Makalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Oleh: Afrahul Fadhila Daulai
Editor: Ibrahim Lubis, M.Pd.I
BAB I
PENDAHULUAN
Proyek seputar Islamisasi ilmu pengetahuan sudah berlangsung lama dalam dunia Islam sejak era klasik hingga kini. Pada era klasik lebih tepat disebut sebagai embrio lahirnya Islamisasi ilmu, sedang era tahun 1980-an merupakan puncak terjadinya Islamisasi ilmu. Beragam pandangan ilmuan muslim tentang Islamisasi ilmu ada yang pro dan kontra, yang pro maksudnya setuju terhadap pentingnya Islamisasi ilmu, dengan cara membuat konsep klasifikasi ilmu seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi menulis buku Ihsha’ al-Ulum, Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin dan Ibn Khaldun, menulis buku Al-Muqaddimah, Osman Bakar, menulis Hierarki Ilmu Membangun Kerangka Pikir Islamisasi Ilmu, Syed Naquib Al-Attas hingga Ismail Rajiq Al-Faruqi. Sikap kontra maksudnya tidak setuju bahkan sampai kategori mengharamkan, tokohnya antara lain Ibn as-Salah, Al-Nawawi dan Al-Ghazali menulis buku Tahafut Al-Falasifah (kerancuan filsafat) dan buku ini dibantah habis-habisan oleh Ibn Rusyd dengan menulis buku Tahafut-tahafut (kerancuan-kerancuan).
Muara penolakan itu sebenarnya syariah versus filsafat, dua pandangan yang sulit disatukan dan sering menimbulkan perdebatan-perdebatan sengit sampai mengklaim sesat dan saling mengharamkan. Sebenarnya kalau dikaji ayat-ayat Al-Quran maka tidak ada satu ayatpun yang mengharamkan filsafat, dan tidaklah dikotomi antara ilmu dan agama tetapi saling integral (punya keterkaitan). Banyak ayat-ayat Al-Quran yang mendorong manusia untuk berpikir, apakah kamu tidak berpikir? Apakah kamu tidak memperhatikan? Apakah kamu tidak mengambil pelajaran? Indikasi ungkapan ini adalah ilmu atau filsafat.
Pandangan tidak dikotomi antara ilmu dan agama (Islam) itulah yang mengilhami para khalifah Bani Abbasiyah untuk memajukan peradaban terutama pada era khalifah Jakfar Al-Mansur, khalifah Al-Makmun dan Harun Al-Rasyid serta Al-Kindi sebagai penterjemah dan bekerja pada Bait al-Hikmah pada waktu itu. Kemajuan peradaban yang diperoleh Bani Abbasiyah bukanlah murni hasil upaya para khalifah Islam tetapi merupakan hasil transmisi dari peradaban Yunani yang jauh lebih dulu maju dari dunia Islam. Dari transmisi itu terjadilah kontak peradaban dan diterjemahkanlah karya-karya filsafat Yunani ke Islam maka berkembanglah filsafat, dalam bahasa Arab disebut falsafah. Lama kekuasaan Bani Abbasiyah lebih kurang 1250 tahun mulai dari tahun 750M-1258 M. Tesis yang berkembang dibenak para khalifah yakni tidaklah dikotomi antara ilmu dan agama sehingga menghasilkan kemajuan peradaban.
Berbeda kontras setelah era Bani Abbasiyah, yaitu abad ke 15, 16, 17, 18 dan 19, abad ke 18 disebut sebagai era renaisans (kebangkitan) dunia Barat yang ditandai dengan revolusi industri di Prancis, cirinya yakni tenaga manusia diganti dengan tenaga mesin dan revolusi kemanusiaan di Inggris. Era abad ke 19 merupakan abad penetrasi Barat (penjajahan) terhadap dunia Islam, seluruh dunia Islam dijajah oleh dunia Barat, mulai dari wilayah Afrika Utara; Mesir, Tunisia, Maroko, Libiya, dan Al-Jazair, wilayah Afrika Tengah, Afrika Selatan, Jazirah Arab sampai ke Asia Tenggara, Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, Malaysia dijajah oleh Inggris, Brunai Darussalam oleh Inggris, Philipina oleh Spanyol dan Amerika. Inti dari politik penetrasi dunia Barat yakni tidaklah menghendaki dunia Islam maju tetapi terpuruk dalam kemunduran dan tetap memompakan dikotomi antara ilmu dan agama (Islam). Pada era kemunduran inilah Al-Ghazali dituding sebagai faktor penyebabnya karena lebih fokus mengembangkan ilmu-ilmu agama (tasawuf) dan meninggalkan filsafat. Menurut hemat penulis tidaklah tepat tuduhan itu karena faktor penyebabnya bukanlah karena Al-Ghazali tetapi umat Islam tidaklah memadukan antara ilmu dan agama (Islam) seperti pada era Bani Abbasiyah.
Keterpurukan dunia Islam abad ke 17, 18 dan 19 sangat disadari oleh umat Islam maupun oleh para ilmuan muslim, karena itu pada abad ke 20 muncullah gagasan agar umat bangkit, maju dan terhindar dari kemunduran. Salah satu gagasan yang sagat terkenal yaitu pentingnya dilakukan Islamisasi ilmu pengetahuan, tokohnya yaitu Ismail Rajiq Al-Faruqi. Mengutip Hasan Asari, al-Faruqi telah menjadi pioner modern yang menghidupkan kembali kesadaran umat Islam terhadap pentingnya merubah visi tentang ilmu pengetahuan.[1]
Proyek Islamisasi ilmu pengetahuan yang dicetuskan oleh Al-Faruqi telah menimbulkan beragam persepsi di kalangan umat Islam dan kaum intelektualnya, kecenderungannya hampir seluruhnya setuju terhadap gagasan Islamisasi ilmu sekalipun masih ada di antaranya yang menentang, hanya suatu keniscayaan atau labelisasi saja. Kesetujuan kita adalah dari proyek inilah berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam baru tergolong modern seperti; pesantren, madrasah, IAIN, STAIN dan UIN. Makalah yang sederhana ini akan menjelaskan tentang Islamisasi Ilmu pengetahuan dalam perspektif pendidikan Islami.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
A. Pelopor Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya bukanlah konsep baru tetapi konsep lama yang kembali diaktualkan, mungkin hanya beda istilah saja. Namun, ketika umat Islam berada pada posisi kemunduran dan ingin bangun dari kemunduran gagasan Islamisasi ilmu dianggap baru, tepat dan membumi. Karena itu, tidaklah mengherankan gagasan Islamisasi disambut positif oleh kalangan dunia Islam dan para ilmuannya. Ada sejumlah tokoh yang telah berbicara tentang Islamisasi ilmu, yaitu:
1. Al-Farabi
lahir di Turki di daerah Farab, dalam Filsafat Islam disebut guru kedua, maksudnya Aristoteles disebut guru pertama, al-Farabi guru kedua.[2] Ia terkenal penganut filsafat emanasi yang diadopsi dari filsafat emanasi Aristoteles. Karya-karyanya yang terkenal di antaranya yaitu Ihsha’ Al-Ulum (klasifikasi ilmu). Seperti yang dijelaskan oleh Osman Bakar, klasifikasi ilmu menurut Al-Farabi yaitu ilmu religious; tafsir, hadis, ushul fikih. Psikologi, ilmu kebahasaan dan logika, ilmu-ilmu filosofis; matematika, ilmu alam, metafisika, ilmu politik, yurispurdensi dan teologi.[3] Klasifikasi ilmu ini pada dasarnya merupakan kerangka berpikir untuk Islamisasi ilmu. Karena pada waktu itu terdapat kebuntuan di kalangan ilmuan Islam mengenai dikotomi antara ilmu dan agama (Islam). Sebagai solusinya maka Al-Farabi menciptakan klasifikasi ilmu.
lahir di Turki di daerah Farab, dalam Filsafat Islam disebut guru kedua, maksudnya Aristoteles disebut guru pertama, al-Farabi guru kedua.[2] Ia terkenal penganut filsafat emanasi yang diadopsi dari filsafat emanasi Aristoteles. Karya-karyanya yang terkenal di antaranya yaitu Ihsha’ Al-Ulum (klasifikasi ilmu). Seperti yang dijelaskan oleh Osman Bakar, klasifikasi ilmu menurut Al-Farabi yaitu ilmu religious; tafsir, hadis, ushul fikih. Psikologi, ilmu kebahasaan dan logika, ilmu-ilmu filosofis; matematika, ilmu alam, metafisika, ilmu politik, yurispurdensi dan teologi.[3] Klasifikasi ilmu ini pada dasarnya merupakan kerangka berpikir untuk Islamisasi ilmu. Karena pada waktu itu terdapat kebuntuan di kalangan ilmuan Islam mengenai dikotomi antara ilmu dan agama (Islam). Sebagai solusinya maka Al-Farabi menciptakan klasifikasi ilmu.
2. Al-Ghazali
Lahir (1058-1111 M) gelar hujjatul Islam, filosof, fuqaha, teolog dan sufi, lahir di Thus, sekarang masuk wilayah Khurasan. Karya-karyanya yang terkenal di antaranya Ihya Ulumuddin, al-Munkiz min ad-dalal (penyelamat dari kesesatan), dan Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat). Para pencari ilmu menurutnya dibagi empat. 1). Para teolog. 2). Filosof. 3). Taklimiyah dan 4). Sufi.[4] Sedangkan klasifkasi ilmu menurutnya dibagi dua. Pertama, ilmu syar’iyah (naqliyah) dan kedua ghairi syar’iyah (aqliyah). Pembagian ini sering juga disebut ilmu teoritis dan praktis. Kelompok ilmu masuk syar’iyah yaitu:
Lahir (1058-1111 M) gelar hujjatul Islam, filosof, fuqaha, teolog dan sufi, lahir di Thus, sekarang masuk wilayah Khurasan. Karya-karyanya yang terkenal di antaranya Ihya Ulumuddin, al-Munkiz min ad-dalal (penyelamat dari kesesatan), dan Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat). Para pencari ilmu menurutnya dibagi empat. 1). Para teolog. 2). Filosof. 3). Taklimiyah dan 4). Sufi.[4] Sedangkan klasifkasi ilmu menurutnya dibagi dua. Pertama, ilmu syar’iyah (naqliyah) dan kedua ghairi syar’iyah (aqliyah). Pembagian ini sering juga disebut ilmu teoritis dan praktis. Kelompok ilmu masuk syar’iyah yaitu:
- Ilmu al-Ushul; ilmu tauhid, ilmu tentang kenabian, eskatologis (akhirat) dan ilmu tentang sumber pengetahuan religious; Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber primer sedangkan ilmu sumber skunder yaitu ijmak dan atsar sahabat. Ilmu ini dibagi kepada dua hal, yaitu ilmu-ilmu alat dan ilmu-ilmu pelengkap; ulum Al-Quran, Ulum al-Hadis, ushul fikih, dan biografi para tokoh.
- Ilmu tentang cabang-cabang (furuq); ilmu tentang kewajiban manusia kepada Allah, ilmu tentang kewajiban kepada masyarakat; transaksi, qisas, dan hukum keluarga serta Ilmu tentang akhlak.
Kelompok ilmu ghairi syar’iyah (aqliyah), yaitu :
- Matematika; aritmatika, geometri, musik, astronomi dan astrologi.
- Logika
- Ilmu alam atau fisika; kedokteran, meteorologi mineralogi dan kimia.
- Metafisika; ontologi, pengetahuan tentang esensi, sifat dan perbuatan Tuhan, pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana (intelegensia) dan substansi-subtansi malaikat.
- Pengetahuan tentang alam ghaib
- Ilmu tentang kenabian dan ilmu tentang mimpi
- Ilmu supernatural
Klasifikasi ilmu yang diciptakan oleh Imam Al-Ghazali sebenarnya ingin mendudukkan bahwa tidak terjadi dikotomi antara ilmu syar’iyah (naqliyah) dan ilmu ghairi syar’iyah (aqliyah), perbedaannya ilmu syar’iyah (naqliyah) sumber kebenarannya wahyu Allah dan ghairi syar’iyah (aqliyah) yaitu akal manusia, kekuatan akal manusia adalah terbatas sedangkan kebenaran wahyu Allah bersifat mutlak. Mengutip Amsal Bachtiar yang membedakannya hanya soal pembidangan ilmu saja, ilmu naqliyah dan aqliyah.[5]
3. Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas
Lahir di Bogor pada tahun 1931, ibunya berasal dari Sunda dan ayahnya dari Johor, Malaysia. Ia dikenal seorang militer, pendidik, intelektual muslim, ahli dalam bidang filsafat dan tasawuf. Mengutip Arqom Kuswanjono Al-Attas adalah tokoh Islamisasi ilmu dan ia yang pertama kali memperkenalkan pentingnya Islamisasi ilmu pada World Confrence on Islamic Education (Konfrensi Internasional tentang pendidikan Islam), di Mekkah tahun 1977 dan di Islamabad, Pakistan tahun 1980 dan kemudian gagasan ini dikembangkan dan dipopulerkan oleh Ismai Rajiq Al-Faruqi.[6] Gagasan inilah yang melambungkan nama Al-Attas dipanggung pemikiran pendidikan Islam internasional, seorang keturunan Indonesia yang mendunia.
Lahir di Bogor pada tahun 1931, ibunya berasal dari Sunda dan ayahnya dari Johor, Malaysia. Ia dikenal seorang militer, pendidik, intelektual muslim, ahli dalam bidang filsafat dan tasawuf. Mengutip Arqom Kuswanjono Al-Attas adalah tokoh Islamisasi ilmu dan ia yang pertama kali memperkenalkan pentingnya Islamisasi ilmu pada World Confrence on Islamic Education (Konfrensi Internasional tentang pendidikan Islam), di Mekkah tahun 1977 dan di Islamabad, Pakistan tahun 1980 dan kemudian gagasan ini dikembangkan dan dipopulerkan oleh Ismai Rajiq Al-Faruqi.[6] Gagasan inilah yang melambungkan nama Al-Attas dipanggung pemikiran pendidikan Islam internasional, seorang keturunan Indonesia yang mendunia.
Latar belakang munculnya gagasan ini karena dalam pandangan Al-Attas dunia Islam diselimuti oleh pemikiran sekularisme yang berusaha memisahkan hubungan agama dan dunia, pada hal antara keduanya tidak terpisah, akar sekularisme telah mencabut akar-akar keyakinan manusia kepada Allah. Dunia Kristen telah gagal membendung arus sekularisme dan terjebak di dalamnya bahkan sekularisme dipandang sebuah keharusan dalam keimanan. Untuk menghambat derasnya arus sekularisme maka konsep yang dilontarkan oleh Al-Attas adalah pentingnya pembersihan westernisasi yang telah menyusup ke dalam pendidikan Islam dan diganti dengan otoritas wahyu dan intuisi (tasawuf). Dunia modern telah mengabaikan kebenaran wahyu dan intuisi dan berpegang kuat kepada kebenaran akal dan empiris serta meninggalkan kaidah-kaidah agama atau moral. Al-Attas menyebutnya ketiadaan adab.[7] Maksud ketiadaan adab di sini yakni ketiadaan pengenalan ilmu yang terkait dengan pemahaman tentang wahyu (Al-Quran).
4. Ismail Rajiq al-Faruqi
Lahir di daerah Jaffa, Palestina tahun 1921, sebuah negeri yang tidak pernah merdeka dan dijajah oleh Israel hingga kini. Ia terkenal sebagai ilmuan muslim, pendidik, dan pejuang Palestina yang gigih memperjuangkan negerinya untuk merdeka. Karirnya dalam bidang pendidikan melejit setelah ia hijrah ke Amerika pada tahun 1947 dan pada tahun 1949 ia memperoleh gelar Magister di bidang filsafat di Universitas Indiana dan gelar Doktor diperoleh dari universitas yang sama.
Lahir di daerah Jaffa, Palestina tahun 1921, sebuah negeri yang tidak pernah merdeka dan dijajah oleh Israel hingga kini. Ia terkenal sebagai ilmuan muslim, pendidik, dan pejuang Palestina yang gigih memperjuangkan negerinya untuk merdeka. Karirnya dalam bidang pendidikan melejit setelah ia hijrah ke Amerika pada tahun 1947 dan pada tahun 1949 ia memperoleh gelar Magister di bidang filsafat di Universitas Indiana dan gelar Doktor diperoleh dari universitas yang sama.
Pemikiran Islamisasi ilmu yang dikembangkan oleh Al-Faruqi diilhami oleh pemikiran Naquib Al-Attas, salah satu karya terbesarnya ialah Islamization of Knowledge; General Principles and Workplan. Buku ini merupakan salah satu rujukan tentang pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan di dunia Islam terutama pada era tahun 1980-an. Karena itu, tidaklah heran dalam pandangan M. Dawam Rahardjo tokoh utama Islamisasi ilmu adalah Ismail Rajiq Al-Faruqi, orang Malaysia menyebut ide itu “dicuri “oleh Ismail Rajiq Al-Faruqi lalu dipopulerkannya. [8]
Latar belakang munculnya gagasan Islamisasi Ilmu pengetahuan disebabkan tedapatnya dualisme sistem pendidikan Islam, yang satu bercorak pendidikan agama dan kedua bercorak pendidikan umum, menurutnya keduanya harus disatukan ke dalam paradigma Islam berdasar tauhid, tidak memisahkan antara dalil naqal dan akal. Kedua dalil ini saling terkait tak terpisah, kebenaran naqal bersifat mutlak dan kebenaran akal adalah bersifat nisbi (relatif).
B. Pandangan Filsafat Islam Tentang Manusia dan Hubungannya dengan Falsafah Pendidikan Islam
Manusia adalah makhluk teristimewa, mulia, paling sempurna dan unik dibanding dengan makhluk lain di muka bumi. Allah menyebutnya sebaik-baik penciptaan, Mulyadhi Kartanegara menyebutnya makhluk dua dimensi, yakni terdiri atas unsur jasmani dan spiritual. Dimensi jasmani kerena manusia diciptakan dari tanah dan unsur spiritual karena Allah tiupkan ruh sehingga manusia bisa hidup. [9]
Dalam Al-Quran beragam sebutan tentang manusia; al-basyar, al-insan, an-nas, al-ins, al-unas, dan bani adam, kata-kata ini tidaklah sama maknanya tergantung kepada konteks mana digunakan. Penggunaan istilah yang berbeda-berbeda bukan berarti Al-Quran inkonsisten tetapi karena pentingnya Al-Quran berbicara tentang manusia sebagai makhluk terbaik. Dari keseluruhan istilah-istilah itu manusia dalam pandangan Al-Quran seluruhnya diciptakan dari saripati tanah, kecuali Adam a.s yang berbeda penciptaannya dari manusia pada umumnya, manusia berasal dari setetes air mani yang hina, lalu terjadilah proses pembuahan (embrio) yang masuk ke dalam rahim, menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging, diciptakan tulang belulang dan tulang itu dibalut oleh daging, setelah terbentuk manusia secara utuh Allah tiupkan ruh, jadilah manusia khalqan akhar (manusia yang unik) (Q.S. Al-Mukminun/23:12-14). Setelah usia kandungan sembilan bulan, kurang atau lebih lahirlah kita dari kemaluan seorang ibu melalui proses bersalin secara normal atau melalui operasi.
Setelah manusia lahir, jadilah seorang bayi mungil, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan hingga menjadi kakek dan nenek. Pada usia tua daya pikir dan daya ingat manusia tidak sekokoh ketika masih muda tetapi mulailah menjadi lemah, pelupa, bahkan banyak prilakunya mencontoh sikap anak-anak. Terkait dengan hal ini Allah Swt berfirman dalam Al-Quran surat Yasiin/36: 68, artinya ; Dan barang siapa kami panjangkan umurnya niscaya kami kembalikan dia kepada awal kejadiannya, maka mengapa mereka tidak berpikir?
Kelebihan manusia dari makhluk lain diberi akal dan jiwa. Akal adalah anugerah terbesar Allah kepada manusia yang tidak dimiliki makhluk-makluk lain. Akal maksudnya daya berpikir untuk memperoleh pengetahuan, kebenaran akal tidaklah bersifat mutlak, akal yang dapat membedakan perbuatan baik dan buruk, dan akal pula yang mengantarkan manusia memperoleh kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Dalam pandangan filosof akal dibagi empat, yaitu:
1. Akal materil
2. Akal bakat
3. Akak aktuil dan
4. Akal mustafad.[10]
Akal materil maksudnya akal yang hanya dapat menggambarkan apa adanya, belum disertai analisis, akal bakat akal yang mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak, akal aktuil adalah akal yang mulai dapat menterjemahkan hal-hal yang bersifat abstrak dan akal mustafad adalah akal yang dapat menjelaskan hal-hal yang abstrak secara sempurna. Manusia pada umumnya berada pada wilayah akal materil dan akal aktuil sedangkan para filosof berada pada posisi akal mustafad karena tanpa bantuan wahyu mereka dapat mengetahui kebenaran yang hakiki. Sebenarnya, apa yang disebut oleh para filosof tidaklah benar kebenaran mutlak hanya melalui wahyu dan karena itu Allah swt mengutus para nabi.
Tinjauan aspek jiwa, Al-Quran membagi jiwa manusia terbagi tiga. Pertama, jiwa al-Lawwamah. Kedua, jiwa al-Mutmainnah dan ketiga, jiwa Amarah. Sangat sulit kita menentukan di mana posisi jiwa dalam diri manusia namun yang jelas bahwa manusia punya ketiga jiwa itu. Jiwa al-lawwamah maksudnya jiwa yang menyesali dirinya, ketika seorang al-ibad ar-rahman terlambat melaksanakan salat wajib maka ia menyesali dirinya maka disebutlah al-Lawwamah. Jiwa al-Mutmainnah ialah jiwa yang tenang, diyakini akan kembali kepada Allah menjelang kematian manusia. Jiwa Amarah yaitu jiwa yang cenderung ke arah keburukan yang dikendalikan hawa nafsu, ciri-cirinya antara lain culas, sombong, kikir, riya, dengki, tidak jujur, khianat dan suka menghujat atau menghina orang lain.
Selain pembangian jiwa menurut Al-Quran, Al-Kindi juga membagi jiwa manusia kepada tiga hal. Pertama, jiwa berpikir. Kedua, jiwa amarah dan ketiga, jiwa sahwaniyah. Jiwa berpikir yaitu potensi baik, jiwa yang mirip dengan jiwa Al-Mutmainnah. Jiwa ini dilambangkan dengan malaikat yang tugasnya beribadah, bertasbih, dan taat atas perintah Allah setiap saat. Jiwa amarah yakni jiwa yang cenderung keapada keburukan, dan dilambangkan dengan Babi, binatang terharam menurut Al-Quran, bentuk badannya pendek dan rakus. Orang yang tak dapat menahan amarahnya dilambangkan seperti babi. Jiwa sahwaniyah yakni jiwa yang dikendalikan oleh hawa nafsu, dilambangkan dengan anjing, binatang yang selalu menggonggong kepada orang yang dikenal dan tak dikenal, serta satu-satunya binatang yang selalu menjulurkan lidah karena kecilnya alat pendingin dalam tubuhnya. Orang yang tak bisa mengendalikan hawa nafsu digambakan seperti anjing.
Manusia secara jasmani dan ruhani akan kembali kepada Allah, jasmani akan hancur dimakan oleh tanah dan ruhani yang dipahami itulah ruh akan tetap hidup dan tidak ada seorang manusia yang tahu letak ruh setelah mati. Allah sendiri mengatakan wahai Nabi Muhammad saw kalau kamu ditanya soal ruh katakan bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanmu (Q.S.Al-Israk/17:85).
Dalam pandangan Al-Quran, jasmani dan ruhani akan dipertemukan kembali, Allah Swt berfirman dalam Q.S Al-Takwiir/81:7, yaitu dan apabila jasmani dan ruh dipertemukan kembali. Jadi menurut ayat ini jasmani bukan sesuatu yang terpisah tetapi menyatu kembali bahkan dalam Q.S.Al-Qiyamah/75:3 ; tidak ada kesulitan bagi Allah untuk mengumpulkan jari-jari tangan manusia yang telah hancur menjadi sempurna kembali.
Di kalangan filosof dan teolog berbeda pendapat tentang kebangkitan jasmani dan ruhani. Menurut para filosof seperti Ibn Rusyd bahwa yang bangkit di akhirat nanti adalah ruhani manusia karena ruhani yang memperoleh kebahagian sedang jasmani telah hancur dimakan oleh tanah, tetapi pendapat ini dibantah oleh kalangan teolog seperti Imam Al-Ghazali yang yang mengatakan bahwa kebangkitan bukan ruhani saja tetapi jasmani, dalilnya adalah ayat-ayat Al-Quran tersebut di atas.
Terlepas dari seputar perdebatan yang tak pernah tuntas itu, sebenarnya inti kajian filsafat Islam tentang manusia ini, yaitu mendorong manusia untuk dapat berpikir secara ilmiah; sistematis, rasional, radikal, kritis dan objektif bukan saja dalam wilayah agama tetapi juga dalam bidang falsafah pendidikan. Tujuan yang paling mendasar adalah agar manusia mengenal Tuhannya bukan saja melalui anugerah akal tetapi melalui wahyu dan diutus-Nya para rasul.
C. Hubungannya dengan Falsafah Pendidikan Islam
Manusia sebagai makhluk terbaik terdiri atas dua unsur yaitu jasmani dan ruhani (jiwa) kedua unsur ini sesungguhnya terdapat dalam diri manusia. Unsur jasmani terdiri atas panca indra yang dapat dilihat secara kasat mata sedang unsur ruhani tidak dapat dilihat tapi dapat dirasakan, aktif dan letaknya tidak dapat diketahui di mana posisinya. Sekalipun ada yang mengatakan bahwa posisi ruhani di dada manusia, sulit membenarkan pernyataan ini. Dari sudut perkembangan, jasmani perlu asupan gizi dan makanan yang sehat dan sempurna dan ruhani perlu bimbingan ilahiyah, pelatihan dan pendidikan yang terus menerus sehingga terkontrol dan dekat kepada Tuhan.
Jika dibanding perkembangan jasmani manusia dan hewan maka fisik hewan jauh lebih cepat dewasa, lihat anak kambing begitu lahir bisa berdiri, menyusu dan makan rumput. Pengembangan jasmani manusia perlu asuhan lama mulai dari bayi diasuh oleh kedua orang tua sampai batas usia dewasa bahkan sampai usia tua ada juga manusia tidak bisa lepas dari lingkungan kedua orang tuanya. Dari sudut pendidikan, pengembangan ruhani jauh lebih rumit dan kompleks jika dibanding dengan pendidikan jasmani, karena jiwa pada mulanya tidaklah mengenal sesuatu, Allah perlu memberi potensi akal, penglihatan, pendengaran dan hati sehingga jadilah manusia makhluk sempurna, bersyukur dan mengenal Tuhan-Nya.
Aspek bersyukur dan mengenal Tuhan (tauhid) itulah merupakan aspek terpenting dalam pendidikan Islami, disebut long life education, (pendidikan seumur hidup), bahasa Hadis pendidikan mulai dari buaian sampai liang kubur. Untuk menyetarakan pendidikan jasmani dan ruhani maka dibutuhkan kerja keras, teguh, terukur dan terpadu sehingga tidaklah melahirkan peserta didik yang maju secara akal tetapi kering secara spiritual. Bahasa yang digunakan belakangan ini disebut pendidikan sekuler. Pendidikan Islami sesungguhnya menghendaki pendidikan yang didasarkan atas tauhid, mengembangkan potensi akal dan peserta didik berakhlak mulia sehingga tercapailah tujuan pendidikan Islami seperti yang dikatakan Al-Rasyidin secara umum yakni menciptakan peserta didik yang bertauhid, mengembangkan potensi jasmaniyah dan ruhaniyah serta melaksanakan tugasnya sebagai khalifah dalam upaya membentuk manusia paripurna. Secara khusus tujuan pendidikan Islami yaitu melaksanakan tugas dan fungsi manusia sebagai khalifah atau hamba Allah yang mampu mengembangkan potensi fitrah tauhid, potensi ilahiyah, potensi insaniyah dan menyeimbangkan potensi jasmaniyah dan ruhaniyah sehingga melahirkan peserta didik yang cerdas secara intelektual (akal), spiritual dan memiliki akhlak mulia bukan berakhlak tercela.[11]
Tujuan pendidikan Islami yang sama juga disebutkan oleh Jalaludin bahwa dasar pendidikan Islami ialah tauhid akidah sedangkan tujuannya yakni menciptakan peserta didik yang memahami dirinya sebagai hamba Allah yang takwa, bertauhid yaitu meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah, berislam maksudnya melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya, berakhlak mulia, tidak berakhlak tercela, menjadi individu yang berkualitas, profesional dan hidup bermasyarakat.[12] Dari kedua tujuan pendidikan Islam tersebut di atas pada dasarnya sama-sama menekankan bahwa dasar pendidikan Islami adalah tauhid dan menciptakan manusia sebagai khalifah yang mampu mengembangkan potensi fitrah tauhid, potensi ilahiyah, potensi insaniyah, menyeimbangkan potensi jasmani dan ruhani sehingga melahirkan perserta didik yang cerdas secara intelektual, kaya secara spiritual (ruhani) dan berakhlak mulia dalam kehidupan individual, keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
C. Model Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islam
Istilah Islamisasi ilmu dipahami oleh Osman Bakar adalah Islamisitas,[13] Ismail Rajiq Al-Faruqi menyebut Islamisasi ilmu, dan Kuntowijoyo meyebutnya pengislaman ilmu maksudnya mengembalikan ilmu pada tauhid atau dari teks ke konteks sehingga ilmu tidak lepas dari iman.[14] Ketiga istilah ini sama-sama benar maksudnya tergantung dari mana kita melihatnya, namun yang paling populer di dunia Islam adalah istilah Islamisasi ilmu.
Bagaimana model Islamisasi ilmu pengetahuan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini ada empat model Islamisasi ilmu. Pertama, harus ditegaskan bahwa agama (Islam) dan ilmu adalah integral, tidak dikotomi. Ilmu dalam bahasa Arab ialah ‘ilm, versi bahasa Inggris yakni science (sains). Kedua istilah ini sering dipahami sebagian orang sama maknanya, sebenarnya berbeda. Istilah ‘ilm dalam versi Islam terkait dengan tauhid sedang sains bersifat sekuler, terlepas dari aspek ketauhidan. Akhir-akhir ini istilah sains semakin populer digunakan di kalangan perguruan tinggi Islam, mengutip Osman Bakar boleh digunakan istilah sains tetapi diujungnya ditambah kata Islam menjadi sains Islam. John l. Esposito menyebutnya sains-sains Islam.[15] Maksud sains Islam itu ialah matematika, ilmu alam, kimia, statistik, astronomi, sejarah, psikologi, filsafat, teologi, seni, dan arsitektur. Sains ini secara konseptul tekait dengan ajaran agama (Islam), yakni prinsip tauhid. [16] Masalah yang tak disetujui adalah penggunaan kata Islam di seluruh ujung disiplin ilmu, misalnya ekonomi menjadi ekonomi Islam, psikologi menjadi psikologi Islam, komunikasi menjadi komunikasi Islam, bimbingan konseling, lalu menjadi konseling Islam, ilmu pendidikan Islam dan lainnya.
Di kalangan perguruan tinggi agama di bawah Kementerian Agama, seperti STAIN, IAIN dan UIN hampir di seluruh prodi menggunakan kata Islam misalnya prodi Komunikasi Islam, Bimbingan Konseling Islam, Manajemen Pendidikan Islam, Pengembangan Masyarakat Islam, dan Politik Islam seharusnya tidak perlu menggunakan istilah Islam, sebab, dari sudut filsafat ilmu misalnya tidak ada ilmu pendidikan Islam yang ada ilmu pendidikan. Sejak era klasik hingga kini tesis soal ilmu telah dianut oleh intelektual muslim dan mereka tidak pernah mengatakan bahwa ilmu yang dihasilkan diujungnya ditambah dengan kata Islam.
Selain melihat sisi perbedaan antara ilmu dan sains, keintegralan agama (Islam) dan ilmu bisa juga dilihat dari struktur Islam dan struktur ilmu. Struktur Islam yaitu iman, Islam dan ihsan. Iman maksudnya di sini adalah rukun iman terdiri atas; iman kepada Allah, iman kepada para malaikat, iman kepada para rasul, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada hari akhirat dan iman kepada qada dan qadar. Iman kepada Allah mengandung unsur spiritual dan intelektual, melahirkan ilmu tauhid, teologi atau ilmu kalam. Rukun iman kedua telah melahirkan ilmu angelology (tentang malaikat), rukun iman ketiga dan keempat telah melahirkan ilmu tentang tafsir, hadis, psikologi dan perbandingan agama. Rukun iman ke lima melahirkan eskatologi, sedangkan rukun iman ke enam merupakan esensi dari kosmologi Islam dan melahirkan tentang pentingnya hubungan antara Tuhan dan alam semesta.[17]
Apa makna Islam? Islam itu adalah seperti yang dijelaskan dalam Hadis Nabi Muhammad saw, syahadatain mengakui tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mengerjakan ibadah salat lima kali sehari semalam, membayar zakat, puasa dan haji bagi orang yang mampu. Rukun iman dan Islam adalah pondasi utama dalam Islam sedangkan ihsan adalah realisasi dari rukun Islam dan iman. Strukur ini disebut sebagai landasan ontologis.
Sedang struktur ilmu ialah punya objek, premis atau asumsi, metode dan tujuan. Keempat komponen ini bersifat epistemologis maksudnya merupakan suatu cara yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Titik temu antara landasan ontologis dan epistemologis bermuara pada hakekat kebenaran. Kebenaran itu adalah tidak salah, benar, lurus, dan adil. Namun, kebenaran dari sudut epistemologi tidak bersifat mutlak, mendekati, berbeda dengan kebenaran dalam wilayah ontologis. Keintegralan agama (Islam) dan ilmu sebenarnya tidak hanya dilihat dari sisi perbedaan ilmu dan sains, struktur Islam dan ilmu tetapi juga dari segi budaya dan peradaban.[18] Budaya dipahami berbeda dengan peradaban, budaya ialah terkait dengan idea atau gagasan, karakter, praktek ritus, simbol, bahasa, seni dan ilmu pengetahuan sedang peradaban merujuk pada aspek teknologis; industri, ekonomi, teknologi, hukum, pendidikan dan cara manusia mengelola alam untuk memenuhi kebutuhan hidup.[19] Dalam pengembangan Islam tidak hanya tertumpu pada sisi ajaran saja tetapi juga dari segi budaya dan peradaban. Penyampaian ajaran agama selalu bersifat normatif dan deklaratif tetapi pengembangan peradaban selalu dikaitkan dengan teknologis. Menurut kuntowijoyo Islam dari sudut ajaran baca rukun iman dan rukun Islam tidak akan mengalami perubahan yang mengalami perubahan dan ditransformasikan adalah peradaban yang termasuk dalam kategori muamalah.[20]
Kedua, membangun hirarki ilmu atau klasifikasi ilmu. Dalam Islam bukan saja ilmu-ilmu syar’iyah saja tapi ghairi syar’iyah, Al-Quran menyebut ilmu kauniyah (ilmu alam), ilmu-ilmu qauliyah (teologi) dan ilmu-ilmu humaniora; filsafat, teologi, bahasa, antropologi, sosiologi, kesustraan, ilmu sejarah, kesenian dan hukum. Model klasifikasi ilmu ini telah berkembang sejak era Bani Abbasiyah yang dipelopori oleh Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan era modern yaitu Osman Bakar, Mehdi Nakosten, Fazlurrahman, Syed Naquib Al-Attas dan Ismail Rajiq Al-Faruqi. Keseluruhan klasifikasi ilmu ini seperti telah dijelaskan di atas, tidak dikotomi tetapi integral, karena sumber ilmu dalam Islam bukan hanya akal tetapi Al-Quran dan Sunnah, intuisi (Tasawuf) dan empiris. Dalam dunia Barat, sumber ilmu adalah akal dan empiris. Kebenaran yang diperoleh dari akal maupun empiris adalah terbatas, sedang kebenaran wahyu adalah mutlak.
Ketiga, penguasaan ilmu-ilmu Islam dan ilmu-llmu modern. Model ini adalah untuk melihat relevansi ilmu-ilmu keislaman dan modern, survey, penilaian dan pengambil keputusan lalu dituangkan dalam buku ajar atau teks dan disosialisasikan. [21] Model Islamisasi ini dikritik habis oleh Ziauddin Sardar seperti dikutip oleh Arqam Kuswanjono, bukan Islam yang harus direlevansikan dengan kehidupan manusia tetapi ilmu pengetahuan modern yang harus direlevansikan dengan Islam. [22] Kritik yang sama juga ditegaskan oleh Kuntowijoyo Islam adalah agama tauhid, relevan dengan semua kondisi zaman, dan yang harus menyesuaikan adalah ilmu pengetahuan modern. Karena itu Kuntowijoyo menawarkan konsep Islamisasi itu ialah berusaha kembali kepada teks, penjabaran (dekodefikasi), Islamisasi ilmu pengetahuan, dan peniadaan mistik. Model Islamisasi ilmu yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo ialah:
- Jalur Islam→teoantroposentrisme→dediferiansiasi →ilmu integralistik.[23]
- Jalur sekuler→ Filsafat→Antroposentrisme→differensiasi→ilmu sekuler.[24]
Jalur Islam bahwa Islam agama wahyu yang disampaikan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw, kebenarannya tidak akan pernah berubah hingga akhir zaman, sentralisasi ajaran ialah tauhid. Teoantroposentrisme yakni semua berpusat kepada Tuhan, selain itu ditolak, kebenaran tidak hanya bersumber dari agama saja, tetapi juga dari akal. Dideferiansiasi maksudnya penyatuan kembali kebenaran antara agama (Islam) dan ilmu. Munculnya pemahaman karena era renaisans cirinya meninggalkan aspek ketauhidan. Integralistik maksudnya bahwa agama (Islam) dan ilmu, tidak dikotomi.
Jalur sekuler, filsafat merupakan induk llmu pengetahuan, antroposentrisme, semua berpusat kepada manusia (rasional) yang dianggap segala-galanya, differensiasi manusia menganggap dirinya merupakan pusat kajian sehingga terjadilah pemisahan, sekuler maksudnya meninggalkan ranah tauhid.
Keempat, model jaring laba-laba keilmuan teoanposentris-integralistik seperti dikemukakan oleh Amin Abdullah.[25] Dari jaring laba-laba itu Amin Abdullah ingin menyatukan seluruh ilmu di dunia ini dan ingin melihat kondisi ril pendidikan Islami diperguruan tinggi agama seperti STAIN, IAIN dan UIN. Pada kenyataannnya pendidikan Islami di IAIN didominasi oleh Al-Quran dan Sunnah pada level pertama, pada level kedua; tafsir, hadis, ushul fikih, fikih, ilmu kalam, falsafah, bahasa. Pada level ketiga belum mampu mengembangkan ilmu-ilmu humaniora kontemporer seperti sosiologi, antropologi, filsafat, psikologi, ekononomi dan lainnya.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Azyumardi Azra, bahwa tesis dan disertasi yang dihasilkan oleh lulusan IAIN tahun 1996 pada umumnya didominasi tentang ilmu-ilmu agama, corak normatif, tarbiyah lebih cenderung historis-empiris dan bidang humaniora seperti sosiologi, antropologi dan psikologi tergolong gagal. Model penelitian lebih cenderung pada penelitian kepustakaan dan tergolong kecil penelitian lapangan.[26] Menurut hemat penulis pada era tahun 2000 mulailah tesis para Magister dan disertasi para Doktor merambah kepada ilmu-ilmu humaniora, artinya tidak fokus kepada ilmu-ilmu agama saja, dan lebih variatif karena IAIN berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Perubahan status IAIN menjadi UIN diperkirakan akan mempermudah proses Islamisasi ilmu pengetahuan.
Dari keempat model Islamisasi ilmu ini pada dasarnya bermuara kepada ontologi epistemologi dan aksiologi. Pada tataran ontologi tidak ada masalah karena sumber kebenaran adalah wahyu Tuhan yang bersifat mutlak. Ilmu dalam Islam selalu dikaitkan dengan ketauhidan, sedang sains bersifat sekuler karena meninggalkan realitas wahyu. Dalam tataran epistemologis, cara mendapatkan ilmu melalui proses tarbiyah, taklim dan takdib baik secara langsung dan tidak langsung. Miska Muhammad Amien menyebutnya melalui pengetahuan wahyu dan pengetahuan ilham.[27] Pengetahuan wahyu maksudnya wahyu yang diturunkan kepada para nabi melalui malaikat Jibril dan para nabi menyampaikannya kepada manusia. Pengetahuan ilham maksudnya petunjuk Tuhan yang diberikan kepada manusia secara langsung. Pada sisi lain cara memperoleh ilmu pengetahuan yakni melalui pengamatan dan penghayatan terhadap ayat-ayat kauniyah dengan memfungsikan akal dan indrawi. Tapi harus diingat bahwa penggunaan akal dan indrawi adalah terbatas. Di Dunia Barat penggunaan akal dan indrawi disebut dengan pendekatan rasional dan empiris. Dari sudut aksiologi permasalahan yang selalu muncul adalah apakah ilmu itu bebas nilai atau netral nilai? Dalam Islam ilmu tidak bebas nilai karena tidak semua ilmu yang dihasilkan sesuai dengan seluruh budaya masyarakat, tradisi ilmu di Barat belum tentu cocok dengan tradisi ilmu di dunia Islam. Ilmu dalam Islam adalah netral nilai, artinya ilmu mengandung kebenaran berlaku pada seluruh budaya berdasar pada nilai akhlak, etik, moral, estetika bahkan nilai ilahiyah. Jika dihubungkan falasafah pendidikan Islami, bahwa barometer dari aksiologi itu adalah akhlak. Akhlak adalah kaedah, prinsip dan norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan dengan alam semesta.
Dari ketiga landasan ontologi, epistemologi dan aksiologis ini maka integrasi ilmu dan agama (Islam), bahwa agama bukan saja sebagai landasan etis tetapi juga menjadi landasan filosofis untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya pengembangan falsafah pendidikan Islami.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Islamisasi ilmu pengetahuan dalam perspektif pendidikan Islam menegaskan bahwa ilmu dan agama bukanlah dikotomi tetapi integral. Ilmu didasarkan atas tauhid dan agama bukan saja sebagai landasan etis tetapi menjadi landasan filosofis dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pendidikan yang dikehendaki dari Islamisasi ilmu pengetahuan ialah pendidikan yang dibangun atas dasar tauhid, bisa menyeimbangkan potensi jasmani dan ruhani sehingga melahirkan peserta didik yang memahami tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Sedang pendidikan yang ditolak adalah pendidikan sekuler yang mencabut akar-akar keyakinan kepada Allah, menghasilkan peserta didik yang hanya mengagungkan akal dan tidak percaya kepada wahyu (Al-Quran).
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
- Amien, Miska Muhammad, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: UI Press, 1983.
- Asari, Hasan, Esai-esai Sejarah, Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung: Cita Pustaka, 2009.
- Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.
- Bachtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
- Bakar, Osman, Classification of Knowledge in Islam, terjemah Purwanto Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan, 1997.
- -----------------, Tauhid dan Sains, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2008.
- Esposito, John L.(ed), Sain-sains Islam, Jakarta: Insiasi Press, 2004.
- Al-Faruqi, Ismail Rajiq, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Bandung: Pustaka Salman, 1984.
- Hasbullah, Moeflich, (ed), Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: LSAF, 2000.
- Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 2001.
- Kartanegara, Mulyadhi, Nalar Religius, Memahami Hakekat Tuhan, Alam dan Manusia, Jakarta: Erlangga, 2007.
- Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, metodologi dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
- Kuswanjono, Arqom, Integrasi Ilmu dan Agama, Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2010.
- Nasution, Harun, Filsafat Mistisisme, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
- Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam, Bandung: Media Cita Pustaka, 2012
__________________________________
[1] Hasan Asari, Esai-esai Sejarah, Penddikan dan Kehidupan (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 174.
[2] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta Pustaka Firdaus, 1995), h. 73.
[3] Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, terjemah Purwanto Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi ilmu (Bandung: Mizan, 1997), h. 38.
[4] Ibid, h. 207.
[5] Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 129.
[6] Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu dan Agama (Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2010), h. 72.
[7] Ibid, h. 73.
[8] Moeflich Hasbullah, (ed), Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LSAF, 2000), h. Xii.
[9] Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius, Memahai Hakekat Tuhan, Alam dan Manusia (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 12.
[10] Harun Nasution, Fllsafat Mistisisme (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 30.
[11] Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam (Bandung: Media Citapustaka, 2012), h. 123-124.
[12] Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.91-97.
[13] Osman Bakar, Tauhid dan Sains (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2008), h.
[14] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), h. 8.
[15] John l. Esposito, (ed), Sains-sains Islam (Jakarta: Insiasi Press, 2004), h. V.
[16] Osman Bakar, Tauhid...h.17.
[17] Ibid, h. 387.
[18] Ibid, h. 46.
[19] Daoed Joesoef, Kebudayaan dan Peradaban, Jakarta: Harian Kompas, Selasa 22 Oktober 2012, h. 6.
[20] Kuntowijoyo, Islam...h. 33-34.
[21] Ismail Rajiq Al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Bandung: Pustaka Salman, 1984), h. 92.
[22] Arqom Suwanjono, Integrasi....h. 77.
[23] Kuntowijoyo, Islam...h. 53.
[24] Ibid, h. 51.
[25] Kuswanjono, Integrasi...h. 78.
[26] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), h. 182-183.
[27] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam (Jakarta UI Press, 1983), h. 19-20.