Makalah Teori Belajar Kognitif Brunner
Oleh: Raudah Zaini, M.Pd.I
TEORI BELAJAR KOGNITIF BRUNNER
Abstrak : Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Selain itu teori belajar dapat juga disebut sebagai teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) siswa. Salah satu contoh teori belajar adalah teori belajar kognitif menurut Brunner.
A. PENDAHULUAN
Belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya. Jika seseorang mempelajari sesuatu pengetahuan, maka pengetahuan itu perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut.
Teori kognitif menerangkan bahwa pembelajaran adalah perubahan dalam pengetahuan yang disimpan di dalam memori. Teori kognitif ini bermaksud penambahan pengetahuan ke dalam ingatan jangka panjang atau perubahan pada skema atau struktur pengetahuan. Pengkajian terhadap teori belajar kognitif memerlukan penggambaran tentang perhatian, memori, pembuatan informasi yang bermakna. Pandangan kognitif yang lama lebih mengutamakan perolehan pengetahuan. Sedangkan pandangan kognitif yang baru lebih mengutamakan pembinaan atau pembangunan ilmu pengetahuan. Dalam teori belajarnya Jerome Brunner berpendapat bahwa mata pelajaran dapat diajarkan secara efektif dalam bentuk intelektual yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, serta untuk mengembangkan program pengajaran yang lebih efektif yaitu dengan mengkoordinasikan model penyajian bahan pelajaran sesuai dengan tingkat kemajuan anak. Sehingga guru harus memberikan kesempatan kepada siswanya untuk menemukan arti bagi diri mereka sendiri dan mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang mudah dipahami oleh anak didik itu sendiri.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, Brunner juga memandang bahwa belajar sebagai pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia. Oleh karena itu belajar akan membuat pengetahuan peserta didik menjadi lebih baik. Dalam hal ini Brunner tidak mengembangkan teori belajar secara sistematis, namun yang terpenting adalah bagaimana orang memilih, mempertahakan, dan mentransformasikan informasi secara aktif.
B. PEMBAHASAN
1. Biografi Brunner
Memiliki nama lengkap Jerome Seymour Brunner, lahir di New York pada tanggal 1 Oktober 1915. Pada usia dua tahun, Brunner menderita penyakit katarak dan harus dioperasi. Ayahnya meninggal ketika Brunner berusia 12 tahun, hal ini menyebabkan dia harus berpindah tempat tinggal yaitu ke rumah saudaranya dan sering berpindah-pindah sekolah. Meskipun demikian prestasinya cukup baik, di Duke University Durham, New York Brunner memperoleh gelar B.A pada tahun 1937 dan memperoleh Ph.D. dari Harvard University pada tahun 1941, kemudian ia menjabat sebagai profesor psikologi. Di samping itu, pada tahun 1961 Brunner dilantik sebagai direktur Pusat Studi Kognitif. Pada tahun 1972 Brunner meninggalkan Harvard untuk mengajar selama beberapa tahun di Oxford University. Dia kembali ke Harvard pada tahun 1979.
Brunner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. Nama Jerome Brunner menjadi terkenal sejak tahun 1960, ketika terbit bukunya yang berjudul The Process of Education. Brunner menaruh perhatian besar dalam proses perkembangan kognitif anak, dalam hal ini dia mendapat inspirasi dari J. Piaget yang mengembangkan suatu sistematika fase perkembangan kognitif anak.
Dalam mempelajari manusia, Brunner menganggap manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta informasi. Sehingga memusatkan perhatiannya pada masalah apa yang dilakukan manusia dengan informasi yang diterimanya dan apa yang dilakukannya setelah memperoleh informasi untuk mencapai pemahaman. Belajar tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi latihan kemampuan intelektual, merangsang rasa ingin tahu siswa dan memotivasi siswa.
Lebih dari 45 tahun Brunner menekuni psikologi kognitif. Pendekatan kognitif Brunner menjadikan reformasi pendidikan di Amerika Serikat dan Inggris. Selain itu, ia juga termasuk dewan penasehat Presiden bidang sains pada masa Presiden Jhon F. Kennedy dan Jhonson serta banyak menerima penghargaan, di antaranya medali emas CIBA untuk riset dari Asosiasi Psikologi Amerika. Brunner adalah seorang penulis produktif, di antara karya tulisnya adalah sebagai berikut:
1. The Process of Education, (Harvard University Press, 1960).
2. Toward a Theory of Intruction, (Harvard University Press, 1966).
3. Act of Meaning, (Harvard University Press, 1991).
4. The Culture of Education, (Harvard University Press, 1996).
5. Beyond the Information Given: Studies in the Psychology of Knowing, (Norton, 1973).
6. Child’s Talk Learning to Use Language, (Norton, 1983).
7. Actuals Minds Possible Worlds, (Harvard University Press, 1986).
Psikologi pembelajaran kognitif menekankan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada di luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pada pandangan teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yaitu pengolahan informasi.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual, artinya tingkah laku seseorang ditentukan persepsi serta pemahaman tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.
Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengetahuan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang telah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Teori belajar kognitif merupakan teori belajar yang mengarahkan kepada kemampuan berpikir. Menurut Brunner, dalam proses belajar dapat dibedakan tiga fase, yaitu sebagai berikut:
1. Informasi, merupakan tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, di mana dalam setiap pelajaran diperoleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah dimiliki, ada yang memperluas dan memperdalamnya, serta ada pula kemungkinan informasi yang bertentangan dengan apa yang telah diketahui sebelumnya.
2. Transformasi, dalam hal ini informasi harus dianalisis, diubah atau ditransformasi ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Untuk itu sangat diperlukan bantuan dari guru.
3. Evaluasi, untuk mengetahui benar atau tidaknya hasil dari transformasi pada tahap kedua, sehingga transformasi itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Brunner tidak mengemukakan suatu teori bulat tentang belajar sebagaimana dilakukan oleh Robert M. Gagne, namun refleksinya berkisar pada manusia sebagai pengolah aktif terhadap informasi (masukan) yang diterimanya untuk memperoleh pemahaman. Tinjauan Brunner bersumber pada dua keyakinan dasar, yaitu:
Pertama,
perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif, artinya orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan terjadi pada diri individu dan lingkungannya. Kedua, seseorang menciptakan sendiri suatu kerangka kognitif, kemudian menghadirkan kenyataan yang dihadapi, atau dengan kata lain seseorang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang telah dimilikinya.
Brunner mengatakan bahwa manusia dapat mengenal/mengetahui sesuatu melalui tiga tahap, yaitu:
1. Tahap enaktif (0-2 tahun), yaitu sesuatu pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda yang konkrit atau menggunakan situasi yang nyata.
2. Tahap ikonik (2-4 tahun), yaitu di mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual, gambar atau diagram, yang menggambarkan kegiatan atau situasi konkrit yang terdapat pada tahap enaktif.
3. Tahap simbolik (4-7 tahun), yaitu dalam hal ini seseorang telah mampu memiliki ide atau gagasan yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
Perkembangan kognitif berlangsung melalui urutan fase sistem enaktif, sistem ikonik, dan sistem simbolik. Cara anak menghadapi realitas di luar diri sendiri pada setiap fase berbeda-beda. Setiap fase dalam proses perkembangan kognitif itu terikat pada rentangan umur tertentu.
Dalam teori belajar kognitifnya, Brunner mengusulkan cara belajar yang disebutnya discovery learning (belajar dengan menemukan sendiri). Dalam cara belajar ini dijelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif apabila guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, defenisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara induktif untuk mengetahui kebenaran umum (dari yang khusus ke yang umum). Misalnya, untuk pertama kali memahami konsep “kedisiplinan”, siswa tidak harus menghafal defenisi kata tersebut, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang perilaku yang menunjukkan kedisiplinan dan yang tidak. Kemudian dari contoh-contoh itu siswa dibimbing untuk mendefenisikan kata kedisiplinan.
3. Konsep Belajar Penemuan menurut Brunner
Brunner beranggapan bahwa cara belajar dengan menemukan sendiri ini sesuai dengan hakikat manusia sebagai seseorang yang mencari-cari secara aktif dan menghasilkan pengetahuan serta pemahaman yang sungguh bermakna. Prinsip pembelajaran dalam konsep ini harus memperhatikan perubahan kondisi internal peserta didik yang terjadi selama pengalaman belajar diberikan di kelas. Pengalaman yang diberikan dalam pembelajaran harus bersifat penemuan yang memungkinkan peserta didik dapat memperoleh informasi dan keterampilan baru dari pelajaran sebelumnya.
Perkembangan kognitif menurut Brunner ditandai oleh beberapa, yaitu:
1. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
2. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realistis.
3. Interaksi secara sistem antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
4. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa.
5. Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi.
Konsep belajar penemuan menurut Brunner ini seorang anak didik tidak hanya dituntut untuk dapat menerima pengetahuan saja, tetapi juga dapat mengolah dan bahkan mengevaluasi serta mengembangkan pengetahuan tersebut. Jadi secara umum terdapat dua ciri konsep belajar penemuan Brunner ini, yakni:
1) Tentang discovery itu sendiri merupakan ciri umum dari teori kognitif Brunner, di mana teori ini mengarahkan agar peserta didik mandiri dalam menemukan, mengolah, memilah dan mengembangkan.
2) Konsep kurikulum spiral, di mana dalam teorinya dituntut pengulangan-pengulangan terhadap pengetahuan yang sama, namun diulang dengan pembahasan yang lebih luas dan mendalam. Prosedur pembahasan konsep ini di mulai dengan cara sederhana, dari konkret ke abstrak, dari cara intuitif ke analisis, dari penyelidikan ke penguasaan, dalam suatu jangka waktu yang cukup lama dalam selang waktu yang terpisah mulai dari tahap yang paling rendah hingga paling tinggi.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan discovery learning:
a. Guru harus terampil memilih persoalan yang relevan untuk diajukan kepada kelas (persoalan yang bersumber dari bahan pelajaran yang menantang siswa/problematik).
b. Guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar siswa dan penciptaan situasi belajar yang menyenangkan.
c. Adanya fasilitas dan sumber belajar yang lengkap.
d. Adanya kebebasan siswa untuk berpendapat, berkarya dan berdiskusi.
e. Partisipasi setiap siswa dalam setiap kegiatan belajar.
f. Guru tidak banyak campur tangan dan intervensi terhadap kegiatan siswa.
Selain itu ada lima tahapan yang ditempuh dalam pelaksanaan discovery learning ini, yaitu:
a) Merumuskan masalah untuk dipecahkan siswa.
b) Menetapkan jawaban sementara atau hipotesis.
c) Siswa mencari informasi, data fakta yang diperlukan untuk menjawab permasalahan atau hipotesis.
d) Menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi.
e) Mengaplikasikan kesimpulan atau generalisasi dalam situasi baru.
Brunner mengakui bahwa cara belajar menemukan sendiri yang dilaksanakan secara murni akan memerlukan waktu yang lama, maka diusulkanya agar dalam pelaksanaan di lapangan di batasi pada struktur dari bidang studi. Namun perlu diketahui bahwa pembatasan ini tidak mutlak, karena inti dari cara belajar ini adalah keterlibatan siswa secara aktif dalam belajarnya.
4. Kelebihan dan Kekurangan Belajar Penemuan menurut Brunner
Penggunaan konsep discovery learning cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognitif, dan meningkatkan aktivitas belajar, maka kelebihannya antara lain sebagai berikut:
1. Membantu siswa mengembangkan bakatnya, membentuk sifat kesiapan serta kemampuan keterampilan dalam proses kognitif siswa.
2. Berdaya guna untuk meningkatkan kemampuan siswa menalar dengan baik.
3. Memberikan semangat belajar bagi siswa, di mana dengan belajar mencari dan menemukan pengetahuan sendiri, rasa ingin tahu timbul sehingga akan membentuk belajar yang ikhlas dan aktif.
4. Menumbuhkan rasa kepercayaan diri siswa karena mampu menemukan, mengolah, memilah dan mengembangkan pengetahuan sendiri, serta pengetahuan yang diperoleh akan bertahan lama dalam diri siswa.
5. Konsep ini berpusat pada peserta didik, dan guru hanya sebatas membantu.
Di sisi lain discovery learning ini juga memiliki kekurangan. Adapun kekurangannya antara lain antara lain sebagai berikut:
1. Menuntut siswa untuk memiliki kesiapan dan kematangan mental. Siswa harus berani dan berkeinginan mengetahui keadaan di sekitarnya. Jika tidak memiliki keberanian dan keinginan tentu proses belajar akan gagal.
2. Kurang berhasil apabila dilaksanakan di dalam kelas yang besar.
3. Dalam hal ini terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi peserta didik.
4. Belum tentu semua siswa mahir untuk menerapkannya.
Dari beberapa penjelasan tentang kelebihan dan kelemahan konsep belajar penemuan menurut Bruner, tentu kita harus mampu mempergunakan konsep belajar ini sesuai dengan keadaan dan tempatnya, sehingga nantinya dapat memaksimalkan penggunaaan konsep ini dan tidak terjadinya kegagalan pembelajaran karena salah dalam penggunaannya.
5. Implikasi Konsep Belajar Penemuan menurut Brunner dalam Kegiatan Pembelajaran
Implikasi konsep belajar discovery learning dalam pembelajaran adalah:
a. Simulation, yaitu guru mulai bertanya dengan mengajukan persoalan, atau menyuruh anak didik untuk membaca atau mendengarkan uraian yang memuat tentang permasalah.
b. Problem statement, yaitu anak didik diberi kesempatan mengidentifikasi berbagai permasalahan. Sebagaian besar memilihnya yang dipandang paling menarik dan fleksibel untuk dipecahkan. Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan atau hipotesis.
c. Data collection, yaitu untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar atau tidaknya hipotesis itu, siswa diberikan kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, seperti: membaca literatur, mengamati obyek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya.
d. Data processing, yaitu semua hasil bacaan, wawanvara, observasi dan sebagainya, semua diolah, dilacak, diklasifikasikan, bahkan apabila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.
e. Verification, yaitu berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu dicek, apakah terbukti atau tidak.
f. Generalization, yaitu berdasarkan verifikasi tersebut, siswa belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu.
Menurut Brunner untuk mengajar sesuatu tidak perlu menunggu anak mencapai tahap perkembangan tertentu, yang penting bahan pelajaran ditata dengan baik maka dapat diberikan kepada anak didik. Dengan kata lain perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangan.
Adapun aplikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran adalah:
1. Guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai seorang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya.
2. Perlunya keaktifan siswa.
3. Guru hendaknya dalam menyusun materi menggunakan logika tertentu dari sederhana ke kompleks.
4. Guru harus memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan.
C. PENUTUP
1. Simpulan
Teori belajar kognitif merupakan teori belajar yang mengarahkan kepada kemampuan berpikir. Teori belajar kognitif merupakan teori belajar yang setingkat lebih tinggi dari teori belajar stimulus-respon atau yang disebut behaviorisme. Menurut Brunner, dalam proses belajar dapat dibedakan tiga fase, yaitu sebagai berikut:
1. Informasi, merupakan tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, di mana dalam setiap pelajaran diperoleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah dimiliki, ada yang memperluas dan memperdalamnya, serta ada pula kemungkinan informasi yang bertentangan dengan apa yang telah diketahui sebelumnya.
2. Transformasi, dalam hal ini informasi harus dianalisis, diubah atau ditransformasi ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Untuk itu sangat diperlukan bantuan dari guru.
3. Evaluasi, untuk mengetahui benar atau tidaknya hasil dari transformasi pada tahap kedua, sehingga transformasi itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Tinjauan Brunner bersumber pada dua keyakinan dasar, yaitu: Pertama, perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif, artinya orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan terjadi pada diri individu dan lingkungannya. Kedua, seseorang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang telah dimilikinya.
Dalam teori belajar kognitifnya, Brunner mengusulkan cara belajar yang disebutnya discovery learning (belajar dengan menemukan sendiri). Dalam cara belajar ini dijelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif apabila guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, defenisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara induktif untuk mengetahui kebenaran umum (dari yang khusus ke yang umum).
Tujuan belajar sepenuhnya adalah memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatik kemampuan intelektual siswa dan merangsang keingintahuan mereka dan memotivasi kemampuan mereka. Inilah yang dimaksud dengan memperoleh pengetahuan melalui belajar penemuan.
2. Implikasi
Adapun implikasinya antara lain:
1. Kepala sekolah memberikan sarana dan fasilitas yang mendukung dalam pengaplikasikan teori belajar kognitif dalam kegiatan pembelajaran.
2. Bagi guru, rumusan teori belajar kognitif bukan sekedar pengetahuan biasa. Sehingga guru harus mampu membimbing atau mengarahkan siswa dalam belajar untuk peningkatan kualitas belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
- W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran (Yogyakarta: Media Abadi, 2005)
- Dita Arini, “Jerome Brunner,” Blog Dita Arini. http://answers.blogspot,com/2010/06/Jerome-Brunner.html (01 November 2011).
- Ytarwiyana, “Biografi dan Teori Brunner,” Blog Ytarwiyana.http://ytarwiyana.blogspot.com/2010/12/1-bruner-dan-teorinya-biografi-brunner.html (10 November 2011).
- Jumianto, “Teori Belajar Jerome S. Bruner,” Blog Jumianto. http://jumianto.blogspot.com/2011/02/teori-belajar-jerome-s-bruner.html (10 November 2011).
- S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)
- Erman Suherman dan Udin S. Winataputra, Strategi Belajar Mengajar Matematika (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III, 1993)
- Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010)
- Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasi (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),
- Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2005)
- Ahmad Sabari, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching (Ciputat: Quantum Teaching, 2005)
- Roestiyah N.K., Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2008)
- Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta 2002).
-----------------------
Footnote
-----------------------
[1]W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran (Yogyakarta: Media Abadi, 2005), h. 625.
[2]Dita Arini, “Jerome Brunner,” Blog Dita Arini. http://answers.blogspot,com/2010/06/Jerome-Brunner.html (01 November 2011).
[3]Ytarwiyana, “Biografi dan Teori Brunner,” Blog Ytarwiyana.http://ytarwiyana.blogspot.com/2010/12/1-bruner-dan-teorinya-biografi-brunner.html (10 November 2011).
[4]W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran (Yogyakarta: Media Abadi, 2005). h. 629.
[5]Jumianto, “Teori Belajar Jerome S. Bruner,” Blog Jumianto. http://jumianto.blogspot.com/2011/02/teori-belajar-jerome-s-bruner.html (10 November 2011).
[6]S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 9-10.
[7]W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran (Yogyakarta: Media Abadi, 2005). h. 403.
[8]Erman Suherman dan Udin S. Winataputra, Strategi Belajar Mengajar Matematika (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III, 1993), h. 171.
[9]Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 33.
[10]Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasi (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 91.
[11]Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 40-41.
[12]Ahmad Sabari, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 12-13.
[13]Roestiyah N.K., Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 21.
[14]Ibid.
[15]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta 2002), h. 22-23.