Makalah tentang Hibah dan Hubungannya dengan Warisan
By: Abdul Karim
Latar belakang masalah
Pada awalnya hibah hanya diatur dalam BW yang ketentuannya belum dapat mengakomodir kepuasan pemeluk semua agama. Sampai ada intruksi Presiden Suharto untuk merumuskan kompilasi hokum islam sebagai pegangan para hakim dalam memutuskan perkara pernikahan, maka lahirlah KHI yang berisi tiga buku. Buku pertama membahas hukum perkawinan; buku kedua Hukum Kewarisan; buku ketiga Hukum Perwakafan. Sedangkan hibah ditentukan dalam pasal 210-214 dari bab ke II. Memang pembahasan hibah dalam KHI tidak dijadikan dalam satu buku, dan hingga saat ini belum ada UU yang mengatur Hibah secara khusus seperti wakaf yang sudah memiliki UU khusus yaitu UU No 41 tahun 2004. walaupun secara yurudis KHI tidak dapat mengikat namun telah menjadi living law. Karena itu menjadi penting untuk menuliskan apa yang dimaksud dengan hibah, apa hukum penarikan hibah, dan bagaimana hubungan hibah dengan waris.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian hibahHibah sebagai pemberian kepada sesama memiliki fungsi sosial bertujuan untuk saling mempererat hubungan antara sesame manusia dan kedekatan kepada tuhan karena sifat hibah berkaitan erat juga dengan hubungan kepada Allah sebagai bukti kecintaan sesama makhluk ciptaannya. Dalam bahasa belanda hibah atau hadiah disebut dengan schenking.[1] Sedangkan kata hibah dalam bahasa Indonesia diadobsi dari bahasa arab yang berasal dari kata wahaba yang berarti memberi. Dalam al-Qur’an kata hibah berseta kara derivatnya terdapat 25 kali dalam 13 surat.[2] Sedangkan dalam istilah ada beberapa defenisi yang ditawarkan baik dari ulama dahulu maupun modern sekarang ini, seperti:
a. KHI dalam pasal 171 huruf g menjelaskan:
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
b. UU Peradilan Agama No 3 tahun 2006 penjelasan pasal 49 huruf d:
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
c. BW dalam pasal 1666:
Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
Dari tiga pengertian di atas ada beberapa kata kunci yaitu pemberian, seseorang atau badan hukum, masih hidup dan dimiliki. Dan dalam BW dikatakan bahwa barang yang telah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali, tanpa pengecualian. Dengan demikian yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian seseorang atau badan hukum kepada orang lain dalam keadaan sipemberi masih hidup (ada) walaupun anak kecil, dengan tujuan untuk dimiliki atau dimanfaatkan sesuai dengan keinginannya. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hibah dapat diberikan oleh saiapapun atau instansi manapun tanpa imbalan, dan diberikan pada saat sipemberi masih hidup. Inilah yang membedakan antara wasiat yang diberikan pada saat sipemberi telah wafat dengan hibah yang diberikan pada saat si pemberi hidup.
Hibah disyariatkan bertujuan untuk saling menguatkan ikatan batin antara sesama sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari yaitu saling memberi hadiahlah kamu akan saling mencintai. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menganjurkan agar saling memberi terhadap sesama manusia diantara dalam surah al-Munafiqun [63]: 10
Artinya:
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?"
Untuk tercapainya hibah yang memuaskan semua pihak Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa rukun hibah dua yaitu, ijab dari yang memberi hibah dan qabul dari penerima hibah.[3] Sedangkan Ibn Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid mengatakan rukun hibah tiga, pertama: Orang yang menghibahkan, kedua: Orang yang menerima hibah, dan ketiga: barang yang dihibahkan. Akan tetapi Hanafiah berpendapat bahwa ijab saja sudah cukup tanpa harus ada pernyataan qabul dari penerima.
Pemberi (pihak pertama) hibah dapat dikatakan sah ketika empat syarat berikut terpenuhi yaitu, pertama, barang yang dihibahkan milik nya secara utuh; kedua, bukan dalam keadaan keadaan terhalang seperti karena sakit, dll; ketiga, baligh, dan; keempat, akad hibah dalam keadaan ridho (tanpa paksaan).[4] Dalam KHI pasal 210 ayat 1 dijelaskan bahwa orang yang menghibahkan harus berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak dalam keadaan terpaksa, dan harta yang dihibahkan paling banyak 1/3 dan harus dihadapan dua orang saksi. Kemudian ayat dua menjelaskan bahwa barang yang dihibahkan harus hak milik penghibah. Untuk syarat yang kedua diatas ditanggapi oleh KHI dengan memberikan kesempatan bagi yang ingi menghibahkan hartanya dalam keadaan sakit dengan catatan izin dari ahli warisnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 213 bahwa Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. Pembatasan yang ada dalam KHI dalam hal usia dan besar hibah berdasarkan pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga batasan 1/3 harta kecuali dengan persetujuan ahli waris.[5]
Dan benda yang dihibahkan diharuskan ada secara hakiki, benda yang bermanfaat (tidak najis), harta tersebut milik si penghibah secara utuh. UU No. 41 tahun 2004 menjelaskan bahwa barang yang tidak boleh diwakafkan adalah barang yang telah dihibahkan, sebagaimana dijelaskan pada pasal 40 Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: a. dijadikan jaminan; b. disita; c. dihibahkan; d. dijual; e. diwariskan; f. ditukar; atau g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Sedangkan setiap orang yang berhak menerima barang yang dihibahkan dapat mereka terima bahkan walaupun di bawah kuratele (pengampuan) melalui walinya.[6] Dalam islam tidak disyaratkan bahwa penerima hibah harus islam, dengan demikian dapat dikatakan bahwa non-muslim dapat menerima hibah dari muslim.[7]
Warga Negara Indonesia yang berada dilaur negeri yang ingin memberikan hibah dapat membuat surat di Konsultat atau Kedutaan Republik Indonesia sebagiamana yang dijelaskan dalam pasal 214 yang berbunyi, Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.
Hibah dapat diberikan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut terdapat 2 (dua) macam, yaitu :
- Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian
- Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang harus didaftarkan.[8]
Penarikan kembali barang yang telah dihibahkan menurut jumhur ulama merupakan perbuatan yang dilarang (hukumnya haram) walaupun diantara suami istri atau saudara.[9] Akan tetapi tidak demikian dengan orang tua terhadap anaknya, seorang tua dapat menarik kembali hibah yang telah dia berikan dari anaknya.
Artinya:
Dari Ibnu Abbas dan Ibn Umar, Nabi saw bersabda tidak boleh (tidak halal) bagi seorang yang telah memberi atau menghibahkan hartanya kemudian mengambilnya kembali, kecuali ayah yang memberikan kepada anaknya, sebab perumpamaan orang yang mengambil kembali pemberiaannya seperti anjing yang makan dan ketika kenyang muntah kemudian dia memakan muntahnya kembali.
Hadis diatas tampak jelas bahwa penarikan kembali harta yang telah diberikan adalah perbuatan sangat tidak terpuji bahkan Rasulullah saw mengumpamakan mereka (yang menarik kembali pemberiannya) seperti anjing yang memakan muntahnya. Hadis ini tidak hanya ditujukan pada hibah saja, bahkan termasuk didalamnya segala bentuk pemberian tanpa terkecuali seperti hadiah, tidak dapat diambil kembali. Hal ini diperuntukkan menghindari sakit hati atau perasaan tidak enak dari penerima hibah. Inilah kemudian yang diadopsi KHI sebagaimana yang tercantum dalam pasal 212 yang berbunyi, Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
C. Hubungan hibah dengan waris
Hubungan hibah dengan waris tergambar dalam KHI pasal 211 yaitu, Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian “dapat “ dalam pasal tersebut bukan berartai imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan.[10] Pemberian hibah orang tua kepada anaknya berpegang kepada prinsif pembagian yang sama antara semua anak tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya, sebagaimana yang diajarkan Rasullullah saw kepada sahabatnya dahulu.
Hibah sebagai salah satu jalan keluar pembagian harta peninggalan untuk menghindari dari konflik yang terjadi dikebanyakan pembagian warisan disebabkan oleh ada kalangan yang terhalangi menerima harta warisan disebabkan beda agama, anak angkat, atau disebabkan perbedaan bagian dari masing-masing ahli waris yang dipandang oleh sebagian masyarakat itu melambangkan ketidak adilan.[11] Walaupun hal ini dipandang sebagai sikap mendua kaum muslimin menghadapi warisan.[12]
Oleh karena pemberian hibah kepada anak dapat dihitung sebagai hibah maka perbedaan pendapat jika ayah membedakan pemberian hibah kepada anaknya diapandang berbeda hukumnya oleh ulama fiqh apakah itu boleh atau tidak. Namun, menurut penulisan dari beberapa hadis yang menjelaskan pemberian kepada anak haruslah sama tanpa membedakan antara anak yang satu dengan yang lainnya.
Artinya:
Nabi Saw bersabda, “ bersikaplah adil terhadap anak-anakmu, bersikapalah adil terhadap anak-anakmu, bersikaplah adil terhadap anak-anakmu.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai).
Kadangkala pemberian hibah yang diberikan kepada ahli waris dengan perjanjian dia tidak akan meminta bagiannya dari harta warisan atau yang dinamakan dengan istilah takharruj. Yang dimaksud dengan takharruj dijelaskan oleh Fatchur Rahman mendefenisikan:
Takharrju adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta milik orang yang ada pada mengundurkannya, maupun berasal dari harta peninggalan yang bakal dibagi-bagikan.[13]
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya
- Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007) cet 5, h. 426
- Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003
- Hendarsanto, Prastowo, Studi Perbandingan Tentang Hubungan Hibah Dengan Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Kitab Undang–undang Hukum Perdata. Semarang, Universitas DiponegoroTesis
- Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Mesir: al-Fath al-‘Ilâm al-‘Arabî, 2004
- Ibin, Dede, Hibah, Fungsi Dan Korelasinya Dengan Kewarisan, (tulisan ini diambil dalam bentuk pdf. Penulis adalah Wakil Ketua PA Rangkasbitung)
- Ali, Muhammad Daud, et.all., Kompilasi Hukum Islam Dalam Sitem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1999
[1] Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007) cet 5, h. 426
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet 6, h. 466
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah h. 1077
[4] Ibid.
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet 6, h. 471
[6] ibid
[7] Lihat Fatwa Majlis tarjih Muhammadiah 21-1998
[8] Prastowo Hendarsanto, studi perbandingan tentang hubungan hibah dengan Waris menurut kompilasi hukum islam dan kitab Undang – undang hukum perdata. (Semarang, Universitas DiponegoroTesis), h. 26
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Mesir: al-Fath al-‘Ilâm al-‘Arabî, 2004), h. 1071
[10] Dede Ibin, Hibah, Fungsi Dan Korelasinya Dengan Kewarisan, (tulisan ini diambil dalam bentuk pdf. Penulis adalah Wakil Ketua PA Rangkasbitung), h. 6
[11] Dede Ibin, Hibah, Fungsi Dan Korelasinya Dengan Kewarisan, (tulisan ini diambil dalam bentuk pdf. Penulis adalah Wakil Ketua PA Rangkasbitung), h. 2-5
[12] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet 3, h. 473
[13] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 474