diartikan dengan al-jam’u (mengumpulkan). Menurut Al-Zahrani tadwid ialah “Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran”.[20] Pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz, mengintruksilkan kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan para penghafalnya,kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm ia mengirim instruksi “Perhatikan atau periksalah Hadis-hadis Rasul Saw, kemudian tuliskanlah ! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama’(para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali hadis Rasul SAW.”[21] Instruksi yang sama ditujukan kepada Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang lainnya.[22]
1. Latar balakang Munculnya pemikiran Uasaha Tadwin Hadis
Ada dua hal pokok mengapa umar ibn Abdul Aziz mengambil sikap itu, pertama, ia khawatir terhadap hilangnyahadis-hadis dengan meninggalnya para ulama di medan perang, kedua, ia khawatir juga akan tercampurnya anatara hadis yang sahih dengan hadis-hadis palsu.
2. Gerakan Menulis Hadis pada Kalangan Tabi’in dan Tabi’at Tabi’in Setelah ibn Shihab az-Zuhri
Ada ulama’ ahli Hadis yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik ibn Anas(93-179 H) di Madinah dengan karyanya Al-Muwaththa’. Para tadwid yang lain ialah, Muhammad ibn Ishaq(w.151)dan ibn Abi Zi’bin(80-158)di Madinah; ibn Juraij(80-150) di Makkah; Al-Rabi’ ibn Sabih(w.160 H) dan Hammad ibn Salamah(w.176 H)di Bashrah; Sufyan Al-Tsauri(97-161 H) di Kufah; Al-Auza’i988-157 H) di Syam; Ma’mar ibn Rasyid(93-153 H) di Yaman;ibn Al-Mubarak(118-181 H0 di Khurasan; Abdullah ibn Al-Wahab(125-197 H) di Mesir; dan Jarir ibn Abd Al-Hamid(110-188 H)di Rei.[23]
E. Masa seleksi dan penyempurnaan serta pengembangan sistem penyususnan kitab hadis
1. Masa penyaringan Hadis
Masa seleksi atau penyaringan hadis terjadi ketika pemerintaha dipegang oleh dinasti Bani Abbas,khususnya sejak Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir(sekitar tahun 201-300 H). Munculnya periode ini, karena periode sebelumnya yaitu periode tadwin belum bisa memisahkan hadis mauquf dan maqthu’ dari hadis marfu’ serta hadis dhaif dari yang shahih. Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis dan akhirnya berhasil memisahkan hadis-hadis yang dhaif(lemah)dan yang shahih dan hadis-hadis yang mauquf dan yang maqthu’ dari yang marfu’.
2. Masa Pengembangan dan penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab-Kitab Hadis
Penyusunana hadis pada masa ini lebih mengarah kepada uasaha pengembangan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Di antara usaha itu ialah mengumpulkan isi kitab Bukhori dan Muslim,seperti yang dilakukan Muhammad ibn Abdillah Al-Jauzaqi dan ibn Al-Furat(w 414 H). Masa perkembangan hadis yang terakhir ini terbentang cukup panjang,dari mulai abad keempat Hijriyah terus berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad kontemporer. Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam,yakni fase pertengahan dan fase modern.
BAB III
PENUTUP
Makalah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadist
Dari pembahasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan :
- Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis dimulai sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul.
- Penulisan hadis ada sejak Rasulullah masih hidup. Shahifah yang berisi catatan hadis rasul itu dibuat dari pelapah-pelapah kurma,kulit-kulit kayu dan tulang-tulang hewan.
- Masa pembukuan hadis yang secara resmi dilakukan atas kebijaksanaan pemerintah yang terjadi pada zaman khalifah Umar bin Abd Aziz.
- Masa pentasihan atau penyaringan hadis dimulai ketika pemerintah dipegang oleh Dinasti Abbas,khususnya sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar 201-300)
- Pada masa pengkajian hadis, para ulama’ hadis mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab hadis atau topik-topik tertentu.
- Masa kontemporer adalah zaman Mutakalimin, yaitu era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
- As- Shiddiq, M. H. (1980). Sejarah dan Pintar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
- Khathib, ,. A.-M. (1997). 'Ajjaj al- Sunnah Qabla At-Tadwin. Beirut: Dar Al- Fikr.
- Shalih, A.-S. (1997). 'Ulum Al-Hadis wa Musthalahu. Malayin: Dar Al-'Ulum.
- Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlak Al-Rawi wa Adabi Al-Sami’, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misiriyah,t.t)
- Muhammad ibn Mathar Al-Zahrani, Tadwin Al-Sunnah Al-Nabawiyah wa Tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’Al-Hijri, (Thaif: Maktabah Al-Shadiq, 1412 H)
______________________
[1] Goldziger adalah seorang orientalis kelahiran Hongaria yang banyak dan mengkaji literatur-literatur Islam terutama hadis. Melalui karya tulisnya “Muhammedanische Studien”, Goldziger berhasil menanamkan keragu-raguan kepada banyak orang termasuk orang islam sendiri terhadap sumber tasyri’ yang kedua ini. Lihat Goldzger, Hadis dan Sunah, dalam H.L Beck dan N.J.G.Kaptein, Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosof, Teologi, dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1988)
[2] Dr. Musthafa Al- Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi Al-Tasyri’Al-Islami,(Kairo: Dar Al-Salam, 1988), Cet.Ke-1,hlm. 64
[3] Mushtafa Al- Siba’i, op.cit.,hlm. 64-65
[4] Lihat Kitab Al- Jami’ (hadis nomor 1.395) dalam Imam Malik, al- Muwaththa’. Urut-urutan sanadnya, diterima dari Zaid ibn Abi Unaisah, dari Abd Al-Hamid ibn Abdurrahman, dari Zaid ibn Al-Khaththab dari Muslim ibn Yasar Al-Juhany.
[5] Lihat Kitab Ahadits Al-Anbiya’ (hadis nomor 3.461) dalam Imam Al- Bukhari, Shahih Al- Bukhari, Tahqiq:Syeikh ‘Abd Al-‘Aziz ibn Abdillah ibn ‘Abd Al-‘Baz, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994)
[6] Ajjaj Al-Khathib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, op.cit., hlm: 92-93
[7] Ajjaj Al-Khathib, op.cit.,hlm. 113. Lihat juga Syamsu Al-Din ibn Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Dzahabi, Tadkirat Al- Khuffazh, jilid 1,(Haederabat: The Dairat Al-Ma’arif Osmania, 1333 H), hlm.4.
[8] Ajjaj Al-Khathib,op.cit.,hlm.130.Lihat juga Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlak Al-Rawi wa Adabi Al-Sami’, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misiriyah,t.t) hlm.106
[9] Ibid., hlm.111
[10] Al-Hakim,op.cit., hlm.192
[11] ‘Ajjaj Al-Khatib,op.cit.,hlm.111-118
[12] Al-Hakim,op.cit.,hlm.243
[13] Ibid., hlm.192 dan 242.
[14] Ibid., hlm.193 dan 242
[15] Ibid., hlm.193 dan 241
[16] ‘Ajjaj Al-Khthib,loc.cit
[17] Ibid
[18] Al-Hakam,op.cit.,hlm.249
[19] Pembahasan sekitar pemalsuan hadis atau hadis Maudhu’ akan diuraikan secara khusus pada bahasan bab selanjutnya.
[20] Dr. Muhammad ibn Mathar Al-Zahrani, Tadwin Al-Sunnah Al-Nabawiyah wa Tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’Al-Hijri, (Thaif: Maktabah Al-Shadiq, 1412 H), Cet.,hlm. 73.
[21] ‘Ajjaj Al-Khathib,op.cit.,hlm.329.
[22] Mushthafa Al-Siba’i,op.cit., hlm. 104
Mengingat pentingnya peranan Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri, para ulama di masanya menyebutkan, bahwa jika tanpa dia, hadis-hadis tentu akan banyak yang hilang.
[23] Ibid.,hlm.337-338